Gaya Hidup Kudus

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Sudah tidak terhitung berbagai macam pertanyaan dan pernyataan orang-orang mengenai gaya hidup kudus. Banyak—bahkan di dalam lingkar Tim Doa sendiri yang beranggotakan lebih dari dua puluh orang—yang mempertanyakan, “Sebenarnya hidup kudus itu apa sih?”
Setelah berunding dan bergumul lama dengan Tuhan, saya pun menemukan beberapa jawaban. Yah... Memang pasti tidak perfek, dan tidak mungkin juga bisa perfek. Tapi saya mau mencoba membagikan apa yang Hikmat berikan kepada saya yang bodoh dan lamban mengerti ini.


Pertama-tama, sebelum kita masuk ke dalam pembahasan ‘pola’ hidup kudus, mari kita lihat sebentar apa yang dikatakan Alkitab soal kekudusan. 1 Petrus 1:16 memberikan perintah yang sangat gamblang di sini. “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus,” kata Tuhan Allah di Alkitab. Nah, sekarang coba kita perhatikan kata pertamanya: ‘kuduslah’. Kata ini adalah kata perintah. Dan lebih dari itu, ini adalah kata yang artinya kurang lebih sama dengan ‘jadilah’. Maka, kalau ada perintah ‘jadilah’, itu artinya orang yang diperintahkan dalam hukum tersebut belum menjadi seperti apa yang diinginkan si Pembuat Perintah.
Oh, tentu saja, mana ada orang yang bisa benar-benar kudus? Tentu saja tidak ada! Kita semua berdosa, kok. Kita semua terbelit rantai maut. Dan benar, untuk itulah Tuhan Yesus membayar harga yang mahal di kayu salib untuk menebus semua itu—sekaligus pula menjadikan kita kudus di dalam Darah-Nya yang mahal.
Mari ktia lihat ayat-ayat selanjutnya mengenai kekudusan. 1 Korintus 3:17 mengatakan bahwa kita—manusia—adalah Bait Allah yang Kudus. Sekarang, pertanyaannya: Bisakah Bait Allah menjadi kotor? Jawabannya tentu ‘bisa’. Tempat apa memang yang tidak bisa kotor? Lama tidak dibersihkan juga pasti berdebu. Apalagi kalau dipakai secara sembarangan, dijamin langsung kotor dan penuh dengan sampah. Efesus 5:3 mengandung filosofi simpel ini; bahwa jawaban ‘Bait Allah bisa menjadi cemar’ adalah benar di dalam Alkitab.

Jadi sudah jelas bahwa selain kita adalah Bait Allah yang telah dikuduskan oleh Darah Yesus, kita juga dapat menjadi cemar oleh rupa-rupa kejahatan dunia. Ini semua memiliki validasi Alkitab yang solid dan tidak dapat dibantah. Bahkan Tuhan Yesus sendiri pernah memberikan perintah agar kita, orang-orang pilihan-Nya yang dikuduskan dalam Darah Anak Domba, memisahkan diri agar tidak tercemar oleh dunia. Perintah ini ditulis dengan sangat gamblang dan to the point dalam Alkitab.
Nah, barulah di sini timbul masalah kedua: “Jadi, apa saya harus hidup sebagai seorang petapa gunung—supaya tidak tercemar dunia?”

Kata Rasul Paulus, jawabannya tidak. 1 Korintus 10 mencatat semua ini dengan cermat dan detail. Sungguh pekerjaan Roh Kudus yang luar biasa dalam menggambarkan pola hidup yang seharusnya dimiliki anak-anak Allah!
Saya terkadang melihat ada orang-orang percaya yang hidupnya seperti orang Mars atau Jupiter. Orang-orang ini secara ekstrem menolak apapun yang mereka cap ‘produk dunia’ dan memilih untuk menyendiri dengan Allah. Apakah ini baik? Baik! Ini adalah rupa integritas yang tinggi dan luar biasa. Lalu, apakah ini benar? Benar. Secara Alkitab, memang ada perintah untuk senantiasa memikirkan dan merenungkan Firman Tuhan, siang maupun malam. Dalam arti sesungguhnya, berarti menjalin kontak yang tidak putus-putusnya dengan Roh Allah sendiri. Nah, tapi tersisa pertanyaan yang paling penting: Apa ini menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar si pelaku hidup kudus? Atau malah menjadi batu sandungan?
Nah, ini baru jawabannya relatif.


