A Dream - 2

Author : Felicia Yosiana

Setelah orang tersebut diambil dari hadapan kami, saya memperhatikan bahwa para peneliti jubah putih sama sekali tidak bingung atau mempertanyakan apa yang baru saja kami lakukan. Mengingat bahwa apa yang baru saja terjadi tergolong ‘spiritual’ dan menyalahi kaidah logika peneliti, mereka tampak tidak tertarik. Sebaliknya, mereka jadi lebih cepat bekerja dan mencatat berbagai hal pada papan-papan kecil mereka dengan muka tanpa ekspresi. Saya menyadari bahwa mereka merekam setiap detil yang baru saja terjadi dengan tanggapan yang dibuat-buat datar. Sesungguhnya, saya dapat melihat, bahwa mereka agak geram dan kalap karena hal tersebut.


Berbagai eksperimen kepada kami mulai dijalankan, seolah-olah mereka tidak memperdulikan perbuatan-perbuatan kami di sana. Tapi yang saya sadari, mereka sangat berhati-hati terhadap kami. Makanan juga tetap diantar melalui pelayan-pelayan berjas hitam yang rapih dan bersih (tapi bermuka tanpa ekspresi) dan kami diberikan fasilitas yang lumayan memadai walaupun status kami tetap ‘terisolasi’.
Yang menarik, saya kemudian menjumpai seorang kenalan saya—yang adalah teman satu kampus—di lab tersebut saat ketiga teman saya sedang menjadi eksperimen di luar ruangan.
(Catatan : ia memakai baju ‘pasien’ abu-abu juga di sana sementara kami tetap mengenakan kemeja-celana pendek putih. Sebagai tambahan, kami hanya berdua di ruangan ‘kamar’ saya saat kami mulai ngobrol.)

Ia terlihat loyo dan clueless, sama seperti semua orang di sana. Setelah bercerita beberapa saat, ia mengatakan pada saya bahwa ia takut kalau orang-orang di lab ini telah melakukan sesuatu dengan pikirannya.

Apa maksud loe?”

Ya gue takut aja,” ia menjawab lemah. “Gue mulai merasa kalau akhir-akhir ini mereka bisa membaca pikiran gue.”

Saya mulai tertarik. “Misalnya?”

Gue bahkan takut mereka bisa tahu apa yang gue pikirkan di depan lemari baju kalau gue mau milih pakaian. Contoh nih, gue akan berpikir ‘gue lapar’ sekarang...”

Saya begitu kaget saat dua orang pelayan masuk dengan baki berisi makanan sedetik setelah ia mengatakan hal itu!

Saat teman saya tersebut kemudian mengangkat bahu berimplikasi ‘bener, kan?’  kepada saya, ia mulai makan semua hidangan di hadapannya dengan lemas. Saya—yang tidak mendapat makanan ‘darurat’ tersebut—segera berlari ke toilet di belakang ruangan. Di toilet (yang cukup hi-tech), dengan perasaan takut campur getir, saya berusaha berpikir keras-keras : “Gue mau makan!! Gue mau makan!!!”
Dan...

Tidak terjadi apa-apa.

Saya keluar dari toilet dengan harapan dan petunjuk baru : Mereka tidak bisa membaca pikiran saya seperti mereka membaca pikiran-pikiran pasien lain yang memakan habis semua hidangan ‘aneh’ mereka. Dugaan saya benar bahwa makanan tersebut memang ada apa-apanya.


Eksperimen demi eksperimen dilanjutkan dengan hati-hati kepada kami berempat. Tapi tidak seperti orang-orang yang makin loyo dan gila di sana, kami tetap sehat dan berpikir tajam. Dalam setiap eksperimen, kami menemukan petunjuk baru untuk memecahkan teka-teki lukisan dinding yang kami tahu akan membawa kami keluar. Pada saat setelah eksperimen (kami tidak tahu siang atau malam di sana), di kamar kami akan berkumpul dan berdiskusi, saling berbagi informasi mengenai apa yang kami tangkap. Hal itu selalu kami lakukan dalam kamar karena kami tidak berani berkomunikasi di hadapan para peneliti dan bodyguard berjas hitam di sana—kami takut mereka curiga bahwa kami sedang mencari jalan keluar lab.

Saya ingat bagaimana Aivin mulai mencatat dengan seperangkat alat elektronik mini—yang disembunyikan dalam kantong—saat kami berdiskusi dan mecatat petunjuk-petunjuk baru. Saya juga ingat saya selalu membagikan teknik-teknik ‘membaca’ tabiat dan gerak-gerik orang di sana kepada tiga teman lainnya dan mengajarkan mereka trik-trik pancingan untuk mencari info saat berdialog dengan orang lain. (Note : Saya adalah seorang english debater saat SMA, jadi secara bahasa dan kemampuan berkomunikasi, saya memiliki lebih banyak pengalaman di sana.)

Dan pada saat saya membagikan pengalaman saya mengenai pembacaan pikiran yang dilakukan orang-orang lab kepada teman kampus saya, Yani berkata dengan riang, “Kita kan punya JC yang selalu menjaga dan memurnikan pikiran kita.”

Itu adalah kata-kata paling jelas yang saya ingat dalam mimpi.

—Bersambung... ;B