A Dream - 1

Author : Felicia Yosi

21 Oktober 2011.

Kali ini, tidak seperti biasanya, Tuhan memberikan saya pengelihatan yang cukup analogis melalui sebuah mimpi yang saya rasakan dengan sangat nyata.

Sebelum saya tidur sore pada hari itu, saya diingatkan Tuhan mengenai Merkusuar Sorgawi, yang adalah Tuhan sendiri. Dengan Hikmat, Ia membimbing saya untuk mengerti bahwa tugas saya adalah sebagia penerima sinyal dari merkusuar tersebut. Kemudian setelah mengklaim perlengkapan senjata dan mengutip ayat, saya tertidur.


Dalam mimpi itu, saya menyadari bahwa saya sedang dibawa dengan sebuah mobil mewah ke sebuah laboratorium yang besar dan megah. Dari luar, gedung lab itu sangat keren dan dikelilingi dengan taman yang indah. Saya ingat bahwa suasana siang hari itu mendung dan agak gelap.
Sesampainya saya di lab tersebut, saya langsung bertemu dengan tiga orang teman Tim Doa saya, Aivin, Harvi, dan Yani yang baru juga sampai di sana. Kami kemudian digiring ke satu ruangan tunggu yang sama. Sepanjang perjalanan, kami berempat bersikap sangat tenang dan waspada, mengamati setiap detil di tempat itu. Biar saya perjelas dulu lingkungannya :

Lab itu didominasi warna abu-abu-metalik. Ada banyak peneliti dengan jas putih yang berjalan cepat dan sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain, dan mereka semua tidak terlihat bersahabat. Muka mereka tanpa ekspresi dan mereka terlihat sangat serius mengerjakan apapun yang mereka pekerjakan saat itu.
Saya tidak terlalu ingat dengan bahan tes di lab itu (manusia), tapi yang saya tangkap dan ingat adalah bahwa mereka semua terlihat loyo, lemas, pasrah dan beberapa, tertawa-tawa lemah sendiri atau terhadap respon orang lain.


(A/N : Serius, labnya mirip kayak ini--lab di Assassin's Creed!! Tapi tempatnya lebih gelap dan dipenuhi alat-alat aneh dan tekonolgi yang tidak pernah saya lihat.


Setelah digiring oleh beberapa orang bodyguard berseragam hitam-hitam ke ruangan kami, kami berhenti di satu ruangan kecil di mana ada sebuah ranjang tinggi di sana. Yang mengejutkan adalah di sana, ada seorang anggota Tim Doa yang tergeletak di dalam ranjang yang terlihat bermesin tersebut. (Ranjang itu seperti ranjang-ranjang yang sering kita lihat di film-film fantasi, hi-tech dan sangat keren dari luar. Saya hanya bisa melihat badan bagian atas teman saya di sana karena bagian bawah badannya tertutup tabung ranjang). Ia melihat kami dan menyapa kami dengan senyum ramah. Tapi kondisinya aneh. Saya langsung tahu bahwa ia sakit dan tidak punya tenaga untuk berdiri atau bergerak-gerak. Ia hanya masih bisa menggerakan leher, kepala, dan mimik wajahnya saja.
Yang lebih aneh, ia terlihat senang dan penuh dengan senyum di sana. Saya langsung menangkap bahwa lab ini tidak beres dan hanya akan membuat bahan eksperimennya loyo, sakit dan cacat mental. Dan inilah yang saya tidak mengerti: kenapa dia malah terlihat senang di sana?

Saat dia menyapa kami dan mulai bercerita ngaco—seperti orang mabuk, tapi matanya berbinar-binar seperti anak kecil—seorang peneliti dengan jubah putih datang mendekati ranjangnya. Ia langsung mengalihkan pandangannya dari kami dan menyapa riang peneliti tersebut. Si peneliti mulai mengobrol kaku dan tanpa ekspresi dengannya sambil mencatat pada papan kecil dan mengatur sesuatu pada ranjang kapsul teman kami itu. Kami tidak mengerti kenapa teman kami sangat bersahabat dengan peneliti yang jelas-jelas memperlakukannya hanya sebagai bahan eksperimen tidak manusiawi di lab tersebut.
Adegan berlanjut dan kami digiring ke satu ruangan yang sepertinya akan menjadi kamar kami selama masa karantina di lab itu. Saya ingat peneliti demi peneliti mulai mengontak kami dan para bodyguard di sekeliling kami dan menitipkan pesan-pesan tak jelas dengan attitude seorang psikopat yang terganggu mentalnya.

