Author : Felicia Yosi
5 Oktober 2011.
Saya tahu empat sampai lima hari sebelum tulisan ini ditulis saya telah melakukan sesuatu yang salah dan menjijikan bagi Tuhan. Perkaranya simpel dan sangat trivial di mata saya sehingga saya tidak memasang sekat jaga untuk hal tersebut. Apa itu?
Membuka celah pikiran.
Satu minggu sebelum tanggal di atas, saya kerap kali jatuh dalam pikiran-pikiran manusiawi dan duniawi yang saya kira ‘tidak berbahaya’ untuk dipikirkan. Saya kerap mereview memori-memori saya, berpikir mengenai kenapa hal ini berjalan dengan cara ini, kenapa hal itu membuat si A menjadi bingung, dan sebagainya. Intinya, minggu itu pikiran saya malas untuk berolahraga bersama Tuhan.
Tentunya, Roh Kudus sudah berulang kali memberi tahu saya bahwa itu bukanlah tindakan yang menyenangkan Allah. Tapi karena saya telah ‘jatuh’, maka Suara-Nya pun terdengar jauh dan samar sehingga saya meragukan-Nya.
Sebagai dampak dari celah terselubung tersebut, hidup saya terasa kering dan datar selama kira-kira lima hari.
Rutinitas berdoa, berpuasa, blogging, dan membaca pesan-pesan Tuhan dan Alkitab tetap saya lakukan dengan giat setiap harinya. Anehnya, saya tetap merasa kosong dan tidak ‘tergugah’. Pembicaraan saya dengan Tuhan juga menjadi sedikit dan agak monoton. Saya sangat berharap saya akan mendapatkan ‘gamparan’ yang akan membangunkan saya waktu itu.
Tapi rupanya, Tuhan tidak bekerja dengan cara demikian dalam kasus ini.
Sore hari, saat saya sedang menghabiskan waktu dengan mencari dan membaca pesan-pesan Tuhan mengenai Akhir Zaman dan Pengangkatan, salah satu tulisan segera membuat saya berlutut dan memohon ampun atas segala kebodohan saya.
Isi tulisan itu adalah pesan Tuhan mengenai betapa Ia membenci hal-hal duniawi dan betapa tinggi standar-Nya. Dalam surat tersebut, melalui salah seorang hamba-Nya, Ia mengatakan bahwa Ia tidak akan menikahi mempelai perempuan yang ‘kotor’, penggossip, pengejar hal-hal yang sia-sia, yang mendengarkan musik-musik yang tidak ditujukan untuk-Nya, hidup dalam kebutaan dan terikat oleh TV dan media-media dan tidak mengkhususkan hubungan pribadi dengan-Nya.
Jujur, saya sudah tahu itu semua. Tapi yang menggampar saya dengan sangat adalah pengelihatan bahwa ada seorang hamba perempuan muda yang tertinggal Pengangkatan (salah seorang kenalan hamba Tuhan dari luar negeri yang sering mendapatkan visi mengenai Kedatangan Tuhan) karena ia tidak sungguh-sungguh mengikut Tuhan dan menyalibkan segalanya bagi Dia.
Roh saya menjerit saat membaca itu: “Betapa tinggi kemungkinannya bahwa saya akan bernasib seperti itu!! Kau idiot, Felicia Yosi!! Berlututlah di hadapan Allah, sekarang, dan cari Wajah-Nya!!!”
Roh Kudus menimpalinya dengan berseru, “Datanglah pada Bapa sekarang juga!!”
Dengan panik dan agak linglung, saya berlutut dengan terburu-buru sambil memutar lagu penyembahan.
Satu menit pertama saya lalui dengan hati yang sangat, sangat berat dan agak hampa. Tapi saya berusaha melawan rasa itu dengan semenit penuh pengakuan dosa-dosa dan kebodohan saya: betapa saya tidak mengindahkan Suara-Nya, betapa saya suam-suam kuku di minggu-minggu terakhir ini, dan betapa saya lebih suka bergumul dengan pikiran duniawi saya sendiri.
Setelah pengakuan cepat dan agak ‘maksa’ itu, Hikmat mengalir membanjiri roh dan jiwa saya. Dalam sepersekian detik saya langsung mengerti arti sesungguhnya dari ‘suam-suam kuku’ yang adalah flaw terbesar setiap gereja (anak Allah) yang hidup di zaman ini.
