Tuhan Penyembuh

Author : Benedictus Harvi

8 Oktober 2011

Dua hari sebelum tulisan ini ditulis, saya sedang mengalami kemunduran secara rohani. Ada beberapa kejadian yang membuat saya tawar hati, dan itu menghalangi saya untuk mendekat pada Tuhan. Bahasa mudahnya sih, saya galau dan bete. 

Secara Alam Roh, saya tahu saya baru saja kena hantaman dahsyat dari musuh dan saya tidak tahu mengapa saya sedemikian terpuruknya karena hal itu. Saya yakin sudah meminta dan mendeklarasikan perlengkapan rohani saya (baca Ef 6:14-17), yang membuat saya bertanya-tanya mengapa impact yang saya derita sedemikian besarnya (ya, perlengkapan rohani adalah NYATA—dan merupakan perlengkapan wajib anak Tuhan untuk berperang). Situasi itu terus berlanjut semalaman, di mana doa saya pun berlangsung dengan agak stagnan. Tuhan masih menanggapi saya seperti biasa, namun saya terus merasa ada yang mengganjal.
                                                     
Sampai paginya, saya meluapkan itu semua pada Tuhan.

Sebenarnya, saya sama sekali tidak berada dalam mood untuk bercerita. Namun, mengingat ayat ‘serahkanlah kekuatiranmu pada Tuhan, karena Ia yang memelihara kamu’ dan nurani saya pun nyamber dengan bilang ‘Sadar woi! Kalo gini terus ga bakal kelar juga! Nyadar dong, masa lo masi begini sedangkan kedatangan-Nya uda mepet!’ saya memulai curcol-an saya pada Tuhan. Saya terus bercerita dan bercerita, sedang Ia diam mendengarkan. Ada rasa lega yang mengalir setelah saya mengakhiri confession tersebut.

Tuhan belum berbicara banyak  ketika Ia mengarahkan saya untuk worship. Jujur, walau dibilang sudah sedikit lega, mood saya masih belum membaik. Saya sama sekali tidak berada dalam suasana untuk worship. Yah, namun, berniat untuk nurut, saya memasang perangkat earphone dan menyetel lagu pujian.

Saya mendengarkan selama beberapa saat dengan perasaan yang agak hambar karena masih diberatkan oleh kekalutan hati saya sendiri. Namun, dalam situasi itu, ternyata Tuhan membawa saya ke Alam Roh tempat kami biasa bertemu, berupa hamparan pantai luas dengan langit matahari terbenam dan pelangi yang indah.

Saya kaget!

 Sudah berminggu-minggu saya tidak dibawa ke sana, yang dengan berat hati saya sadari merupakan implikasi dari kurangnya waktu yang saya dedikasikan untuk Tuhan selama itu. Saya memang sedang mengalami krisis waktu karena kesibukan kuliah, namun saya sadar seharusnya saya mementingkan Tuhan di atas segalanya.

Di pantai tersebut, saya, dengan tubuh roh saya berupa anak kecil berusia 5-6 tahun yang berjubah putih, sedang menghadap ke arah laut dan menyanyikan lagu pujian yang sedang saya dengarkan. Saya—dalam tubuh roh—bernyanyi dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Saya di dunia nyata (A/N : dalam Alam Roh, ada suatu persepsi khusus di mana kita dapat melihat dari sudut pandang orang ketiga dan orang pertama secara bersamaan. Saya mendapati hal yang sama pada beberapa orang yang juga pernah mendapat pengalaman Alam Roh.) tertegun dengan perasaan campur aduk. Saya tidak mengerti apa yang Tuhan inginkan dari saya saat itu, jadi saya hanya terus mendengarkan lagu dan menyimak roh saya yang menyanyi dengan bombastis.

Situasi tersebut berlangsung beberapa saat hingga saya dalam tubuh roh jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Dalam tubuh jasmani, saya merasakan emosi elevatif yang membuncah menjadi ikut menangisnya saya. Ia mengirimkan pengertian kepada saya (yang sudah pernah merasakan pasti mengerti: seperti data yang di-upload seketika ke pikiran) sehingga seketika saya paham bahwa Ia sedang membalut luka saya, menjamah kepahitan yang telah lama saya sembunyikan untuk Ia sembuhkan. Kepahitan belum tersembuhkan inilah yang menjadi celah serangan si Jahat sehingga jiwa saya sedemikian terluka dan berujung pada depresi.

Kembali ke Alam Roh, Tuhan segera merangkul saya yang menangis. Senyuman-Nya begitu hangat dan tatapan-Nya seakan mengatakan ‘Aku mengerti rasa sakitmu’. Saya ingin menjauh karena saat itu saya merasa sangat tidak layak. Namun, Ia malah mengangkat saya dan menggendong saya. Setelah beberapa saat, saya berhenti menangis dan mulai tersenyum. Saat itu, saya dalam tubuh jasmani mulai menyanyikan lagu pujian, tentu dengan perasaan yang sangat berbeda dibanding sebelumnya!

Aku mengasihimu.” Kata Tuhan dengan lembut.

Aku juga, Tuhan! Terima kasih, terima kasih masih mau melawat saya yang hina ini!

Tuhan mengangguk, senyum masih terpancang pada wajah-Nya.



Mat 11 : 28-30
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”