A Cracked Wall

Author : Benedictus Harvi

Minggu / 16 Oktober 2011

                Beberapa hari sebelum tulisan ini ditulis, Roh Kudus mengkomando saya untuk menguduskan kamar, mengurapinya menggunakan media yang terlebih dahulu saya doakan agar dijamah dan dipakai oleh-Nya (saya menggunakan air mineral).
Saya kemudian mengurapi setiap sudut-sudut kamar dengan media tersebut dan tempat-tempat tertentu yang Ia arahkan. Dampak langsung yang saya rasakan adalah saya dapat lebih leluasa berdoa dan memuji Tuhan, di mana saya benar-benar merasakan jamahan-Nya lebih dari sebelumnya. 


Kemarin, Sabtu /15 Oktober 2011, Roh Kudus kembali mengarahkan saya untuk menguduskan kamar. Hanya saja, kali ini ditambah dengan membuang beberapa benda yang tidak kudus (lihat Daftar Benda-benda Terkutuk) dan pengurapan semua objek di kamar.
                

Pagi ini, Roh Kudus kembali memberi sinyal untuk menguduskan kamar. Saya tidak begitu mengerti alasan dari hal tersebut, karena notabene saya sudah menguduskan kamar untuk kesekian kali-nya dalam beberapa hari ini. 
 
    “Meterai rusak. Kuduskan kamarmu kembali,” adalah tanggapan lugas-Nya.
                Tidak mau bernegosiasi, saya langsung mengambil air, mendoakannya dan memeteraikan seluruh penjuru kamar. Sebenarnya saya masih bertanya-tanya soal rusaknya meterai kamar, namun dengan cepat saya melupakan hal tersebut karena mengantuk dan memikirkan ujian yang akan datang.

                Siang harinya, saya, yang sudah tak tahan akan kantuk, segera membaringkan diri di tempat tidur. Tak lupa saya mengklaim perisai iman dan pedang roh—mengquote ayat-- sebagai proteksi. Dan saya pun tertidur.


                Saya bermimpi.


                Mimpi pertama sudah terlupakan, namun saya ingat sekelebat perasaan saat mimpi itu : saya berada dalam keduniawian. Yang aneh, saya tidak menolak maupun mencoba melepaskan diri dari keduniawian tersebut. Mimpi selanjutnya sangat nyata, mimpi paling nyata yang pernah saya alami.
Saya sadar saya berada di alam roh. Saya berada di kamar saya, dalam posisi berbaring di tempat tidur. Di samping tempat tidur saya ada sesosok anak kecil. Saya tidak begitu ingat bagaimana rupanya, yang jelas sosok itu seperti anak kecil.

Spontan, sense saya bekerja dan dengan sigap saya mengikatnya dalam otoritas nama Yesus. Ia tidak bergeming. Ia kemudian berusaha mendekat, dan saya mendeklarasikan perisai iman. Ia terhenti, namun anehnya, ia malah tertawa-tawa dan seperti mengejek saya.

                “Aku ikat, patahkan, hancurkan kau di dalam nama Yesus Kristus!”
                “Aku mendeklarasikan perisai imanku!”

                Berulang-ulang saya kumandangkan kalimat tersebut  yang seharusnya dapat menghentikannya secara total, sedang ia malah terus mendekat pada saya dan tertawa-tawa. Saya berusaha keluar kamar sambil terus mengusirnya dalam nama Yesus. Barulah ketika saya keluar kamar, ia menghilang.
                Mimpi selesai.

                Saya terbangun dengan adrenalin yang masih terpacu deras. Kesadaran pahit menimpa saya, bahwa saya pasti sudah melakukan sesuatu yang mengakibatkan meterai kamar saya rusak kembali. Segera saya berdoa dan minta pengampunan pada Sang Bapa atas kedosaan saya yang merusakkan meterai tersebut dan memberi celah bagi si jahat untuk masuk. Sesegera mungkin, saya meminta Bapa menutup pintu masuk itu dan sekali lagi memeteraikan tempat ini dengan Roh Kudus.
                Betapa baik dan pengampun-Nya Tuhan kita, Ia memberi pengertian pada saya.


                Ia me-reveal bahwa akhir-akhir ini saya berkali-kali tidak mengindahkan arahan-Nya, yang walau saya anggap kecil, namun ternyata krusial. Bahasa enaknya sih, saya ngebandel dikit. Kenyataannya, saya telah murtad.
Salah satu kasus, tadi pagi Ia menyuruh saya tidak melihat televisi yang menayangkan acara animasi—yang dulu saya sangat sukai—namun saya tetap melirik-lirik ke arah televisi yang, yah, langsung saya rasakan efeknya saat itu juga : saya jadi lebih mudah tenggelam pada pikiran saya sendiri. Saya juga melupakan komitmen saya untuk menggunakan waktu seefisien mungkin agar di tetap dapat mempersembahkan waktu bagi-Nya, sehingga saya banyak mengulur-ulur dan menunda-nunda, juga dalam beberapa kasus lain.

                “Maaf, Tuhan... Maaf... Maaf.

                “Ya, Aku sudah memaafkanmu,” balas-Nya. “Ambil Kitab Sucimu. Buka Roma 12 dan 2 Raja-raja 10.”

                Begitu membuka Roma 12, mata saya langsung terpaku pada ayat 2 dan 3 yang sudah saya stabilo. Ouch. Saya langsung mengerti apa yang menjadi flaw saya... Bahkan ayat itu juga membahas secara spesifik soal pikiran, di mana celah saya terbuka.

Tuhan tersenyum dan mengangguk kalem, mengerti kalau saya telah mendapatkan pelajaran yang Ia inginkan. “Buka yang selanjutnya.”

Kembali Ia menyadarkan saya lewat 2 Raja-raja 10, di mana Yehu dikisahkan menaati perintah Tuhan lewat nabi Elia yang sedemikian beratnya, dan perkataan para tua-tua di Samaria untuk mau menuruti dan melakukan segala perkataan Yehu sebab mereka adalah hambanya.

Anda memang Tuhan,” sahut saya lemas setelah membaca. “Saya mohon ampun... Saya sadar saya tidak taat...

Ya, Aku sudah memaafkanmu. Bagus kalau sudah sadar. Sekarang, Aku mau kau membuat komitmen baru.


Demikian, saya menambahkan list baru tentang ketaatan dan perendahan pikiran pada daftar komitmen saya. Ketegangan saya mereda, dan saya baru menyadari udara menekan yang merupakan pertanda keberadaan si jahat yang saya rasakan ketika bangun sudah menghilang.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih juga telah memeteraikan tempat ini kembali.

Ya! Jagalah komitmenmu,” sahut-Nya tegas.

Saya mengangguk, sambil agak termenung soal mengapa meterainya rusak padahal saya terus memutar lagu worship di tape kamar sejak pagi sambil menyanyi-nyanyi.

Dan seakan ingin membenarkan pandangan ngaco tersebut, Ia segera menyentak : 

SAMA SAJA BOHONG WORSHIP SEBANYAK APA PUN, BACA KITAB SUCI SEBANYAK APA PUN, DAN DOA SEBANYAK APA PUN KALAU KAMU TIDAK TAAT!!! 

IMAN TANPA PERBUATAN PADA HAKEKATNYA ADALAH MATI!!”