Human Factor – Drama Konseling Anak Tuhan

     Author : Felicia Yosiana Gunawan

6 Maret 2012.
Saya menerima sesi character building atau pembentukan karakter yang tergolong ketat, cepat dan berlevel tinggi dari Tuhan dalam dua minggu terakhir sampai tanggal tulisan ini ditulis. Tentu saja, yang namanya shaping itu tidak ada enak-enaknya...! Apa enaknya mematikan keinginan daging? Apa enaknya menggerus daging dan segala kesombongan dan keangkuhannya? Tapi lagi-lagi Tuhan hanya mundur selangkah dan melambai-lambaikan surat kontrak character building, mengirimkan pesan implisit bahwa pilihan tetap berada di tangan saya dan bahwa Ia tidak akan memaksa saya untuk belajar memiliki karakter Kristus. Tentu saja, dengan mengetahui konsekuensi penuh bahwa menjadi sama seperti Allah dalam karakter dan kesempurnaan adalah hukum dan perintah mutlak, saya cuma bisa meringis seraya mengambil bolpen dan menandatangani kontrak tersebut.
Dan harus saya akui, dua minggu semenjak saya setuju untuk ditempa oleh Tuhan di bidang ini, saya mengalami berbagai macam kemajuan dan juga kemunduran. Untuk soal kemunduran akan kita bahas di judul berikutnya; tapi sekarang, mari kita bahas apa yang Tuhan biarkan saya untuk lihat selama dua minggu yang masih tergolong singkat ini.

Pertama-tama soal perintah. Tuhan jelas-jelas memperingatkan kita untuk hidup kudus dan sempurna, sama seperti Dia adalah kudus dan sempurna. Ada juga perintah yang Ia sampaikan melalui rasulnya, yaitu agar kita memiliki pikiran Kristus dan agar kita menghidupkan Dia di dalam diri kita. Tentu saja, semua ini aturannya adalah mutlak. Kenapa? Karena ini adalah perintah. Ini adalah titah Sang Raja sendiri.
Saat dalam dua minggu ini, di mana saya mendalami lebih dalam apa arti dari ‘sempurna’ versi Tuhan, saya benar-benar tidak bisa menyangkal bahwa ini mustahil. Tapi karena Tuhan Yesus sudah memberikan sebuah janji bahwa bagi Dia tidak ada yang mustahil, maka saya pun mulai belajar mendaki gunung karakter Kristus ini. Dan tentu saja, dengan susah payah. Gunung ini sangat terjal, licin, berbatu dan yang paling mengerikan, hanya sedikit orang yang mau mendakinya! Bahkan dari kalangan hamba Tuhan sendiri, sedikit sekali yang mau mendaki gunung ini! Kebanyakan dari hamba Tuhan lebih suka mendaki gunung terjal untuk mendapatkan urapan, nubuatan, atau bahkan karunia-karunia roh. Tapi sedikit sekali, kata Roh Kudus dan kata fakta yang dapat kita lihat, yang mencoba menjadi satu rupa dengan Yesus dalam karakter.

Kalau saya boleh jujur dan membuka pandangan saya, minggu-minggu ini tergolong lucu. Kenapa? Saat Tuhan sedang mengajari saya untuk menjadi pendengar yang baik dan berempati, banjir curhatan segera melanda hidup saya. Ini nggak dikarang! Dalam dua minggu, saya menerima curhatan lebih dari empat orang. Dan tidak sekedar curhat, Tuhan benar-benar sedang mengarahkan dan menantang saya untuk memberikan perhatian, kesabaran, empati dan juga arahan yang berasal dari Roh Kudus. Ini tidak mudah. Kenapa?
Karena faktor manusia.


Percaya tidak percaya, selama saya hidup, saya melihat banyak sekali hamba Tuhan yang dipakai secara luar biasa jatuh pada satu hal: karakter. Dan dari beberapa curhatan orang-orang kepada saya selama dua minggu penempaan ini, saya juga menerima berita yang sama mengenai kata fenomenal di atas. Seorang pegawai di suatu institut besar di Jakarta sempat curhat kepada saya bahwa ia kesulitan menerima bosnya sebagai anak Tuhan. Ada juga orang-orang yang curhat bahwa mereka tidak bisa melihat Kristus di dalam diri kakak rohani mereka.
Setelah saya mendengarkan semua curhatan tersebut dan merenung serta mengulas fakta, saya akhirnya menemukan bahwa memang apa yang Tuhan pernah katakan kepada saya benar: “Banyak yang mau mengikut Aku, tapi sedikit yang mau menjadi cermin-Ku.” Sungguh, kata-kata ini serasa menghujam hati saya sekarang. Saya sadar penuh, Tuhan sedang mengajarkan saya mengenai hidup sebagai saksi Kristus, hidup yang dipenuhi dengan warna karakter dan tabiat Kristus.

