Dancing Lessons and Anointing


Author : Felicia Yosiana Gunawan

28 Mei 2012

Malam hari, setelah saya kalut dihajar serombongan tugas dan juga dipaksa Tuhan menghadapi berbagai ketakutan dan kecemasan saya, Roh Kudus menuntunt saya untuk masuk dalam pujian serta penyembahan. Memutar CD, saya pun mengenakan headphone dan mulai memuji Allah sambil menari. Ya, lagi-lagi tangan saya bergerak sendiri di dalam pimpinan Roh Kudus setelah Ia menyuruh saya mengolesi kedua tangan dengan minyak urapan.
Apa rasanya? Hmm... Awalnya hangat, seperti diselimuti sesuatu seperti selimut api. Saat itu saya dipenuhi damai sejahtera yang benar-benar melimpah sampai saya lupa dengan segala kecemasan yang baru saja meneror saya beberapa menit sebelumnya. Tuhan mengajarkan saya gerakan-gerakan baru seiring dengan lagu yang saya nyanyikan, dan Hikmat memproses saya bahwa saya diberikan tiga macam tarian: Tarian Penyembahan, Puji-pujian dan Tarian Perang.

Ketiganya berjalan secara berurutan dalam suatu tempo yang teratur. Sesuai dengan hentakan dan ritme lagu, saya menyanyi sambil menari dalam kedamaian. Bahkan, waktu mengajari saya Tarian Peperangan, Tuhan memberikan dua bilah pedang di Alam Roh dan gerakan tarian saya langsung berubah drastis. Saya dapat merasakan secara fisik beban yang ada di kedua tangan saya saat menari dengan kedua pedang tersebut.
Tadinya, saya menolak saat Roh Kudus meminta saya untuk bangkit berdiri. Saya agak takut untuk menari sambil berdiri.

Nggak mau, Tuhan... Nanti nabrak,” saya beralasan.

Nggak apa-apa, kok,” balas-Nya santai. “Toh cuma ada kamu dan Aku, kenapa harus ditahan-tahan? Lihat, kakimu juga ingin ikut menari.” Ia benar, karena kaki saya mulai menghentak-hentak dalam posisi duduk bersila.

Tidak punya ruang untuk komplain, saya menuruti dorongan Roh Kudus untuk mengolesi kaki dengan minyak urapan setelah berdiri. Jujur, awalnya saya bingung harus bagaimana; ini pertama kalinya saya diundang Tuhan untuk menari dengan langkah kaki. Tapi kemudian semuanya mengalir sendiri. Ia membimbing saya menari dalam langkah-langkah tertentu, menghentak-hentak bila masuk dalam Tarian Perang, dan melambat saat lagu kembali memutar lagu penyembahan yang tenang.
Saat saya masih menari dan sedang menyimak Roh Kudus, tiba-tiba saya merasakan sekujur tubuh saya basah oleh sesuatu. Cairan yang membasahi tubuh saya tersebut seperti dituang begitu saja dari atas, dan terus mengalir membasahi diri saya sampai cairannya menetes-netes dari tangan. Rasanya sejuk dan agak berat, seperti baru saja dialiri oleh... Minyak.

Favor?” tanya saya, mengingat kejadian mirip sebelumnya.

Tuhan tidak menjawab dan hanya tersenyum.

Hmm... Kalau dulu ‘mur’ yang dituangkan kepada saya berbau harum dan dalam, kali ini minyak yang membasahi tubuh saya tidak tercium baunya. (Saya memang agak pilek, tapi roh saya sehat walafiat, kok). Saya tidak tahu apa yang baru dituangkan Tuhan, maka saya kembali mengikuti ajakan Roh Kudus untuk menari.
Saat lagu berganti, tubuh saya terdiam dan menunggu. Namun ada yang aneh. Rasanya minyak yang tadi dituangkan ke saya bertambah banyak, dan bebannya secara fisik terasa sekali. Dan saat saya baru mau bertanya itu apa, tiba-tiba sesuatu yang berat diletakkan di kepala saya sehingga saya tertunduk karena bebannya.

Tuhan, ini apa?” tanya saya dalam hati.

Mahkota.”

Hah...?”

Coba kamu raba,” ujar Roh Kudus.


Saya menurut dan mengangkat satu tangan saya yang masih agak berat karena beban cairan tadi dan meraba ‘sesuatu’ di kepala saya. Rasanya roh saya bisa merasakan sesuatu yang padat dan dingin seperti... Emas. Ada bentuknya. Meruncing di tengah, meliuk, meliuk lagi dan mendatar.
Baru saya positif. Itu mahkota. Hikmat pun segera memproses saya bahwa minyak yang membasahi tubuh saya adalah Urapan.

Roh Kudus kemudian berkata, “Bukankah seorang ahli waris kerajaan yang hendak dinobatkan akan diberikan mahkota dan dituangi minyak pada kepalanya?”

Saya baru sadar! Ternyata itu sebabnya seringkali saya mendengar Bapa dan Tuhan Yesus memanggil saya dengan ‘Son’ alih-alih ‘Daughter!’ Rupanya karena simbol urapan anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris! (Tadinya saya pikir saya salah dengar...)


