A Broken Line of Defense

Author : Felicia Yosi

Minggu pertama Oktober (jangan tanya tanggal, otak gue lagi skip).

Tugas membuat saya nyaris tepar minggu itu. Setelah dirundung oleh tugas kuliah dan desain ini itu, saya dengan sukses kehilangan fokus terhadap Tuhan dan terbawa arus kecapekan. Yang saya tidak tahu adalah bahwa saya telah menjauh dari-Nya sampai sedemikian rupa sehingga Suara-Nya sulit terdengar.
Klimaks dari segudang tugas itu adalah bobroknya badan dan mental saya. Well, saya cuma tidur 3-4 jam malam terakhir dari siksaan minggu itu, dan itu benar-benar jadi pukulan telak buat fisik dan otak saya yang udah kayak kabel konslet. Tuhan saya cuekin karena capek. Baca Alkitab saya kebut karena kepingin tidur. Puasa (walaupun sukses dari segi jam dan fisik) hancur secara rohani saat fokus puasa saya tidak lagi Tuhan dan Kekudusan-Nya. Singkatnya, dalam waktu 3 hari, hancur total deh  hidup rohani saya.

Tapi ini belum seberapa.

Karena kecapekan yang amat sangat, otak saya malas berpikir dan malas menyimak Suara Tuhan. Kami tetap mengobrol, tapi tidak se-intens biasanya dan Suara-Nya agak samar. Otak saya yang mulai lemot seakan-akan mengatakan kepada-Nya: “Nanti deh ya, Tuhan. Saya lagi males ngomong sama Anda. Pengennya tiduuurrrrr~

Saya juga ingat bahwa pada hari-hari itu saya membiarkan karpet yang biasa saya pakai untuk Pujian Penyembahan saya biarkan berantakan. Kertas-kertas, tas kuliah, buku-buku dan kaset berserakan di atasnya—membuat saya melihatnya saja jadi tidak mood untuk Penyembahan, apalagi doa berlutut.
Tuhan sudah berkali-kali memperingatkan saya dengan lembut untuk membereskannya. Ia juga telah mengirimkan pengertian kepada saya bahwa itu adalah tempat yang telah Ia dan saya khususkan untuk bertemu saat Penyembahan berlangsung. Singkatnya, itu adalah ‘mezbah’ dan ‘altar’ saya untuk-Nya. Tempat di mana saya melantunkan puji-pujian, mendapatkan jamahan, dan melantunkan doa-doa ya di situ.
Tapi saya menolak terus untuk membereskannya karena lelah.


Malam klimaks pada saat saya benar-benar kurang istirahat, saya baru bisa menjejakkan kaki ke rumah pukul 10.30 malam. Kebaktian di kampus saya ikuti dengan otak mengambang setengah tidur, dan les malamnya membuat saya tambah mabok. Begitu sampai rumah, cuci muka dan sampai ke kamar, Tuhan—yang Suara-Nya sangat jauh saat itu—berhasil terdengar: Ia meminta saya untuk membereskan karpet altar saya. Dengan egois, capek dan setengah marah + ngeyel tidak tahu diri, saya menjawab, “Nanti ah, Tuhaaan! Saya capeeeek! Gak mau, gak mau! Besok aja saya beresin!!”
Dan apa yang terjadi? 

Saat saya menyalakan lampu kamar, mereka ada di kamar saya! Saya sampai melompat mundur saat melihat salah satunya dalam rupa kucing di dekat kaki saya!! 

Saat ‘kucing’ jadi-jadian itu hilang, saya berdiam diri di kamar untuk beberapa detik dan memfokuskan diri melihat Alam Roh. Dan yah... Kamar saya penuh dengan si jelek yang lagi berpesta pora karena akhirnya bisa masuk ke dalam...

Memutuskan untuk tidak neko-neko lagi, saya lari ke kamar mandi dan meratapkan dosa-dosa saya dengan cepat kepada Tuhan. Saya mengakui semua dosa, kebobrokan, kebejad-an saya karena telah tidak sopan terhadap Roh Kudus, dan segala kebego-an saya di hari-hari itu. Kemudian, saya mengambil air di gayung dan memohon pada Allah Bapa untuk menguduskannya sebagai media. Dan terjadilah ghost busting tercepat dan ter-emergency di delapan belas tahun kehidupan saya...


Apa yang ingin Allah tekankan di sini? 

Jangan biarkan kelelahan menghalangi hidup Anda bersama-Nya!

Ini sangat serius!! Efek negatif dari pengalaman tersebut adalah kenyataan bahwa saya telah ‘menghujat’ Roh Kudus—dan itu membuat saya terus berdoa meminta ampun dengan sangat setiap hari sampai sekarang ini. Saya sungguh-sungguh berharap Bapa mau mengampuni saya dan memperbaiki hubungan saya dengan Roh-Nya.
Sangat menggampar saat saya diperlihatkan wajah Yesus yang sedang tertekan dan sedih luar biasa karena tindakan-tindakan saya!! 

Pada suatu titik, saya memelas dan ‘mengingatkan’ Tuhan akan janji-Nya seperti para pemazmur dan peratap Israel dahulu. Saya mengakui secara rutin setiap dosa-dosa saya dan terus meminta pengampunan, menyatakan bahwa saya mau hidup untuk-Nya dan tidak mau jalan sendiri. Dan karena kebesaran-Nya, Ia memaafkan saya. Walaupun hubungan saya dengan-Nya tidak langsung lancar seperti dulu. Ini harga yang harus saya bayar.
Walaupun kau telah diampuni, kau telah berjalan terlalu jauh dari-Ku,” kata Tuhan setelah Ia saya bombandir dengan permintaan maaf. “Lihatlah, ini keadaanmu sekarang.”

Ia kemudian memperlihatkan tubuh roh saya (masih dalam tubuh remaja canggung berbalutkan kemeja putih) yang sedang berlari di padang rumput dengan kencang. Tapi bedanya, kali ini remaja itu berlari dengan kepala menunduk, air muka tertekan dan alis mengkerut dalam-dalam. Dalam kondisi seperti itu, sungguh mudah baginya untuk memutar arah dan berlari meninggalkan jalan Allah!!
Saya langsung lemas begitu melihatnya... Saya tahu benar bahwa karena kelelahan itu, saya jadi mudah tertekan oleh keadaan dunia yang memang sudah hitam. Saya jadi mudah memberontak dan mempertanyakan hal-hal yang berbahaya (‘mengapa begini, mengapa begitu) terus menerus. Dan Tuhan tidak menyukainya.

Jadi saya harus gimana, Tuhan?” 

Ia rupanya menangkap perasaan hopeless saya dan bersimpati. (Bayangkan! Ia masih mau bersimpati pada manusia kotor kayak saya!!!) Kemudian dengan lembut, Ia berkata, “Kejarlah Aku. Kembali pada-Ku. Kejar Aku seperti yang tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Kejar Aku dengan segenap kekuatanmu. Aku tetap di sini, menunggumu. Namun berhati-hatilah dengan waktu. Kau tahu waktunya tidak lama lagi. Kejarlah Aku sekarang!”
Dan saya pun masuk dalam pujian penyembahan.


—Bersambung yak...