Jujur saja, saya sendiri telah banyak melihat hamba-hamba Tuhan yang dipakai luar biasa dalam area-area rohani jatuh dalam hal relasi dengan sesama. Saya sendiri pernah beberapa kali dihakimi oleh berbagai orang yang mengaku sebagai hamba Tuhan sampai benar-benar hancur. Walaupun secara pribadi saya bersyukur sempat mengalami itu—karena dengan itulah saya belajar menyerahkan hati saya kepada Tuhan—saya tetap tidak habis pikir bahwa orang-orang yang mengaku hamba Tuhan zaman ini melupakan status mereka sebagian manusia.
Mengapa saya mengatakannya dengan cara demikian? Karena saya banyak menemukan bahwa ada banyak sekali orang—terlebih balita rohani—yang justru mundur pelayanan dan jatuh karena karakter para hamba Tuhan yang tidak ‘manusiawi’ ini. Bagaimana contohnya? Konseling tanpa etika. Tidak memiliki telinga dan mulut seorang hamba. Dan yang paling parah namun banyak terjadi, contoh karakter yang buruk.

Saya memang masih berstatus mahasiswa psikologi dan belum menjadi sarjana, tapi setidaknya, saya tahu etika dasar dalam mendengarkan curhatan orang. Dan untuk etika level tingginya, itu masih saya pelajari dengan serangkaian proses yang termasuk dalam sesi ini. Tapi apa yang ingin disampaikan Tuhan di sini?
Apakah engkau, dalam segala tingkah-lakumu, gaya bicara dan nada bicaramu, pemikiranmu, karaktermu, telah mewakili Aku?”

Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak mungkin saya jawab dengan anggukan kepala.
Tapi kami wajib belajar soal ini,” sahut Roh Kudus, persis setelah saya berpikir bahwa itu mustahil.

Ya, kamu harus belajar,” ulang Tuhan Yesus. “Kamu adalah saksi, korban sekaligus orang yang Kupercayakan soal hal ini. Kamu tahu seberapa beratnya tanggung jawab untuk mencerminkan Aku—ya, keseluruhan dari diri-Ku secara utuh dan bukan hanya sebagian—setiap detik.”

Saya menangkap yang Tuhan maksud dengan loyo. Ia sedang menyinggung kecenderungan manusia yang hanya mau mengejar beberapa saja aspek dari Kristus, seperti katakanlah: karunia-Nya, berkat-Nya, hikmat-Nya dan keagungan-Nya. Namun kalau kita tidak mengejar Karakter Kristus, saya tahu bahwa Ia akan menemplak saya saat Pengangkatan nanti.

Roh yang sempurna di dalam Aku akan dengan mudah dilihat oleh orang-orang yang buta rohani sekalipun,” lanjut-Nya. “Dan ini karena apa, nak?”

Karena karakter di alam roh orang itu, yang adalah satu dengan Roh Anda, menyembur keluar ke kehidupan sehari-hari dan sikap seseorang.”

Ia mengangguk kalem. Saya tahu arti anggukannya: “Ini tanggung jawab dan tuntutan yang sangat berat.”

Dan di sinilah faktor manusia masuk. Bukan begitu?”

Ya.”
Dan Hikmat segera memproses saya.

Pernahkah Anda menemukan hamba Tuhan yang tidak ‘manusiawi’? Tidak usah katakan pernah, lebih baik jujur dan bilang ‘sering’. Saya sering melihat orang-orang ini, bahkan dalam satu titik, saya dulu sempat jatuh di dalam lubang karakter ini. Apa yang dimaksudkan dengan tidak ‘manusiawi’ ini? Mudah saja: tidak beretika dalam penyampaian firman, tidak memikirkan empati, tidak memikirkan karakter Kristus yang lemah lembut namun bisa keras saat diperlukan, dan tidak dengan kasih serta hikmat.
Saya pernah beberapa kali menemukan orang-orang ini: mereka yang seperti bukan manusia namun menyinggung-nyinggung kehidupan rohaniah. Memang sih, Alkitab mengatakan bahwa kita harus berbeda dari dunia ini. Tapi itu bukan berarti kita lepas dari tanggung jawab sebagai saksi Kristus. Saya akan memberikan contoh kasus yang pernah benar-benar terjadi—tentu saja, dengan polesan latar belakang dan tokoh:


