Lautan Kasih Bapa dan Pohon Hidup

Author : Felicia Yosi

19 Oktober 2011.

Sejak malam sehari sebelum tanggal di atas, saya merasa agak loyo dan tidak bersemangat. Saya jadi bingung dan agak sulit fokus kepada Suara-Nya karena saya tahu, satu saja celah kecil pada pikiran, maka buyarlah semua fokus saya akan Dia.
Memutuskan untuk tidak menghiraukan hal tersebut, sisa malam itu dan keesokan paginya saya gunakan untuk mengedit tulisan dan menterjemahkan berbagai artikel untuk blog dan Tim Doa. Saya tidak menyadari bahwa pada saat saya bekerja, pikiran saya diisi dengan pekerjaan dan bukan lagi Tuhan—sekalipun pekerjaan saya terlihat cukup ‘rohaniah’ dan ‘baik’.


Siang hari, Roh Kudus mendorong saya dengna lembut untuk menyembah, menggunakan kesempatan di mana saya libur hari itu (libur sangat berharga bagi mahasiswa yang nyaris tidak kenal libur selain hari Minggu seperti saya). Maka saya menurut dan mulai menyembah.

Tahukah kamu,” Tuhan berkata setelah saya mulai hanyut dalam puji-pujian, “bahwa Aku lebih menghargai waktu kita seperti ini dibanding waktumu untuk ‘bekerja’? Bukankah doa dan kedekatanmu dengan-Ku yang akan memenangkan jiwa-jiwa? Aku akan selalu mendekat dan memberikan yang terbaik pada mereka yang mencari Aku dan merelakan waktunya.

Lihat, bukankah engkau mengalami hal-hal yang luar biasa saat engkau mendekat kepada-Ku dengan sepenuh hati? Bahkan bahan-bahan terjemahanmu yang engkau nilai luar biasa dan keherananmu dengan apa yang orang-orang tersebut alami bukanlah apa-apa di hadapan-Ku... Tapi ketahuilah, kalau engkau mendekat kepada-Ku, engkau pun akan mengalami apa yang mereka alami dan lebih lagi.”

Saya terdiam, tahu persis kalau perkataan-Nya benar dan saya telah mengalihkan fokus kepada pekerjaan tangan manusia dan bukan Tuhan.

Jadikan Aku Tuhan atas waktumu,” pinta-Nya pilu dan lembut. “Biarkan Aku yang pegang kendali. Kamu mau melihat pekerjaanmu?”

Sebelum saya mengangguk, saya menyadari bahwa saya berada di bawah pohon yang luar biasa tinggi dan kokoh. Tubuh roh saya yang agak pendek melongo sambil menengadah ke atas memandanginya. “Ini pohonmu,” kata Tuhan saat saya masih cengo.


(Mirip seperti ini, tapi pohon yang saya lihat jauh lebih keren, sedikit lebih tinggi dan jauh lebih halus. Daunnya juga lebih rindang dan lebat.)


Well, kalau boleh saya gambarkan, pohon itu memiliki batang tubuh yang lurus, halus dan kokoh. Lebar batangnya sekitar pelukan sepuluh orang dewasa atau lebih. Tingginya... err... Kira-kira seratus meter lebih, dan di sanalah baru dedaunan rindang tumbuh. Saya bertanya-tanya bagaimana cara memanjat pohon tersebut guna mengambil buah-buahnya (untuk saya persembahkan pada Tuhan saat Ia meminta buah hidup saya nanti), dan dalam sedetik, buah-buahan dari atas jatuh ke bawah.

Kamu tahu, pohon yang kokoh ini tahan badai,” jelas Tuhan seraya memperlihatkan pohon saya terkena badai keras. Pohon itu hanya bergoyang-goyang saja di dalam badai, tapi sama sekali tidak tergubris setelahnya. Saya tahu ini dikarenakan akarnya yang kuat dan batangnya kokoh.

Tapi, hati-hati. Badai mungkin tidak dapat mencabut akarnya, tapi organisme-organisme kecil yang terus menggergoti dapat melakukannya.”