Saudara-saudara, apa yang saya tulis tidak mengada-ada. Anda dan saya adalah ahli waris yang sah atas Kerajaan Allah, bila saja kita membiarkan Dia bekerja secara penuh lewat Darah-Nya dan Pengurapan-Nya. Saya sendiri masih banyak cacatnya, dan masih banyak pula pertanyaan di kepala saya mengenai panggilan dan juga ini-itu lainnya... Tapi bukankah surat ‘pengangkatan’ kita sebagai ‘anak sulung’ telah dituliskan di dalam Alkitab? Kurang bukti apa lagi kalau Firman Allah telah menetapkannya?
Oh, dan satu lagi: Bila Anda dipimpin Roh Kudus untuk menari dalam roh, jangan tahan-tahan! Segera sambut ajakan-Nya dan mintalah bimbingan-Nya! Ia akan lebih dari senang untuk mengajarkannya kepada Anda! Hanya satu syaratnya: “Hati yang Menyembah,” kalau menurut Tuhan.
[ Read More ]

Pengelihatan - Padang Gurun dan Kafilah

Author : Felicia Yosiana Gunawan

29 Mei 2012

Pagi itu setelah sarapan, saya mendapatkan sebuah pengelihatan yang lumayan jelas. Yah, sebenarnya sudah sangat lama sejak saya mendapatkan pengelihatan lagi setelah Masa Pengudusan berakhir... Namun saya percaya Tuhan baik dan Ia tetap punya rancangan-Nya sendiri dalam hal ini.
Saya melihat dari sudut pandang orang ketiga serombongan kafilah yang sedang berjalan di padang pasir yang kelihatannya cukup bahaya dan luas. Rombongan tersebut lumayan besar bila dihitung bersama unta-unta dan karavan mereka yang mewah-mewah. Tapi, saya sadar dengan penuh kalau manusia yang menjadi bagian di rombongan itu tidak sampai dua belas orang. Pokoknya sekitar angka itu tapi tidak melebihi dua belas. Mereka semua menunggang unta masing-masing dan berbalutkan pakaian putih-putih dan sorban. Gaya pakaian mereka mencerminkan gaya berpakaian bangsawan, tapi saya juga tahu bahwa mereka masing-masing membawa senjata dan terbiasa berperang melawan bahaya di gurun pasir tersebut.
Hikmat memproses saya dalam hitungan detik dan saya tersenyum. Rombongan itu adalah kami. Ya, rombongan itu adalah anak-anak Tim Doa yang sedang melintasi padang gurun dunia menuju Rumah yang Kekal.


Segera sudut pandang saya ditarik menjadi sudut pandang orang pertama, dan saya menjadi bagian dari rombongan kafilah tersebut. Di atas tunggangan saya yang berjalan lambat, saya melihat ke arah matahari dan mendadak dipenuhi dengan damai sejahtera. Matahari, yang seharusnya menyiksa kami dengan panas yang dapat membunuh di tempat seperti itu, kini terasa berbeda. Saya langsung tahu kalau Matahari tersebut melambangkan penyertaan Allah Bapa sendiri. Ia senantiasa mengawasi kami, rombongan anak-anak norak dan abstrak yang kerjaannya selalu jejingkrakan di dalam kasih-Nya.


Adegan berganti. Latar berubah menjadi sore hari dan rombongan kafilah tersebut bergerak cepat sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka menerjang sebuah kota kecil di perbatasan gurun tersebut dan mengambilnya dari tangan orang-orang berpakaian gelap. Tentu saja, ini menyimbolkan peperangan yang kami lakukan di dalam Nama-Nya. Kami percaya dan mengimani bahwa setiap peperangan membawa setidaknya satu orang kepada Kristus dan ini semua terjadi via Alam Roh.
Sebelum saya sempat mengamati penjarahan yang dilakukan rombongan TD terhadap kota yang kalah, adegan kembali berganti. Kami kembali berada di  tengah gurun, dan hari rupanya telah menjadi malam. Tenda-tenda telah dipasang, dan unta-unta duduk di sekitar kemah malam. Ada api unggun besar di tengah-tengah perkemahan kami, dan anak-anak TD duduk melingkari api unggun sambil memainkan alat musik, menari dan menyanyi memuji Tuhan dalam sukacita kudus.
Pengelihatan selesai.


Saya diberitahu Roh Kudus bahwa pengelihatan itu merupakan pengelihatan simbolik sekaligus nubuatan. Saya menyadari, bahwa dengan melewati padang gurun gersang penuh bahaya, berjalan dalam rombongan benar-benar mengurani sekian persen beban individu. Bayangkan saja kalau Anda harus berjalan sendirian di padang gurun dan berperang sendiri... Horor, kan?
Memang sih, ada saat-saat di mana kita diminta Roh Kudus untuk berdiri sebagai individu untuk Tuhan. Tapi, ada juga saat-saat di mana Ia menghendaki agar kita berjalan bersama-sama saudara dalam Kristus dan bekerja sama dengan mereka. Hal ini jelas sekali terlihat dalam peperangan kafilah dalam merebut kota kecil tadi.
Puji-pujian dan penyembahan juga merupakan aspek penting dalam kehidupan rohani dan persekutuan. Itulah sumber sukacita orang benar, dan sukacita Bapa akan menjadi kekuatan bagi kita. Singkatnya, mempersembahkan puji-pujian kepada Tuhan adalah hal mutlak bagi setiap pejuang Kristus, dan hal tersebut tidak pernah merugikan kita.
[ Read More ]