Alkisah ada seorang pekerja yang sedang dilanda kebingungan besar. Ia baru saja menerima berita bahwa ada beberapa sanak saudara dari teman-teman sekerjanya yang jatuh sakit. Dan karena didorong rasa kasihan dan keinginan untuk mendukung orang-orang ini di dalam doa, ia pun meminta nama-nama orang-orang tersebut untuk dibawa dalam doa syafaat. Namun karena masih bingung bagaimana harus mendoakan dan bersikap, ia pun akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada seorang penatua gerejanya yang terkenal sangat rohani.
Kalau Pak Darma, pasti mengerti soal hal ini, pikirnya semangat. Ia kan sudah sering melayani KKR kesembuhan dan juga pertobatan... Dan ia juga adalah orang yang benar-benar diurapi Tuhan.
Maka dengan harapan akan mendapatkan pengarahan dan dukungan, ia pun memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja sang penatua. Pintu diketuk, dan jawaban terdengar dari dalam.
Selamat siang, Pak,” sapanya agak canggung.
Oh, kamu, Jono! Siang, siang! Ayo duduk,” sapa Pak Darma dengan riang dan ramah.
Jono pun duduk dengan semangat campur tegang di kursi tamu. Tentu saja ia tegang! Jarang sekali ia punya kesempatan untuk bercengkrama dengan hamba Tuhan yang telah ia saksikan sendiri kedashyatan urapannya!
Ehm... Begini, Pak... Saya mau tanya. Ada saudara dari teman saya yang sakit parah, dan saya sangat bersimpati—“
Sakit apa?” potong si penatua cepat.
Kanker, Pak.”
Wah! Saya langsung mendapat dari Roh Kudus bahwa orang ini harus segera bertobat!”
Jono tersedak, kaget. “Hah? Bertobat kenapa, Pak? Memang dia ada salah apa?”
Orang ini sepertinya punya dosa yang belum diakui! Ini berbahaya, ia bisa saja masuk neraka kalau begini terus!”
Hah? Yang benar, Pak? Tapi saya baru saja meminta namanya untuk saya doakan secara pribadi—“
Maka kamu harus bertanggung jawab!” seru si penatua, memotong lagi.
Bertanggung jawab...?”
Pak Darma mengangguk serius dan menatap Jono dengan tajam. “Ini permainan nyawa. Kalau kamu mau mendoakan dia, berarti Tuhan berikan beban ini ke kamu! Darahnya bisa tertumpah atas kamu kalau dia sampai belum bertobat dan meninggal duluan.”
Tapi, gimana cara saya menyampaikan bahwa ia harus bertobat?”
Ya itu tanggung jawab kamu. Kan kamu yang terlebih dahulu terbeban.”
Hah? Terus saya harus gimana...?”
Itu yang namanya tanggungan nyawa! Oh, sebentar, saya baru ingat harus menyusun ulang daftar KKR di sekretariat. Kita sudahi dulu, ya,” lanjutnya buru-buru.
Pak Darma pun bergegas berjalan menuju pintu, meninggalkan Jono yang baru saja mengalami semi-serangan-jantung karena ‘bom’ barusan.


 Sekian cuplikan kisah nyata di atas.

Nah, bagaimana perasaan Anda bila Anda menjadi tokoh Jono? Kaget? Tersudut? Merasa tiba-tiba ada beban seratus kilo yang jatuh menindih Anda? Bisa macam-macam. Yang jelas sudah satu: bahkan seorang hamba Tuhan dengan kapasitas luar biasa pun dapat menjadi batu sandungan bagi sesamanya.
Kalau kita tilik baik-baik, apa yang disampaikan oleh tokoh Pak Darma ini tidak salah. Sebaliknya, nyaris semuanya adalah kebenaran. Mendengar apa yang Roh Kudus katakan di saat konseling adalah hal yang baik, dan ilmu pengetahuan serta hikmat yang ia miliki mengenai hal ini juga memadai. Tapi apa yang kurang di sini? Benar, Pak Darma tidak memiliki sikap, etika dan karakter seorang Kristus Yesus. Kalau boleh dipersingkat, ia tidak meninjau faktor manusia dalam melayani konseling terhadap Jono.