Saya menemukan kasus-kasus di mana anak-anak Tuhan ‘mencari selamat diri sendiri’ dengan topeng hidup kudus. Beberapa dari golongan ini, yang saya sebut sebagai ‘ekstrem kanan’ mulai sekarang, secara mentah-mentah menolak semua hal yang mereka anggap najis dan dapat mengotori diri mereka. Yah, sebenarnya ini ada bagusnya. Kita butuh orang-orang dengan integritas dan kemauan baja untuk menjaga diri di hadapan Allah seperti ini. Tapi lebih dari sering, saya tidak melihat buah dalam kehidupan mereka, terutama bila sudah disangkutkan dengan hidup orang-orang di sekitarnya.
Sekedar contoh, bila Anda menerapkan gerakan ekstrem kanan ini, dari sudut pribadi, Anda akan bertumbuh pesat. Saya contoh hidupnya. Saat itu Hikmat dicurahkan lebih, pengelihatan turun menghujani hidup saya, pujian penyembahan menjadi lebih bombastis dan mudah naik ke hadirat Tuhan, dan sebagainya. Tapi ternyata, dengan cara seperti itu, saya seperti menutup pintu berkat bagi orang lain. Dan itu membuat Tuhan geleng-geleng kepala...
Di titik balik itulah baru saya berpikir, “Bukannya hidup anak-anak Tuhan itu harus menjadi berkat, ya? Kok kayaknya gue terlalu risih sama orang-orang dunia sampai nggak mau turun ke ‘lumpur’ dunia dan merangkul mereka? Kalau gini, apanya yang jadi berkat? Ini mah berkatnya gue gondol sendiri...!”
Dari situlah kemudian paradigma hidup kudus saya diubahkan total. Dan sebagai bayarannya, inilah tujuan saya menuliskan ini: meluruskan pandangan yang sudah lama kabur mengenai kekudusan.


Nah, bila kita sudah membahas gerakan ekstrem kanan, sekarang jangan sampai ketinggalan yang ‘ekstrem kiri’. Seperti yang sudah Anda duga, ini adalah jenis anak-anak Allah yang suam-suam kuku. Orang-orang pada ekstrem kiri umumnya mempercaya keselamatan bulat-bulat, dan mengimani segala pengorbanan Tuhan Yesus dengan buta. Mereka tidak terlalu melihat inti kekudusan, dan umumnya, mereka mengkotak-kotakan dosa. “Asal gue gak clubbing, make narkoba, merokok dan seks bebas kan nggak apa-apa! Gue anak Tuhan juga, kok! Gue ke Gereja tiap minggu dan bahkan pelayanan! Apa yang kurang?”
Yang kurang, tentunya adalah mindset anak Allah yang adalah Bapa atas segala roh. Anda tidak bisa mengkotak-kotakan dosa dan skema hidup kudus. Pikiran Anda, sebagaimanapun ‘bersih’nya, merupakan zona peperangan utama dari pertempuran rohani pribadi. Dan sekarang, apakah dengan ikut pelayanan, ke Gereja setiap minggu dan tidak pakai narkoba sudah menjamin Anda masuk Sorga—terlebih terangkat pada saat Pengangkatan?

Mari kita lihat standar Tuhan dalam hal ini. Matius 5:48 menjelaskan standar-Nya dengan gamblang—standar yang sering ditawar anak Tuhan. “Siapa sih manusia yang bisa sempurna?” adalah kata-kata yang biasa saya dengar. Tapi itu tidak mengubah Firman dalam Alkitab. Firman dan perintah Tuhan jelas: Jadilah SEMPURNA! Dan untuk hal ini, tidak ada tawar-tawaran karena memang hidup kita sebagai anak Tuhan adalah sebuah perjalanan menuju Kesempurnaan Ilahi. Mau ditawar begitu rupa juga tetap saja sama pada akhirnya: Tuhan tidak terima sogokan atas Firman-Nya.
Lalu, kalau begitu hidup kudus yang Ia inginkan itu seperti apa? Simpel saja: hidup yang sempurna dan menjadi berkat serta contoh. Jadi tidak mungkin Anda diperbolehkan Allah untuk hidup semedi di gunung seumur hidup—karena kalau begitu, bagaimana Anda mau menjadi dampak bagi sekitar? Dilarang pula oleh Allah untuk menjadi ‘sama’ dengan dunia karena Dia adalah Allah yang Kudus, dan persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah.
Nah, jadi penerapannya bagaimana? Kok makin bikin bingung, ya?