Biarkan saya menuliskannya satu per satu.
Saat kita merasa bahwa ada suatu kehampaan dalam kehidupan rohani kita, itu adalah panggilan Roh Kudus untuk mendekat. Itu adalah alarm Roh bahwa ada sesuatu yang Allah inginkan dalam hidup kita.
Saat kita tidak mau menghabiskan waktu untuk duduk di kaki-Nya pada waktu-waktu senggang kita dan lebih memilih untuk melakukan hal-hal lain, Roh Kudus berduka.
Saat kita mendengarkan lagu-lagu yang tidak memuat Penyembahan dan Pujian kepada Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus (ya, semua lagu sekuler), kita sedang menista Allah Bapa dengan mengatakan bahwa Dunia adalah kekasih jiwa kita.
Saat kita bersuka dan memiliki harapan karena hal duniawi (ya, hal itu bisa apapun: kelulusan, kesuksesan, rencana / target, pujian manusia atau apapun), kita sedang mengatakan pada Allah Bapa bahwa kita tidak membutuhkan-Nya sebagai Perancang Masa Depan kita.
Saat kita bergumul dengan pikiran kita sendiri yang tidak melibatkan Roh Kudus untuk berbicara secara aktif, kita sedang membuat-Nya berdiri menunggu.
Note: Dalam hal ini, saya diberikan pengelihatan saat saya sedang bergumul dengan diri sendiri.
Note: Dalam hal ini, saya diberikan pengelihatan saat saya sedang bergumul dengan diri sendiri.
Saya sedang berjalan di kampus dan saya dapat melihat Tuhan di samping saya—lewat pandangan orang ketiga—berjalan bersama saya. Tapi saya terus berpikir sendiri dan tidak sedang berkomunikasi dengan-Nya. Saya kemudian melihat, bahwa pada saat itu, saya sedang menutup jalur bagi Roh Kudus untuk berbicara. Saat saya berjalan, duduk, dan mengikuti kelas, Dia dengan setia berjalan di samping saya, menunggu saya untuk menyapa dan berbicara pada-Nya. Dan hampir setengah hari itu saya lewati tanpa lirikan atau komunikasi pada Tuhan yang selalu ada di samping saya.
Saat kita lebih suka untuk menghabiskan waktu dengan manusia daripada bersama Tuhan, kita sedang mengatakan pada Pencipta kita bahwa Ia harus menunggu jadwal kita memungkinkan bagi-Nya untuk masuk.
Saat kita memiliki jadwal doa atau bersaat teduh yang tetap dan mengikuti jadwal itu dengan monoton tanpa peka terhadap Suara-Nya, maka sesungguhnya kita sedang mengatakan pada Yesus bahwa Ia harus mematuhi jadwal yang telah kita buat, dan kita terlalu sibuk untuk berdialog dengan-Nya di luar jadwal tersebut.
Saat kita tidak mengikuti jadwal (entah itu buatan kita sendiri sebagai komitmen atau buatan Tuhan untuk kita) untuk duduk mendengarkan-Nya dan membaca Firman-Nya, kita sedang mengatakan bahwa hal yang sedang kita lakukan saat itu lebih berharga daripada Dia dan Pengorbanan-Nya di kayu salib. Bila saat itu kita sedang mengerjakan tugas, maka kita sedang mengatakan pada Allah bahwa kita tidak mau membayar harga dan waktu untuk dekat dengan-Nya. Tugas dari guru / dosen lebih penting dari tugas dari Bapa.
Saat kita sedang mengatakan bahwa kita terlalu lelah untuk berkonsentrasi pada Saat Teduh atau untuk berdiskusi dengan-Nya (ya, termasuk di dalamnya berlatih untuk mendengar Suara Tuhan), kita sedang menolak tawaran Allah Bapa untuk berbincang selayaknya anak dan ayah. Kita sedang mengatakan pada-Nya bahwa kita terlalu capek dan Tuhan harus mengerti hal itu dan mentolerirnya serta terus memberkati kita dengan oksigen gratis.
Saat kita menunggu-nunggu ‘saat yang tepat’ untuk datang ke hadapan-Nya atau menunggu untuk tergugah secara perasaan, kita sedang berkata pada diri sendiri bahwa Allah Bapa harus bertindak sesuai dengan standar kita. Hal ini termasuk saat kita bersikap pasif dan terus mengharapkan gebrakan dari luar.