Satu, ia tidak berempati. Dua, ia tidak mendalami. Tiga, ia tidak beretika. Empat, ia tidak mengolah bahasa. Lima, ia tidak memperhitungkan sistem tarik-ulur dalam pembicaraan. Dan yang mencakup semuanya: ia tidak menghasilkan buah-buah Roh dalam hidupnya yang bisa kita lihat secara singkat dari gaya konselingnya.
Inilah yang benar-benar saya hadapi selama pengasahan karakter. Saya ditantang Tuhan untuk menerapkan semua strategi dan kunci faktor manusia dalam cara berbicara maupun mendengarkan. Agar apa? Agar apa yang saya pelajari di psikologi tidak sia-sia.

Lebih dari sering kita menjadi hamba Tuhan yang penuh urapan dan pengetahuan, tapi tidak berkarakter Kristus. Coba kalau setiap hamba Tuhan seperti Pak Darma di atas... Pasti biro konseling laku sekali dan orang-orang akan segera mangkir dari gereja serta tim pelayanan. Kenapa? Secara pribadi, saya lebih baik datang ke orang yang dapat berempati dan memberikan konseling yang berperasaan walau tidak memberikan banyak solusi daripada pergi ke hamba Tuhan yang memegang kunci jawaban persoalah tapi tidak berkarakter Kristus.

Anda dan saya adalah hamba Kristus. Kita adalah teman dari beberapa manusia lainnya yang juga terkadang membutuhkan telinga kita. Ya, telinga. Ingatlah bahwa terkadang manusia hanya butuh untuk didengarkan dan menemukan tempat di mana ia dapat membuka segala tali-tali bebannya. Mungkin Anda ataupun saya tidak dapat memberikan jawaban yang tepat atau luar biasa atas permasalah orang –orang di sekeliling kita... Tapi setidaknya kita dapat mencoba menjadi pendengar seperti Kristus. Dan kita dapat menjadi teman seperti Kristus pula.
Perhatikan pula bahwa Tuhan tidak pernah menyela Anda saat Anda berdoa. Kalaupun pernah, itu jaraaaang sekali saya alami. Walaupun saya salah, Ia adalah pribadi yang sabar dan mampu mengendalikan diri. Ia tahu saya harus mengatakan apa yang saya pikirkan dan rasakan, maka Ia berempati dan diam sampai saya selesai dan memberikan-Nya kesempatan berbicara. Pribadi Tuhan yang lembut dan murah hati pasti mampu menggetarkan klien konseling sekeras apapun. Dan, pertanyaannya tetap sama: maukah Anda menjadi cermin Kristus?
[ Read More ]

Stupidity 1

Author : Felicia Yosiana Gunawan

A/N : Berawal dari kebodohan setiap member Tim Doa, yang telah diberikan nama baru oleh Tuhan yaitu tim Lawak, kami dengan bangga... ehem. Dengan nggak tahu malu mempersembahkan jurnal "Stupidity" di blog Adoniyah tercinta~

Jurnal Stupidity, seperti namanya, adalah sebuah rangkaian entry jurnal berantai yang akan terus berjalan mulai ke depannya. Dan seperti yang bisa ditebak pula, jurnal ini berisi berbagai kebodohan dan keanehan anak-anak Tim Doa bentukan Sang Bapa. Dan sekedar info, kejadian yang kami tulis ini NYATA dan benar-benar TERJADI. Tidak ada pemalsuan, tidak ada penipuan.

Selamat membaca... Dan harap jangan terinspirasi dengan kebodohan kami. Ehem.


25 Febuari 2012. Sebuah testimoni perang.

Loe dan loe,” kata saya garang kepada Meitri dan Yani, “gue minta jawaban atas keganasan liar nan idiot kalian di Alam Roh.”

Mereka nyengir penuh arti. Buat saya, itu lebih ke arah cengiran idiot yang nyebelin dari pencuri yang ketangkep basah dan ngaku sambil malu-malu kucing.

Kedua cewek berusia sembilas belas tahun ini emang sudah kena black-list di agenda saya... Kenapa? Karena sensor roh saya mengatakan bahwa mereka adalah bocah-bocah yang bakal gila en sakau pertama di peperangan. Bisa lah ya Anda bayangkan kedua orang ini kayak apa kalau lagi teriak-teriak gila sambil menengking-nengking roh jahat. Yang satu hobi ketawa-ketiwi anarkis, yang satu lagi bakal lompat-lompat salto kalau lagi keasyikan dikeroyok musuh. Intinya, orang waras nggak akan deket-deket mereka dalam peperangan, biarpun berstatus ‘kawan’.
Loe maen maju aja, padahal sangkakala belom ditiup,” lanjut saya garang ke tersangka perang pertama, Yani. “Gue udah duga loe bakal meledak parah begitu kesentil api perang...”