Dancing in the Spirit

Author : Felicia Yosiana Gunawan

27 Mei 2012

Setelah mengalami dua hari yang panjang dalam Pencurahan Roh Kudus sekaligus pelayanan berantai, saya positif K.O malamnya. Otak dan hati saya sama-sama blank, dan saya rasanya baru saja menjalani kehidupan selama satu tahun hanya dalam dua hari tersebut. Capek, lemas, tapi ada perasaan senang karena bisa lebih kenal Tuhan dan menerima hal-hal baru, termasuk juga perasaan senang karena bisa berguna sebagai anak-Nya. Yah, saya belum berani mengaku sebagai hamba Tuhan karena saya masih sangat bobrok dan perlu banyak tambal di sana-sini... Kalau ada hamba Tuhan kayak saya, pasti saya sudah jadi sate milyaran kali karena membandel sama Sang Tuan... Kesimpulannya, Dia memang terlalu baik.
Well, saya sebenarnya masih tidak tahu panggilan spesifik Tuhan dalam hidup saya yang baru saja genap sembilan belas tahun ini. Gambaran besarnya sih saya sudah dapat bocoran beberapa kali, entah dari mimpi profetik, perkataan dan ayat yang Tuhan berikan sendiri, maupun juga dari anak-anak Tuhan lainnya yang Ia ‘titipkan’ untuk kecipratan nubuat mengenai hidup anak abstrak kayak saya. Memutuskan untuk tidak mau bertanya-tanya, saya tidak memusingkan detailnya dan memilih untuk mencari apa yang Ia inginkan saja dalam setiap langkah.

Namun, tentunya kenyataan lebih pahit dari yang dipikirkan. Sering sekali saya malah ‘lari’ dari misi dan visi Tuhan dengan dalih-dalih tertentu. Capek, misalnya, sehingga jadi cenderung malas mengobrol sama Tuhan dalam Saat Teduh. Bosan karena keseharian yang saya cap datar—terutama kuliahnya since motivasi saya kuliah di bidang sekuler benar-benar minus kuadrat. Atau lebih sering, saya justru berdalih dengan mengatakan “Terserah Tuhan aja, deh.”


Setelah pelayanan hari Minggu itu, saya benar-benar tidak menyadari kondisi roh saya yang notabene sudah agak loyo dan babak belur. Wajar saja, saya baru menjalani salah satu perang terbesar seumur hidup, ditambah lagi saya minus persiapan. (Catatan untuk diri sendiri: gunakan waktu Saat Teduh dengan baik biar selalu siap menjalankan misi Tuhan di hari itu, seberapapun tak terduganya itu!) Sepulangnya saya dari Gereja, hari sudah malam, dan alarm di otak saya sibuk membunyikan bel tugas kuliah yang masih mengantre di laptop untuk dikerjakan. Dengan tampang kusut setengah mau pingsan, saya pun mulai mengerjakan tugas dengan kepala nyaris meledak...
Saya rupanya saat itu belum sadar bahwa roh saya sedang protes keras terhadap daging dengan mengatakan, “Kenapa loe fokus sama tugas kuliah? Dahulukan Tuhan, wooi! Inget hari ini hari Minggu malam; jadwal penyembahan loe, nih!!”

Tugas gue gimanaaaaa?” sahut jiwa di tengah-tengah kekalutan tugas A dan tugas B. Tugas C menunggu manis sambil kipas-kipas di belakang layar.

Penyembahan dulu kan bisa?”

Jiwa mulai panik. “Tapi nanti gue digorok temen kelompok...!”

Serahkan aja ke Tuhan!” balas roh tidak mau kalah. “Kan Dia yang memegang hati raja-raja, masa’ Dia nggak bisa memegang hati temen-temen kelompok loe?”

Jiwa pun mengomel-ngomel sambil berdoa. “Ya Tuhan, Engkau yang pegang hati teman-teman saya. Jangan sampai mereka ngamuk, jangan sampai mereka marah-marah. Saya malas dengernya... Eh, iya deh saya penyembahan habis ini. Err... Mungkin.”

Rupanya Tuhan tidak suka kata ‘Mungkin’ saya... Saya ditemplak oleh dorongan Roh Kudus habis-habisan beberapa detik setelah mengakhiri doa.
Memang sih, teman-teman saya batal meledak dan ngomel ke saya—dan itu mukjizat, tapi hati saya tiba-tiba menjerit-jerit sendiri. Rasanya itu seperti ada yang ingin saya keluarkan dan ungkapkan sama Tuhan, atau siapa saja, tapi tertahan di hati. Sangat tidak enak. Kalau diibaratkan, seperti mau muntah tapi tertahan di kerongkongan. Menyiksa dan membuat saya sangat ingin nangis guling-guling dengan segera.
“Tuhan, saya kenapa?” tanya saya bingung campur takut. Ini pertama kalinya saya merasa ingin menangis tanpa sebab. Bahkan lebih dari itu, saya rasanya ingin menjerit keras-keras kepada Allah Bapa. “Saya kenapa, O’ Lord? Apa yang Anda inginkan dari saya?”

Masuklah dalam penyembahan,” ujar Roh Kudus lembut. Saya pun menurut dan memutar lagu Bless the Broken Road dan ikut menyanyi dengan menggunakan headphone agar suaranya minimal. Kan bisa bahaya kalau saya karoke-an sama Tuhan di tengah malam kayak begini...

Yap, seperti yang sudah bisa diduga, saya langsung mulai nangis parah pada detik berikutnya walau saya tidak begitu mengerti alasannya.

Kamu lelah,” kata Tuhan memberikan penjelasan dengan cepat. “Rohmu lelah.”

Belum sempat berpikir, tiba-tiba saya mendengar roh saya menjerit, “Tuhan, kapan sih Engkau datang? Saya capek... Kapan saya bisa pulang? Saya mau diam di Baitnya Bapa, nggak mau keluar-keluar lagi...! Anda dengar, Tuhan, Anda dengar... Saya tahu Anda dengar,” saya mulai mengerang. “Kenapa Anda biarkan saya hidup di dunia seperti ini? Kenapa Anda belum juga menjamah orang-orang? Mereka dalam kondisi yang lebih buruk dari saya, datanglah kepada mereka, Tuhan! Mereka lebih butuh! Save them, Lord...

