Menyerahkan Mimpi


Author: Silvia Gautama
 
Awalnya saya tidak pernah terpikir untuk mendoakan, apalagi menyerahkan mimpi saya kepada Tuhan. Titik baliknya terjadi sampai suatu hari Felicia, salah satu anggota Tim Doa, mendorong teman-teman TD untuk mendoakan cita-cita dan mimpi.

              Saya merenungkan mimpi saya. Sebenarnya apa mimpi saya, ya? Saya punya banyak mimpi abstrak yang saya tidak pernah saya usahakan untuk dijadikan kenyataan. Keliling dunia adalah contoh gampangnya (semua orang juga mau keliling dunia, kan?). Tapi itu hanya berhenti sampai situ saja: mimpi. Tidak pernah saya usaha peras keringat untuk mewujudkannya.

Hmm… Sepertinya saya butuh mimpi yang spesifik. Beberapa tahun ke depan setelah lulus kuliah, saya mau bekerja sebagai apa, mau jadi orang seperti apa… Hal-hal semacam itu. Tapi kembali saya menemui tembok: saya tidak bisa menjawab pertanyaan saya sendiri. Singkat cerita, setelah beberapa lama saya menggumuli mimpi dan cita-cita, saya memutuskan bahwa saya akan jadi guru.

Saya suka mengajar dan banyak teman-teman yang datang ke saya untuk minta diajari ini-itu. Jadi saya pikir mungkin Tuhan mau saya jadi guru. Apalagi saat itu saya lagi suka-sukanya ngajar! Saya jadi sukarelawan ‘Teach For Indonesia’ yang mengajarkan anak-anak dengan gratis. Selain itu, saya juga ikut menjadi mentor di kampus. Nah, berbekal semua pengalaman dan pemikiran itu, maka saya pikir pasti Tuhan mau saya jadi guru.

Pergumulan selesai, ternyata timingnya pas banget waktu saya mau ambil peminatan. Di jurusan saya ada 3 peminatan; teaching, tourism, dan business. Karena saya pikir saya memang mau jadi guru, saya berencana mau ambil peminatan teaching. Bukankah sudah pas dan sesuai dengan cita-cita saya?

Tapi ternyata orang tua saya tidak setuju. Mereka masih berpikir jadi guru itu masa depannya tidak terjamin, sehingga saya jadi bimbang mau ambil peminatan apa.

Saat sedang kembali bergumul dengan masalah ini, tiba-tiba saya diingatkan kalau saya belum tanya Tuhan untuk masalah peminatan. Menuruti dorongan tersebut, saya segera mendoakan masalah peminatan ini walaupun saya merasa yakin Tuhan mau saya ambil teaching.

Dan …. ternyata saya salah besar. Tuhan ingin saya ambil business. Saya sampai pikir saya salah dengar! Business? Ini sama sekali bukan bidang saya! Saya adalah orang yang tidak enakan, yang ada, bila saya memasuki dunia bisnis, saya bakal bangkrut! Saya berusaha berkompromi sama Tuhan.
 

Silvia: Saya kan nggak suka bidang ini, Tuhan. Saya paling nggak suka duduk di belakang meja. Saya kan sukanya kerja di lapangan!

God: Siapa bilang kamu cua duduk di belakang meja? Aku udah siapin kerjaan yang bagus buat kamu loh.

Silvia: *masih berusaha* kalo masuk business nggak bisa jadi guru dong Tuhan?

God: Siapa bilang kamu nggak bisa jadi guru kalau masuk business? Kan bisa aja jadi guru ekonomi dan semua yang berhubungan sama business. Bidang business juga butuh guru.

Silvia: …*kalah telak*
 

              Karena saya tertemplak sampai speechless, akhirnya saya mengambil peminatan business dengan hati yang masih ragu. Tapi Tuhan sangat baik. Ia memberikan peneguhan bahwa Dia memang ingin saya ambil bidang ini. Mengambil business artinya saya taat sama Tuhan dan orang tua saya pun senang. Dua buah jatuh dalam sekali lempar, kan? Yah, walaupun saya masih berpikir saya akan menderita beberapa semester ke depan dan lebih happy kalau saya ambil teaching, saya mau coba taat.

              Dan untung saya taat! Setelah beberapa bulan masalah peminatan, saya baru sadar saya tidak cocok jadi guru. Saya suka saja mengajar, tapi ada hal yang saya lebih suka daripada mengajar. Ada hal yang bikin saya lebih senang dan rela melakukannya berjam-jam bahkan tanpa dibayar sekalipun, yaitu: membaca! Yup, membaca!

              Saya diingatkan mimpi saya yang lain yang sudah terkubur, jadi editor. Saya suka banget membaca berjam-jam hangat di depan bacaan. Rasanya ada kesenangan tersendiri waktu membaca. Tentunya, salah satu modal utama yang dibutuhkan seorang editor adalah passion atau kesukaan dalam membaca. Cocok! (Lagipula, dulu, bila baru selesai membaca suatu buku, saya pasti akan langsung komentar: ‘Kenapa novel kaya gini bisa terbit, sih? Kalau saya editornya pasti naskah ini nggak akan saya terbitin!’)

              Saya nggak pernah terpikir mau jadi editor. Sebenarnya jadi editor itu cuma mimpi asal saya saja karena saya suka membaca buku. Saya suka kesal dengan novel-novel yang ceritanya tidak jelas atau buku-buku rohani tapi bahasanya njelimet parah. Hm, itu alasan pendukungnya kali, ya?

              Melalui pengalaman inilah saya dibuat terkagum-kagum lagi sama Tuhan Yesus kita. Rencana Beliau selalu unik dan tidak bisa saya tebak! Untung saya nggak keukeuh pengen jadi guru... Belajar dari kesalahan, maka saya pun deal menyerahkan mimpi saya yang ini ke Tuhan. Terserah Tuhan deh saya mau jadi apa, kerja sebagai apa, yang penting itu memang rencana-Nya.

              Bahkan, kalaupun saya tidak bisa mewujudkan mimpi saya, saya akan tetap baik-baik saja. Yang penting membiarkan rencana Tuhan yang jadi. Bo Sanchez, salah satu author rohani inspiratif, pernah berkata, ‘You need to surrender your dream to God when your dream becomes more important than your life. When your dream steals away your peace. When your dream steals away your God.’

              Kesimpulan saya: Don’t let your dreams become more important than God. Surrender your dreams to God. May your dreams come true J
[ Read More ]