Lagi-lagi, tersangka Yani nyengir ngeselin tanpa bicara. Tidak ada tanda-tanda ia akan bertobat di perang berikutnya.

Dan loe, Mett... Loe penjaga macem apa?! Tugas loe tadi tuh jagain anak baru di peperangan; ngapain loe nyelonong sendirian ke barisan musuh?”

Meitri mulai beringsut, gaya anak-anak yang nggak terima dimarahin. “Gue kan baik!” protesnya. “Gue mau ngelatih anak baru buat perang juga... Kan nggak seru kalau semua gue musuh yang mengincar dia gue babat sendirian... Nanti dia naik levelnya kapan?”

Tapi nggak lucu kalo anak baru jatoh koma di perang pertama, Mett.”

Sang Komandan super-plegmatis, Benedictus Harvian, mulai menginterupsi di saat yang nggak tepat: “Masih bagus Meitri nggak megang ballista. Kalo dia pegang ballista, gak sampe lima menit kita bakal kehabisan amunisi.” Amunisi kami adalah stamina dan api Roh Kudus dalam peperangan, tentu saja. Harvi pun mencontohkan sedikit gambaran kalo orang macem Meitri pegang ballista: gaya menembak ala gattling gun sambil ketawa-ketiwi anarkis. Saya memutar bola mata sementara yang lain tertawa. (Tapi karena warna karakter pleg-pleg-nya, rasanya jadi malah konyol dan bikin pengen ngakak melihatnya).
Oh, well... Mereka kan tidak memikirkan beban seorang Hansip kayak saya...

Tapi sepertinya yang ditegur enggak merasa sama sekali, karena kemudian dia berkata, “Yaudah, gue minta aja dari JC tugas jadi penjaga anak baru sekali lagi buat menutup rapor jelek hasil perang tadi.”

Mampus gue. Berarti ada lagi satu aksi di mana anak baru terancam nyawa dan kewarasannya di peperangan, saya membatin. “Terus apa pembelaan loe, tersangka Meitri?”

Gue baik!” ulangnya ngotot. Saya nahan keinginan melumat nih orang pake Sword of the Spirit. Memang dia bisa lucu sampe bikin anak-anak TD ngakak nggak nafas kalau lagi sinting, tapi kalau lagi kayak gini, rasanya benar-benar ujian kesabaran en pengendalian diri buat saya.

Yaudah, yang penting perang udah selesai dengan damai,” Komandan Harvi menengahi.

Baguus, Komdan, pikir saya bete, loe belom tau aja kalo nanti para orang tua anak baru komplen ke GUE kenapa anaknya pulang Tim Doa jadi makhluk anarkis berdarah dingin.

Lagian gue emang beneran baik,” sambung Meitri nggak nyambung. “Tahu nggak kenapa temen-temen gue mau gue seret dateng ke TD? Karena gue bayar harga pake mereka.”

Satu ruangan hening, memproses kata-kata Meitri. Kata ‘heh?’ terukir pada wajah-wajah blo’on anak-anak yang baru melepas setres di peperangan.

Iyah, gue bayar harga ke JC pake mereka,” lanjutnya pede. Ia sedang menyinggung ‘bayar harga’ yang disebut-sebut dalam Wahyu 3:18—karena memang, tidak semua karunia dan ‘berkat’ dari Tuhan itu “gratis”, dalam arti tertentu. “Habis gue bingung mau bayar harga pake apaan lagi... Udah pake tenaga, doa, puasa, jadi sekarang gue gadaikan deh temen-temen gue buat JC.”

Kami kembali hening. Berbagai ekspresi horor mulai terlihat. Kecuali muka Meitri tentunya, yang masih cengegesan inosen dengan penuh tanda tanya atas reaksi kami.

Emang nggak boleh, ya? Bukannya bagus, mereka jadi kejaring untuk lebih deket sama Tuhan?”

Mett,” kata saya akhirnya, masih horor memikirkan Meitri mempersembahkan teman-temannya yang terikat plus mulut terlakban di altar Tuhan sebagai persembahan korban. “Itu idiot, tau.”

Meitri terdiam sambil manyun—mungkin memikirkan ganti harga yang lebih stupid lagi ke depannya. Sedangkan saya? Secara otomatis otak kriminal saya mulai terinspirasi  untuk menumbalkan anak-anak Tim Doa aneh ini ke Tuhan dalam waktu dekat.
[ Read More ]