Saya terus berteriak-teriak pada Tuhan di dalam roh sampai kira-kira lima belas menit penuh sambil mencengkram karpet. Saya tahu Tuhan Yesus ada di hadapan saya dan Ia memeluk saya dalam diam. Dia mendengarkan. Dia tidak memotong ‘curhat dadakan’ saya dan jeritan-jeritan roh serta hati saya; Ia hanya diam dan ikut menangis bersama saya. Ia ikut  menangisi bangsa-bangsa dan menangis untuk saya.
 Aku tidak pernah ingin kamu melayani tanpa terlebih dahulu kamu melayani Bait Kudus Allah,” kata Tuhan setelah saya terdiam. Saya tahu bahwa ‘Bait Kudus Allah’ yang dimaksudkan Tuhan di sini adalah diri saya sendiri. “Melayani adalah pengorbanan bagi orang lain, dan itu baik. Tapi selama ini kamu terlalu fokus kepada orang-orang yang kamu layani sampai kamu menterbengkalaikan keadaan hatimu sendiri.”

Tuhan benar dan saya tidak mau membantah. Hikmat dari Roh Kudus segera memproses saya, membantu saya mencerna apa yang Ia maksudkan. Saya ini ternyata sering ‘lupa diri’ kalau berkarya bagi Tuhan, terlebih melayani. Setelah capek pelayanan dan berkarya, saya cenderung hanya berterima kasih pada Tuhan dan istirahat alih-alih memulihkan jiwa dan roh saya di dalam Saat Teduh Pemulihan bersama Bapa. Bahkan teman-teman Tim Doa bisa lebih aware sama keadaan roh saya dibanding diri saya sendiri. Semua keteledoran itu akhirnya membuat hati saya jadi tidak awas akan apa yang roh rasakan, dan saya jadi seperti buta terhadap kondisi diri sendiri. Ia memang tidak berkehendak agar saya hanya melayani diri sendiri, tapi Ia hanya ingin agar saya mau lebih jujur dan berserah terhadap tangan pemulih-Nya, bahkan setelah saya selesai melayani dan bekerja bagi Dia.
Rohmu sekarang ini berempati,” kata Roh Kudus lagi. “Kamu berempati dengan orang-orang yang tidak mengenal Aku, dengan orang-orang yang selama ini harus menanggung beban mereka sendirian tanpa tahu bagaimana caranya datang kepada-Ku.”

Badan saya mulai lemas total saat memikirkan betapa enaknya anak-anak Tuhan, mereka yang selalu bebas akses kepada Tuhan dalam setiap perkara. Saya tahu saya harus berpaling kepada siapa di saat-saat terberat saya, namun mereka yang tidak mengenal Tuhan menanggung beban hidup mereka dengan bahu mereka sendiri. “Ini parah, Tuhan, saya tidak tahan.” Ya, tidak mungkin manusia dapat menanggung beban hidup mereka tanpa Allah. Selama ini saya dibesarkan Tangan Tuhan sendiri dan diajar Roh untuk selalu datang kepada Bapa di setiap saat. Saya tidak bisa membayangkan lebih jauh lagi kalau orang-orang yang terhilang harus menangis sendirian tanpa bisa merasakan hadirat Tuhan. Mereka tidak mau atau belum menerima bahwa Tuhan Yesus selalu berada di sisi mereka, bahkan saat mereka menganggap diri mereka tidak layak.

Berdoa dan merataplah bagi mereka dan bangsa-bangsa yang terhilang,” sambung-Nya.
Saya melakukan apa yang Roh Kudus perintahkan dengan hati yang masih menjerit-jerit. Saya meneriakkan permohonan ke hadapan Bapa agar Ia bersedia untuk segera menjamah bangsa-bangsa, terutama Indonesia. Barulah setelah semua itu selesai, saya bisa kembali tenang dan memproses segalanya dengan lebih baik.

Terima kasih, daughter,” saya mendengan Tuhan Yesus berkata. Saya melihat-Nya memegang sebuah mangkuk putih seukuran telapak tangan orang dewasa, dan saya takjub saat melihat Ia menampung semua air mata saya. Warna air di dalamnya benar-benar bening dan mengkilau seperti mutiara, sama sekali tidak seperti air mata dalam dunia fisik ini. Memang, saya pernah membaca di Alkitab—dan mengimani—kalau Ia menampung setiap air mata anak-anak-Nya... Tapi saya tidak pernah melihatnya langsung seperti ini. “Aku akan menggunakan ini untuk menjadi ‘hujan’ bagi tanah-tanah yang kering.”

Ratapan memang dapat digunakan Allah untuk menjamah orang-orang yang terhilang dan saya sudah dengar berbagai kesaksian dan buah dari kebenaran Firman tersebut.  Setidaknya, saya mau mengimani hal itu.
Melihat saya masih bengong menatap mangkuk barusan, Roh Kudus tersenyum dan berkata, “Lanjutkan penyembahanmu.”

Menurut, saya pun mengulang lagu yang saya gunakan untuk penyembahan tadi. Dan... Tangan saya mulai bergerak sendiri! Ini serius! Saya sampai terbahak saat menyadarinya! Memang tubuh bagian pinggang ke bawah saya masih duduk dengan manis di karpet, tapi kedua lengan saya mulai bergerak dalam suatu irama teratur mengikuti musik.
Roh Kudus sedang menggerakan tubuh fisik saya untuk menari bagi Allah! Saya nyaris tidak percaya dan hanyut dalam rasa damai dan sukacita yang luar biasa... Orang seperti saya menari bagi Allah? Betapa tidak layak!

Bukankah itu karunia,” kata-Nya, “untuk menyembah dalam tari-tarian di hadapan Takhta Bapa?”