Betapa mudahnya kita jatuh dalam tindakan suam-suam kuku di atas!
“Karena itulah engkau membutuhkan Roh-Ku untuk menuntunmu,” sambar Tuhan cepat. “Ia yang akan membimbingmu dan menuntun jalanmu. Pasang telinga terhadap Suara Kami dan kau akan tahu jalan mana yang harus kau tempuh.”
“Tapi sedikit sekali orang yang benar-benar melakukannya!” jerit saya, baru sadar total akan presentase yang minim itu. “Bagaimana dengan mereka yang masih suka mendengarkan musik-musik sekuler? Anda harus melakukan sesuatu!”
“Aku sedang melakukan sesuatu,” jawab-Nya pilu. “Kamu tahu bahwa pada saat seseorang benar-benar lahir baru di dalam Aku, mencintai Aku dengan segenap hati dan waktunya, ia tidak akan tahan mendengarkan musik-musik sekuler yang tidak menyembah Aku. Kamu mengalaminya.”
Saya langsung ingat betapa saya merasa jijik dan tersiksa secara roh dan jiwa saat mendengar musik-musik dunia, entah itu diputar di kampus, jalanan atau mall. “Betapa sedikit jumlahnya! Betapa sedikit yang benar-benar lahir baru di dalam Roh!!”
“Ya, nak. Sangat, sangat sedikit. Dunia ini begitu memukau bagi mereka, begitu memikat. Aku ada dalam daftar nomor ke-sekian dalam hidup mereka. Aku dijadikan fasilitator semata, pemberkat semata. Setiap hari Aku disodori agenda keduniawi-an mereka untuk ditandatangani, untuk diberkati. Aku melakukannya dengan sedih dan pilu, berharap bahwa suatu saat, melalui berkat-berkat yang Aku curahkan, mereka akan sadar dan berkata ‘terima kasih’ dengan mata yang benar-benar tertuju pada-Ku.”
Saya mulai menangis. Menangisi saudara-saudara saya di dalam-Nya dan menangisi diri sendiri. Saya tahu saya bobrok, kotor dan tidak layak sama sekali. Saya tahu saya juga adalah manusia yang hidup dalam daging dan kesia-sia-an. Tapi kemudian, Ia mendekati dari depan saya dan menjamah saya.
Saya mulai menjerit-jerit di dalam roh saat Ia melakukannya. “Saya tidak layak! Saya tidak layak! Saya tidak pantas Engkau jamah! Saya kotor, Tuhan! Jangan kotori diri Anda! Saya ini bejana yang banyak lubangnya!!”
“Aku mau melakukannya. Aku telah mati bagimu, memanggilmu dengan namamu.”
Allah Bapa kemudian memberikan saya pengetahuan bahwa saya, secara roh, sedang berusaha untuk memasuki pelataran-Nya. Seperti yang saya katakan pada tulisan-tulisan sebelumnya, Allah Bapa sangat besar! Saya terlihat seperti semut di hadapan raksasa. Namun yang membuat saya takjub adalah bahwa Ia tidak menolak saya dan mengusir saya keluar.
Pengertian segera mengalir bahwa hal itu dikarenakan Darah Yesus yang telah menguduskan saya menjadi materai bagi saya untuk menemui-Nya.
Bapa, Anak, dan Roh Kudus kemudian mulai berbicara dan memproses saya secara bergantian. Terkadang mereka berbicara bersamaan sebagai Satu yang Kudus, terkadang mereka berbicara sebagai Persona Kudus yang terpisah namun tetap Satu. Dan saat saya mulai tenang dan bisa tersenyum, Roh Kudus pun ikut tersenyum dan berkata dengan lembut, “Kamu sudah mulai bisa mengenali Suara Kami.”
“Tiga di dalam Satu, Satu di dalam Tiga, itulah Anda,” balas saya. “Saya senang bisa mengenal Anda Bertiga.”
“Kami juga, nak,” Bapa berkata. Suara Bapa begitu berwibawa, halus, lembut dan rendah hati. “Adalah Kehendak-Ku supaya setiap anak-anak-Ku mengenal Kami secara utuh dan dewasa di dalam Roh.”