Beberapa menit kemudian, para pelayan mulai masuk dan menyuguhkan kami makanan. Kami bersikap serba curiga di situ dan saya ingat saya tidak mau memakan beberapa makanan dalam baki karena saya tahu ada yang tidak beres dengannya. Pada ruangan-ruangan lain (beberapa bagian lab disekat kaca sehingga kami bisa melihat ke ruangan ‘pasien’ lain), saya melihat banyak orang-orang—dengan tubuh lemas dan tampang kuyu—yang makan segala yang disediakan tanpa curiga. Kesimpulan sementara saya ambil bahwa makanan kami pasti ada apa-apanya.
Setelah baki diambil, kami diberikan waktu beristirahat sejenak tanpa gangguan. Saat itu saya beserta teman-teman sekamar segera berdiskusi mengenai jalan keluar dari lab tersebut dengan suara minim. Saat kami mengobservasi ruangan kami, salah seorang dari kami menemukan bahwa ada sebuah pola tertentu pada lukisan dinding yang tergantung di pojok ruangan. Kami semua segera menghafal dan mencatat pola tersebut dan menyembunyikanya pada kantong saku kami, berharap dapat memecahkan kode-kode itu selama kami berpura-pura bekerja sama di dalam lab.

Pada saat kami selesai makan, seorang ‘pasien’ dengan perban di kepalanya (ia mengenakan baju pasien rumah sakit berwarna abu-abu, seperti hampir semua orang di situ—dan anehnya, kami mengenakan kemeja dan celana putih bersih) datang ke ruangan kami. Pria dewasa ini memiliki tatapan yang tidak fokus dan muka yang lemas. Jalannya agak sempoyongan dan ia mulai bercerita ngalor-ngidul secara tidak jelas. Saya tidak ingat dia berkata apa, namun setelah sekian lama ia bercerita sambil berdiri di depan pintu, ia mengatakan sesuatu tentang ‘ingin mencoba teman lamanya kepada kami’, dan ia menghilang dibalik pintu.

Betapa kagetnya kami saat pria tersebut kembali dengan sebuah gergaji mesin yang besar!

Saya dan Yani, yang saat itu duduk di hadapannya, segera bangkit dengan kaget dan agak kalap melihat dia mau menerjang kami dengan gergaji. Spontan, saya berteriak, “Dalam nama Yesus!” dan pria itu tersentak mundur.
Tapi ia tidak berhenti. Ia kembali mencoba untuk maju lagi dan saya berteriak, “Dalam nama Yesus, kuperintahkan engkau berhenti di tempat!”

Saya melihat sekilas di samping saya bahwa Yani, pada saat saya teriak seperti itu, menebar Perisai Iman dengan tangan kirinya. Saya segera melihat proyeksi Perisai Iman yang berupa proyektil putih bercahaya sebesar lima kali lima meter di hadapan kami. (Note: di dalam Alam Roh, Perisai Iman dapat diproyeksikan menjadi besar dengan jarak yang lumayan jauh).


(A/N : Gambar dari salah satu anime, adalah gambar yang paling mendekati proyeksi Shield of Faith kita. Kalau mau dijabarkan, Perisai tersebut ada di tangan kiri kita seperti perisai keren berukuran normal, tapi bisa kita proyeksikan jadi semacam Perisai Cahaya besar dengan mengacungkan tangan kiri kita ke depan. Tambahan : Cahaya setiap proyeksi Shield of Faith seseorang berbeda-beda tergantung karunia dan panggilannya. Milik saya berwarna hijau terang, Yani berwarna perak, Harvi berwarna putih ke-biru-biru-an. Aivin saya belum lihat warnanya... hehe)


(A/N : Nah, ini gambar dari depannya yang saya gambar dengan buru-buru dan agak mepet--karena lagi UTS terus mumet belajar. Maap berantakan en kliatan banget ga niatnya. Yah intinya sih itu jadi tembok proyeksi. Besar-kecilnya tergantung dari takaran iman Anda. Saya pernah memiliki Perisai Iman super-mini waktu saya lagi bete dan gak dekat dengan Tuhan... :p)


 
Melihatnya, saya ikut berbuat sama seraya mengatakan, “I declare my Shield of Faith,” dan melemparkan tangan kiri saya ke depan.
Pria itu berhenti di tempat dan tidak dapat menerobos ‘dinding’ cahaya yang terbentang di antara kami. Ia kemudian terjatuh lemas, melepaskan gergaji mesinnya, dan mulai menangis serta meratap ngaco—seperti orang-orang mabuk kalau lagi depresi. Kemudian Harvi dan Aivin datang untuk mengangkat dan menolongnya. Namun sebelum kami sempat berbuat sesuatu, para bodyguard hitam-hitam masuk dan mengambil orang tersebut.


    Bersambung, oke... :p