I enjoy it, daughter,” sambung Bapa sebelum saya sempat merespon. Seperti biasa, Suara-Nya sangat lembut, namun mampu menggetarkan roh saya sampai ke bagian yang terdalam. “Dance. I’m enjoying it. It is a pleasing sacrifice before Me.

Hanyut dalam ketenangan dan sukacita Roh Allah, saya pun melanjutkan penyembahan dalam musik dan tarian. Tuhan sangat kreatif dalam memberikan penghiburan, dan ini hanyalah salah satu cara-Nya: dengan membiarkan saya memberikan persembahan kepada Bapa dalam tarian. After all, menyembah dan mempersembahkan sesuatu kepada Allah adalah makanan bagi anak-anak-Nya, isn’t it?
[ Read More ]

Kembali, Penglihatan mengenai Indonesia

Author : Benedictus Harvian
26 Mei 2012
            Kembali, Tuhan mengirimkan serangkaian penglihatan kepada saya mengenai kebangkitan rohani yang akan datang di Indonesia. Penglihatan yang pertama saya dapatkan beberapa hari lalu. Di sana, saya melihat jejeran menyeramkan patung dewa-dewi khas Indonesia dari berbagai kultur. Ketika kemudian pandangan di-zoom, saya menyadari bahwa di bawah kaki masing-masing patung itu ada orang-orang yang berlutut dengan posisi menyembah. Tangan mereka terulur memegang sesuatu yang berbentuk seperti piring. Dari piring tersebut keluar asap—tunggu! Ini menjelaskan semuanya. Patung dewa-dewi tersebut melambangkan kumpulan roh-roh jahat teritorial yang mendiami Indonesia, dan orang-orang tersebut merupakan sekutu Iblis yang menyembah mereka—dilambangkan dengan sesajen di piring dan sikap menyembah. Satu hal yang pasti, mereka tidak menyukai dan akan menghalangi kebangunan rohani di Indonesia dengan berbagai cara! Saya sadar, Tuhan bermaksud untuk menyadarkan kembali bahwa perjuangan kita di sini, Indonesia, untuk mengangkat panji-panji Allah tidaklah akan mudah.
            Penglihatan yang kedua saya dapat pada hari Selasa lalu, kalau tidak salah. Saat itu, ada pemandangan padang pasir yang sangat luas terbentang, dengan langit biru dilengkapi matahai yang sangat terik. Rasanya saya hampir-hampir bisa merasakan betapa terik dan panasnya keadaan di sana! Kemudian, pandangan saya diarahkan kepada segerombolan orang berjubah cokelat yang berdiri berkerumun di satu sisi padang pasir. Mereka terus memandang ke atas. Belum sempat saya bertanya-tanya apa yang mereka pandangi, seorang dari mereka mengulurkan tangan ke atas, dan setetes cairan seperti minyak jatuh menetes ke tangannya yang terbuka. Dengan cepat Hikmat membisikkan artinya. Padang pasir yang kering kerontang adalah Indonesia dengan segala kekeringan rohaninya. Gerombolan berjubah itu adalah para anak Tuhan yang menantikan datangnya lawatan Allah, yang dilambangkan dengan minyak yang menetes.
            Sehubungan dengan itu, saudari Gitta dari Jogja mendapatkan Yesaya 60 sebagai nubuatan dari Tuhan mengenai Indonesia. Hal tersebut bahkan divalidasi kembali ketika ia mendatangi suatu KKR yang pendetanya menubuatkan pasal yang sama! Seperti yang ditulis pada ayat terakhir Yesaya 60, “Aku, TUHAN, akan melaksanakannya dengan segera pada waktunya”, semuanya akan terjadi sebentar lagi, Saudara.
[ Read More ]

Panggilan

Author : Felicia Yosiana Gunawan

24 Mei 2012

Saya sedang berada di kafe dalam sebuah mall pada waktu tulisan ini ditulis. Saya baru pulang les, dan saya biasa menunggu bokap menjemput dengan ‘nongkrong’ di kafe sambil mengerjakan tugas kampus atau sekedar browsing. Seperti yang saya tulis pada tulisan bertemakan Padang Gurun sebelumnya, blog Adoniyah sempat kering tulisan karena saya banyak mengalami pergolakan tanpa menginvestasikan waktu dan tenaga untuk terus berkarya bagi Tuhan. Adalah suatu kesalahan juga untuk berhenti menulis bagi Tuhan—padahal saya telah menerima panggilan dan talenta khusus untuk itu. Positif, saya telah mendukakan Roh Allah dalam waktu stagnasi saya selama tiga bulan terakhir ini.
Karena kemuliaan Tuhan dan kebaikan-Nya, hari itu saya bisa tetap hidup setelah dua hari lebih jadi zombie di kampus. Yep, tentu saja alasannya adalah tugas-tugas yang menyebalkan dan sangat menyita waktu serta energi. Merasa agak senggang setelah timpukan tugas minggu itu, saya pun memutuskan untuk membuka arsip-arsip lama blog Adoniyah dan membaca lagi tulisan-tulisan yang dulu saya tulis berdasarkan tuntunan-Nya sendiri.