Saya diperlihatkan sejumlah besar serangga kecil yang berkerumun di satu sisi batang dan akar pohon, sedang asyik makan di sana. Saya tahu kalau saya tidak menjaga pohon dari serangga-serangga ‘kecil’ ini, maka dijamin, pohon sebesar apapun pasti tumbang.
Maksud Tuhan saya tangkap di situ: saya harus menjaga diri, roh dan jiwa dari bentuk celah kecil macam apapun.

Ia mengangguk kalem saat melihat saya mengerti pelajaran tersebut. Saya melanjutkan puji-pujian tanpa curiga dan terus bernyanyi sampai sebuah lirik membuat saya merinding...

May we remember that Your love is where we belong...”

Saya tidak tahu apakah saya boleh mengatakan belong dalam hal ini sehingga saya berhenti menyanyi dan melihat kepada-Nya. Saya nyaris lompat saat menyadari bahwa Tuhan Yesus menangis!

Kenapa Anda menangis?” seru saya syok.

Kau tahu, Aku terharu. Saat kamu mengatakan lirik tadi dan mempertanyakan apakah kamu benar-benar diciptakan untuk hanyut dalam Kasih-Ku, Aku menangis dalam haru dan Kasih.”

Saya makin merinding mendengar jawaban Tuhan dan mulai menangis juga. Saya ingat dengan jelas saat Ia memperlihatkan aksi penyelamatan-Nya terhadap roh dan jiwa saya yang kotor beberapa bulan lalu.
Roh saya, yang dalam bentuk anak umur lima sampai enam tahun, sedang duduk di gunung puing-puing dan sampah. Wajah saya kosong dan saya tidak memiliki harapan. Yang tubuh roh saya lakukan hanya berdiam dan termenung seakan-akan ia dapat tumbang kapan saja. (Lagi-lagi, saya dapat melihat dari sudut pandang orang ketiga dan pertama dalam pengelihatan ini).

Namun tiba-tiba, roh saya menengadah. Saya melihat seorang lelaki tinggi dengan jubah putih sedang berjalan ke arah saya di atas gundukan sampah. Ia kemudian mengulurkan tangan kanan-Nya yang besar dan roh saya mengambilnya dengan salah tingkah. Ia membersihkan saya, memakaikan pakaian baru kepada saya ganti kain kumal compang-camping yang saya kenakan sebelumnya. Ia mencintai saya tanpa sebab dan alasan dan mengangkat saya menjadi anak-Nya.

Saya juga ingat saya pernah bertanya sedalam apa Kasih-Nya bagi saya, dan Ia memperlihatkan suatu pengelihatan untuk menjawab-Nya. Roh saya, kali ini anak berumur sebelas sampai dua belas tahun dengan kemeja-celana pendek putih, sedang tertidur di dalam lautan yang terang dan hangat. Entahlah, saya rasa saya bernafas di dalam air dan terlelap di dalamnya. Tubuh roh saya menggantung di dalam air dalam posisi berbaring dan saya yakin itu adalah lautan Kasih Bapa. Saat pandangan saya ditarik menjauh (zoom out), saya nyaris tersedak karena Lautan tersebut benar-benar luas dan tanpa batas! Tubuh roh saya terlihat seperti sepersekian titik debu di dalam Lautan Kasih Bapa!!

Saya diambil dari sampah!” jerit saya. “Saya Engkau ambil dari gunung sampah! Saya kotor! Kenapa Anda mau menangis untuk saya? Saya nggak ngerti! Kenapa Anda mau dekat-dekat dengan saya dan mengotori diri Anda?!”

Kasih-Ku tidak terselami,” jawab Ke-tiga Persona Tuhan berbarengan. Nada bicara mereka tetap kalem, namun saya dapat menangkap Kasih, kelembutan dan pengertian dalam setiap kata. “Tidak akan dapat engkau mengerti Cinta Kasih-Ku. Setiap tarikan nafas, bukankah Aku memberikannya kepadamu dengan cuma-cuma? Aku mengasihimu, jauh lebih daripada apa yang kau tahu dan mengerti.”