Penerapan yang saya temukan di Alkitab ada banyak. Rasul-rasul adalah contoh yang baik. Namun dalam contoh konkret yang paling gamblang adalah Yesus dan Yohanes Pembaptis.
Ditulis di dalam Alkitab bahwa Yohanes Pembaptis tidak minum anggur dan menjaga hidupnya dengan luar biasa ketat. Ia selalu berpakaian sangat sederhana dan menjauhi ‘kecemaran’ dan ‘keglamoran’ dunia. Tapi ia dikatai kerasukan setan, dalam Lukas 7:33. Lalu tampil pula Yesus, yang hidupnya tidak bercela dan bernoda. Ia makan dan minum, duduk dengan para pemungut cukai dan menyebarkan Injil kepada semua orang—kaya maupun miskin. Ia bergaul erat dengan orang-orang yang bahkan dianggap ‘hina’ oleh dunia. Tapi lihat, Ia pun dicap sebagai seorang hina dalam Lukas 7:34.
Jadi, apa intinya? Sebagaimanapun Anda mau hidup kudus, entah Anda mau menganut ekstrem kanan atau kiri, gaya hidup Yohanes Pembaptis atau Yesus, orang tidak akan pernah membenarkan Anda. Tapi Anda bisa melakukan minimal dua hal: menjadi contoh kebaikan Allah bagi orang lain, dan menjadi pelaku Firman sehingga nama Allah dipermuliakan lewat hidup Anda.


Secara pribadi, saya tidak akan memilih salah satu dari gaya hidup Yohanes ataupun Yesus. Kenapa? Karena iman saya tidak seteguh Yohanes untuk hidup ‘nyentrik’, dan saya tidak sekuat Yesus dalam menahan godaan untuk ‘bermain’ dalam lumpur dunia. Jadi, saya cenderung untuk memilih jalan tengah di antara kedua contoh besar ini.
Saya memang telah mengambil komitmen ini dan itu, dan sebisa mungkin menjauhkan diri dari hal-hal yang menurut Sensor Roh saya berbahaya. Tapi itu bukan berarti saya akan selalu tutup telinga saat mendengar lagu sekuler atau akan langsung menengking-nengking setan saat melihat poster film horror. Saya hanya mencoba untuk menjauhi hal yang saya tahu tidak Ia inginkan bagi saya, dan pada saat yang sama, berusaha menerapkan strategi Rasul Paulus dalam ‘menyenangkan’ sesama saya agar Injil dapat mereka terima.

Itu juga saya lakukan dalam berkarya. Saya sedang dalam proses menulis beberapa buku yang, bila dipandang sekilas, tidak ada unsur rohaninya sama sekali. Novel, lebih tepatnya. Tapi kalau dulu saya ingin menulis untuk kepentingan dan ketenaran diri sendiri, sekarang saya sebisa mungkin menulis untuk Tuhan—untuk menjangkau pada pecinta fiksi dengan cerita yang kaya akan penerapan Firman Allah. Berkaitan dengan tulisan dalam Work, Work, Work!, saya mencoba menggunakan talenta saya yang kira-kira dapat digunakan untuk melayani Tuhan. Tentunya, talenta main game dan otak kriminal saya tidak masuk hitungan...
Setidaknya, saya tidak mau pulang dengan balik modal—atau bahkan tidak berbuah sama sekali. Ketika malaikat penjaga gerbang Sorga bertanya, “Kok kamu bawa buah hidupmu sedikit sekali? Bukannya Tuhan memberikan kamu banyak talenta?”, saya tidak mau menjawab, “Habis saya takut mengotori hidup kudus saya... Jadi talentanya saya kubur, deh.”

Tapi di lain pihak saya juga tidak mau menjawab, “Buah saya sebenarnya banyak... Tapi saya lupa mempersembahkannya bagi Tuhan. Maap ya, hampir semua sudah saya makan sendiri...”


Saran saya dalam menjalani hidup kudus cuma satu: Minta Hikmat dan Kasih! Itu saja, titik! Hikmat yang akan membimbing jalan-jalan Anda, menjelaskan segala perkara yang Allah inginkan terjadi dalam hidup Anda. Kasih akan menjadi landasan dan fondasi utama hidup kudus yang dikehendaki Anda, sehingga hidup Anda tidak menjadi burung dalam sangkar ataupun malah burung bandel yang ‘menclok’ sana ‘menclok’ sini.
Jangan lupa, standarnya bukan orang lain, tapi Firman Allah. Tidak akan pernah bisa kita menyenangkan semua orang. Tapi minimal, kita bisa memberkati mereka lewat hidup kita dan menyenangkan Allah!

Validasi : Ibrani 7:26, Roma 6:19, 2 Korintus 7:1, 1 Korintus 7:31, Galatia 6:7, Matius 10:16, Amsal 4, 1 Petrus 4:8.