Hidup saya pada Masa Pengudusan benar-benar beda,” komentar saya pada Tuhan dengan lesu setelah membaca beberapa post. Yah, pada masa itu saya memang dilatih gila-gilaan secara intensif oleh Tuhan. Dengan peraturan super-ketat juga seperti tidak menyentuh game, barang-barang sekuler dan sebagainya... Namun, setelah saya dinyatakan’lulus’ dari Masa Pengudusan dan dilepas kembali ke dunia, tentu saja salah satu kerugiannya adalah ketajaman spiritualitas yang sangat drastis.
Bisa dibilang, walau dulu saya hidup seperti pertapa hutan, kedekatan saya dengan Allah jauh melebihi saya yang sekarang ini. Level ketajaman Sensor Roh saya juga beda jauh sekali. Ditambah dengan komitmen yang lebih gila-gilaan dan tidak pakai nego, saya benar-benar seperti balita bila dibandingkan dengan saya di periode Masa Pengudusan itu. Tapi tidak selamanya mahasiswa seperti saya bisa tinggal lama-lama di Gunung Kudus untuk berlatih intensif... Mau tidak mau, saya kembali diutus Tuhan juga kembali ke dunia, dan rem yang selama ini dipakaikan kepada saya pun sedikit dilonggarkan supaya saya bisa kembali masuk ke Bumi ini dan bukannya jadi alien nyasar dari Mars. 

Sudah lumayan lama sejak kamu menulis apa yang Aku diktekan,” kata Tuhan saat saya berkontemplasi. Saya sedang membaca surat-surat yang Ia diktekan untuk saya tuliskan pada saat itu, dan Ia benar soal hal tersebut. Saya memang sudah lama tidak menulis kata-kata yang didiktekan-Nya langsung setelah Masa Pengudusan berakhir.

Menangkap maksud Tuhan, saya membuang nafas dengan berat. “Anda masih mau memakai saya yang payah kayak begini?”

Pandangan-Nya melembut. “Kenapa tidak kalau kamu punya hati yang rela melayani? Ingat, Aku tidak butuh yang mampu. Aku hanya butuh yang mau.”

Kita tidak butuh kata-kata, kan?” jawab saya seraya tertawa mengalah.

Tidak. Kita tidak pernah butuh kata-kata. Kau dan Aku saling mengerti. Kau dan Aku hidup bersama selama genap sembilan belas tahun besok. Dan selama itu, kata-kata hanyalah media penyampaian apa yang ada di hati, bukan?”


Saya senang punya teman diskusi seperti Anda. Dan tentunya, Anda lebih dari sekedar teman diskusi,” tambah saya cepat-cepat.

Begitu juga dengan-Ku. Bukankah kau Kubesarkan dengan cara berbeda? Jangan terus hanyut dalam rasa bete-mu, dong.”

Saya mengkerut dan tersenyum masam. Dia memang Tuhan.

Kamu menunggu-nunggu,” kata Tuhan, membuka langsung kotak curhat saya. “Kamu menunggu-nunggu Aku. Kamu selama ini berada dalam stagnasi karena terus menunggu-Ku, dan kamu menyadari penuh hal itu. Kenapa kamu tidak berlari dan mendobrak setiap dinding yang ada di depanmu seperti biasanya?”

Yah... Saya biasanya memang barbar. Itu saya akui, kok. “Saya tidak bisa beralasan macam-macam; Anda sudah tahu segalanya.”

Kamu juga tahu bahwa Aku menempuh setengah perjalanan ke tempat pertemuan, dan sisanya harus kamu lalui bersama Roh Kudus-Ku. Daripada Aku yang menempuh seluruh perjalanan untuk menggapaimu, bukankah akan lebih cepat bila kita berdua berjalan ke titik yang sama?”

Benar.”

Ingat kembali saja, daughter,” kata-Nya lembut setelah saya terdiam lama. “Ingat kembali saat-saat Aku mengambilmu sebagai anak. Ingat saat-saat kamu Kubesarkan dengan hati-hati. Kamu tidak dibimbing ataupun dibina manusia secara khusus; Aku sendiri yang membesarkanmu dengan tangan-Ku. Untuk apakah semua itu?”

Menunjukan kebesaran kuasa dan kreativitas Anda dalam membesarkan anak?” usul saya, mulai tertawa kecil.

Tuhan tersenyum. “Ya, tapi tetap waspada terhadap rasa tinggi hati. Nah, sekarang, maukah kamu menuliskan kata-kata-Ku lagi? Aku ingin berbicara juga dengan anak-anak-Ku yang lainnya.”

Gladly, Lord.


JC : Ini Aku, anak-anak.

 Sudahkah kamu menyimak suara Roh-Ku pagi ini? Sudahkah kamu menyapa Aku setelah kamu melalui tidurmu?  Sudahkah kamu mengatakan ‘terima kasih’ kepada Bapa-Ku karena telah menjagamu dari segala kuasa kegelapan yang bekerja dua puluh empat jam sehari di muka bumi ini?

Bila ya, maka jangan pernah lengah dan teruslah belajar! Namun bila engkau belum melakukannya, Aku tidak akan marah. Hanya saja, tidak ada ruginya menyapa yang Kuasa setiap engkau bangun di pagi hari. Kebiasaan akan mengasah iman, anak-anak-Ku. Kebiasaan itu pula yang akan mengasah ‘pendengaran’ kalian terhadap apa yang senantiasa dikatakan oleh Roh-Ku.

Aku tahu kalian memiliki banyak pertanyaan. Ada begitu banyak hal yang kalian tidak mengerti saat ini, dan itu bukan masalah. Aku tidak pernah menjanjikan bahwa kalian akan mengetahui segalanya. Tapi percayalah, segala sesuatu terjadi karena suatu maksud. Segala sesuatu pula terjadi dalam waktu yang telah ditentukan Bapa-Ku, dan segala-gala yang Ia lakukan bagi mereka yang mengasihi Dia adalah baik, betapapun pikiran manusia kalian tidak dapat mencernanya.

Tujuan-Ku menuliskan ini adalah untuk memanggil kalian, anak-anak. Ini adalah waktu-Nya. Rencana-Ku telah siap, dan itu sedang bergerak.

Kuberi tahu, hanya sedikit anak-anak-Ku yang mencari dan mau terlibat dalam rencana-Ku yang penuh dengan damai sejahtera dan keagungan. Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak dari kalian yang tertidur! Banyak dari kalian yang masih mengenakan penutup mata! Kalian menutup telinga kalian dari Kebenaran-Ku yang Kudus, dan kalian menolak untuk menerima apa yang telah dituliskan para nabi-nabi dari ratusan tahun yang lalu!

Kalian menolak untuk terlibat karena kalian mengeraskan hati. Kalian mengalihkan pandangan kalian dari Keselamatan, dan kalian memilih untuk lebih melihat dunia ini dibanding Aku. Ini, anak-anak, adalah perangkap Iblis yang paling halus dan mematikan.

Ingatlah lagi bagaimana Petrus mulai tenggelam saat Ia mengalihkan pandangannya dari-Ku di atas air berombak itu. Itulah yang akan dan sedang terjadi dengan kalian saat kalian kehilangan fokus kalian pada-Ku! Kalian mulai melihat lebih kepada ancaman dunia ini, lebih berfokus kepada masalah-masalah kalian yang sesungguhnya tidak mungkin mengalahkan kebesaran-Ku. Karena itu semualah kalian tenggelam dan hanyut terbawa arus.

Kenapa kalian harus sebegitu bersusah hatinya karena topan dan badai dunia ini? Aku memahami segala yang kalian pikirkan dan rasakan, dan Aku berempati. Tetapi Aku juga menderita saat kalian lebih memilih untuk tetap duduk di pojok ruangan dan menolak tangan-Ku yang terulur. Lihatlah dengan lebih jelas, dongakkan kepala kalian dan lihatlah: Tuhan kalian menangis bersama kalian! Aku bukan Tuhan yang tertawa di atas penderitaan umat-Ku! Aku bukan Allah yang hanya duduk di Takhta Kudus dan hanya mengamati kelakuan manusia ciptaan-Ku!

Aku terlibat dalam setiap perkara bagi mereka yang mengasihi Aku! Aku lebih dari ingin untuk tetap terlibat dalam pengaturan agenda kalian, untuk kalian mintai saran, untuk duduk bersama kalian dan berbincang selayaknya sahabat karib. Bukankah Roh Kudus-Ku adalah Pribadi yang lembut dan menenangkan? Kenapa kalian lebih menyukai kebisingan dunia ini dibanding Suara-Nya yang merdu?

Kalian adalah anak-anak-Ku dan Aku tidak akan membuang kalian sekiranya kalian mengakui dosa kalian dan datang kepada-Ku dengan hancur hati. Aku tidak pernah membuang domba yang datang kepada-Ku, seberapa parah pun luka-luka dan sejauh apapun ia telah lari dari penggembalaan-Ku. Namun bila engkau tidak mengambil langkah dan inisatif untuk datang kepada-Ku, maka Musuh telah berhasil menipu dan menekan roh kalian dengan pemikiran-pemikiran kosong.

Buanglah keragu-raguan itu. Buanglah segala pemikiran dan ketakutan itu. Datanglah kepada-Ku dengan rendah dan hancur hati. Aku tidak memandang hati yang hancur dengan tatapan jijik. Justru Aku terharu melihatnya. Ya, saat ada anak yang mau menyerahkan hatinya yang hancur pada-Ku di dalam penyerahan dan kerendahan hati, Aku sangat gembira sampai Aku melompat dari tempat-Ku bersemayam! Bukankah itu bentuk penyerahan yang Aku nanti-nantikan! Aku lebih dari dapat dan ingin untuk  membentuk kembali hati yang baru bersama-sama dengan kalian.

Jangan lagi keraskan hatimu, anak-anak. Itu percuma. Dunia ini tidak pernah akan memberikan kelegaan kepada kalian. Mungkin ia dapat memberikan kalian kegembiraan dan perasaan senang sesaat, tapi tidak pernah damai sejahtera. Tidak ada yang dapat memberikannya selain daripada Aku, Tuhan atas damai sejahtera dan kasih.

Datanglah. Ini panggilan-Ku kepada kalian, o’ anak-anak yang hancur hati dan berbeban berat. Datanglah kepada-Ku. Aku siap dengan segala perban dan kelembutan yang hanya dapat kalian dapatkan dari seorang Gembala Agung.

Aku tidak menolak hati yang hancur. Aku tidak menolak pernyataan rasa bersalah dan pengakuan dosa. Datanglah. Aku menunggu.
[ Read More ]

Stupidity 2

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Kalau komsel atau persekutuan lain mendapatkan nama yang keren-keren dari ilham Roh Kudus, maka nama Tim Doa kami dari Tuhan tidak kalah keren. Tuhan memutuskan untuk menamai kami sebagai ‘Tim Lawak’ pada tahun 2011... Ehem. Saya serius.
Hal itu Ia isukan waktu kami sedang kumpul-kumpul dan ber-bego-bego-ria bersama seperti biasa. Saat kami sedang bercanda bersama Tuhan dan para malikatnya, saya bertanya, “Tuhan, komsel lain kok Tuhan kasih nama keren-keren tapi kami enggak punya nama dari Anda? Kasih, dong!”

Dengan tampang datar, Ia hanya berdeham. “Tim Lawak deh kalau gitu.”

Yah, saya sama sekali tidak protes dengan nama itu, begitu juga teman-teman lain. Karena kami tahu bahwa Tuhan memang mengumpulkan orang-orang yang tidak ada mirip-miripnya di Tim Doa aneh kami ini... Ada berbagai karakter yang justru malah jadi seperti acara drama komedi saat disatukan dalam satu latar. Tidak terhitung kebodohan-kebodohan kami bersama Tuhan yang memang sama-sama punya rasa humor super-tinggi. (Ya iyalah rasa humor-Nya tinggi! Kalau enggak, kenapa juga ada Tim Doa kayak kami?)



Pernah pada suatu perjalanan mau ke sekolah Mahanaim untuk ikut kebaktian pagi, terjadi (lagi) adegan bodoh di mobil Ivan Brian, sang sopir setia TD yang nomor plakat mobilnya sudah jadi label kendaraan TD. Kami waktu itu berlima. Ada saya, Meitri dengan urapan penggembiranya, dan seorang teman kuliah saya di jok belakang. Sedangkan di depan, Ivan menyetir dengan barbar walau nggak tahu jalan. Silvi duduk di sebelahnya, walaupun dia sama-sama nggak tahu jalan... Pertanyaannya, ngapain juga Silvi jadi navigator, ya? (Ada yang salah dengan memori spasial anak-anak Tim Doa yang selalu nyasar dan ‘Jalan Serta Yesus’ ke mana-mana, memang).
Perjalanan ke Bekasi berjalan lumayan mulus, minus percakapan bodoh di mobil yang memang selalu terjadi tiap kami jalan bareng. Nah, masalah terbesar adalah begitu kami masuk ke daerah Bekasi itu sendiri... Terakhir kali kami ke Mahanaim (dan pertama kalinya), kami hanya mengikuti mobil seorang Oom Pendeta kenalan saya yang dengan berbaik hati mau meladeni anak-anak aneh ini. Dan sekarang, kami terancam nyasar untuk yang ke-sekian kalinya di luar Jakarta.

“Loe punya GPS nggak, Van?” tanya saya begitu kami masuk Bekasi.

“Heh? Punya sih, tapi gimana bukanya—gue kan nyetir?”

“Suruh aja Silvi yang buka,” balas saya datar.

“Berhubung kita hampir telat, mending loe tanya temen loe yang anak Bekasi, Fel,” sambung Meitri.

Benar juga. Saya pun segera mengambil BB dan mengirimkan sinyal SOS ke salah seorang teman yang kebetulan alumni Mahanaim. Jawaban datang, dan isinya adalah pemetaan berdasarkan lokasi bangunan yang terkenal di Bekasi—yang notabene, kami tidak kenal semuanya.

“Ini jalan apa, wooi?”

“Belok kanan! Belok kanan!”

“Polisiii!! Gyaaa Ivaaaaan, reeeeeeeemmmm!!!”

“Tanya abang-abang di sana, eh jangan deh, tampangnya horor... Itu aja tuh emak-emak di situ!”

“Tadi bukannya harusnya ke kiri, ya?”

“Ngeh? Tadi emang kita belok mana?”

“Lah, kok kita balik ke tempat awal? Itu polisi yang tadi, kan?”

“Bang, tahu Mahanaim nggak?”

“Huwah, kita kok muter lagi sih?”

“Polisi lagi, polisi, polisi, huwaaaa...!”

“LIAT DEPAN DONG, VAN!!!”

“POLISI, POLISI...! EH, KITA DI MANA?!”

“LOE YANG NYETIR, JANGAN NANYA GUE!”

“GYAAA TELAT, TELAT! HUWAAA URAPAN MINUS, DEH!!!”

“INI DI MANAAAAAAAAA?”

@#@%#$%^$#&$%&$^&#$%^@$@$^%#&^#^#$%^#$%^...!?

Dan masih panjang lagi skrip asli percakapan panik nan idiot pagi itu. Akhirnya, kami semua terdiam dan saling melongok ke satu sama lain dengan tatapan yang sama. “Tuhan,” kata kami bersama, “tolonglah domba-domba nyasar-Mu ini.”

Tak lama kemudian, jawaban datang dan kami menemukan jalan yang ditujukan oleh teman saya. Tadinya, saya sudah berniat mau berbahasa roh sambil cari jalan, tapi karena panik semua, jadinya rencana itu batal.

“Eh, Sensor Roh gue aktif mendadak,” kata Meitri tanpa ekspresi.

“Gue juga,” sambung saya dengan perasaan agak horor. Pikiran kami sama. “Apa Tuhan menyalakan Sensor Roh kita buat mencari Mahanaim, yah...?

Menghiraukan tatapan Silvi dan teman kampus saya yang mangap dengan ekspresi ‘Mereka kumat, ya?’, saya dan Meitri memejamkan mata. “Ke kiri, Van,” kata kami.

“Tahu dari mana loe?”

“Sensor Roh,” jawab saya. “Gue merindingnya di bagian kiri...”

“Gue juga,” imbau Meitri serius.

Setelah Ivan masuk gang kecil, Ivan jalan terus dengan perlahan sambil menunggu komando kami. Tidak disadari, kami melewati sebuah gang kecil yang adalah jalan ke Mahanaim.

“Kayaknya kita kelewatan, deh,” kata saya beberapa detik kemudian. Kata-kata saya disambut anggukan Meitri.

“Tahu dari mana?” tanya Silvi, jelas-jelas mulai merasa janggal dengan sikap kami berdua yang tiba-tiba anteng dan waspada—sikap yang hanya keluar saat kami lagi Scanning dengan Sensor Roh.

Jawaban pun keluar serempak dari saya dan Meitri, “Gue merindingnya jadi di belakang.”

Dan yap, setelah putar balik dan berbelok ke gang mini yang tadi kami lewati, sampailah Tim Lawak ke Mahanaim.
Sekian jurnal bodoh episode ini.
[ Read More ]