Author : Felicia Yosiana
A/N : Sharing masa SMA lagi. Kali ini, mengenai masa lalu pahit di mana gue bener-bener masih buta angkutan umum... (Buka aib dah)
Percaya tidak percaya, saya ini termasuk orang yang buta jalan dan buta peta. Bukan, bukannya saya tidak bisa membaca peta, tapi tidak bisa baca arah. Saya tuh jalan ke mana-mana pakai insting, tidak pernah hafal nama jalan atau nama daerahnya. Ya jangankan disuruh hafal nama jalanan, hafal nomor angkot untuk pulang ke rumah dari sekolah saja tidak. Wait, wait… Jangan ngecap saya super blo’on dulu dong, ada sebabnya tahu! Dari kecil saya tuh biasa diantar kalau mau ke mana-mana. Belum lagi waktu SMP, sekolah saya tuh dekat sekali sama rumah. Tinggal ngesot langsung sampai. Jadi saya tidak merasa butuh untuk tahu jalan dan tahu nomor-nomor kendaraan umum. Lha, buat apa? Toh ke sekolah tidak butuh yang begitu?! Tapi setelah saya SMA, baru deh kerasa kalau buta arah itu menyakitkan…
Setelah SMA, saya kembali diantar jemput oleh jemputan yang memang hanya ada satu di sekolah saya. Tapi masalahnya, jemputan saya ini tidak bisa kalau harus jemput sore-sore, sehingga kalau ada kegiatan yang di luar jam belajar, saya harus menelpon Oom saya yang berbaik hati mau menjemput saya yang buta arah ini di sekolah. Atau paling-paling ya saya nebeng sama teman yang arah rumahnya sama.
Saya pikir semuanya akan terus berjalan seperti itu, sampai pada suatu kali, Tuhan merasa sudah saatnya membuat anak-Nya ini mandiri dengan belajar naik kendaraan umum.
Pada awal-awal kelas satu, sebagai salah seorang freshmen, kelas kami kena giliran untuk mengisi koor pada acara misa jumat pertama bulan itu. Yah, memang judulnya sih ’koor’, tapi kenyataannya lebih ke nyanyi setengah teriak-teriak. Kenapa? Karena gereja itu sangat luas, jadi kami harus memfotsir suara agar bisa mengisi satu hall penuh. Latihan bagai neraka selama seminggu pun kami jalani. Lalu gimana pulangnya? Biasanya, latihan koor ini tidak terlalu lama sehingga jemputan saya masih bersedia menunggu. Tapi pada hari terakhir latihan, kami harus berlatih ekstra untuk sekalian gladi bersihnya. Alhasil saya pun baru keluar sekolah jam empat sore dan tertinggal jemputan. Inisiatif untuk meminta Oom saya menjemput pun saya urungkan karena jadwal si Oom yang memang sudah mulai padat.
Mampus gue... Gimana cara pulangnya...? Masa gue harus jalan kaki dari Matraman sampe Buaran? Batin saya resah di depan gerbang sekolah. Sambil takut-takut, saya pun memberanikan diri bertanya pada a certain Someone yang pasti sudah mengatur semua ini. Haruskah saya naik angkot, Tuhan...?
Dan Dia pun menjawab ya...
Untungnya, Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengajarkan saya naik kendaraan umum. Ternyata ada beberapa teman di kelas saya yang arah rumahnya sama dengan saya, bahkan seorang yang rumahnya di sebelah kompleks perumahan saya! Meminta untuk di-tutor nomor angkot oleh salah seorang teman saya, saya pun sampai di rumah dengan selamat.
Tapi sudahkah kursus naik angkot dari Tuhan selesai? Ternyata belum.
Suatu kali, Tuhan ingin mengetes kemandirian saya dengan sengaja membiarkan saya naik angkot sendirian. Sendirian! Tanpa teman! Mana harus naik dua kali pula! (Bagi yang udah sering naik angkot, nggak usah pasang tampang gitu, dong… Saya bener-bener buta jalan, tauk!!)
Dengan lesu karena tidak mendapat teman pulang, saya pun berjalan sambil mengeluh panjang lebar dalam hati. Di depan gerbang sekolah, saya bertemu dengan dua orang teman sekelas saya yang sedang asyik makan es mangkok. ”Baru pulang, Fel?” Sapa mereka kasual (Note: di sekolah, saya biasa dipanggil Feli). Tidak sanggup menjawab dengan kata-kata karena masih stress, saya pun hanya tersenyum-setengah-meringis-menahan-tangis sambil mengangguk-nangguk.
Saya hanya bisa berdoa sambil megap-megap agar Tuhan memberikan angkot dengan nomor yang saya butuhkan, lengkap dengan sopir yang nyetirnya tidak ugal-ugalan dengan penumpang yang sedikit.
Setelah menunggu beberapa detik (benar-benar hanya sebentar!), angkot booking-an saya ke Tuhan pun datang. Dan tahu apa? Angkot itu benar-benar memenuhi segala kriteria yang saya minta!
Dengan jantung berdebar kencang, saya pun mendaki undakan angkot. Di dalam, ternyata memang sepi. Hanya ada dua ibu-ibu dan satu mbak-mbak bertampang judes—atau ngantuk?—yang tengah bersender di ujung jok. Yah, cingcay lah... Masih dalam batas kewarasan saya... Saya pun sengaja mengambil posisi di dekat pintu agar mudah untuk turun nantinya.
Saat sudah akan sampai ke tempat yang ditunjukan teman saya untuk berganti angkot, saya pun sudah memasang ancang-ancang untuk turun. ”Tunggu dulu!” Seru Tuhan cepat-cepat. ”Jangan di sini turunnya. Tunggu sebentar sampai di sana.”
”Tapi ini ’kan tempat yang ditunjukin teman-teman buat ganti angkot! Kalau saya nggak dapat gimana?!” Protes saya makin paranoid.
“Nggak! Kamu lebih percaya mana: Aku atau teman-temanmu?!”
Menurut, saya pun mengurungkan niat untuk turun walau hati saya tetap bersikeras untuk turun. Setelah beberapa menit, Tuhan pun kembali nyeletuk, ”Nah, di sini baru turun.”
Mengikuti instruksi-Nya, saya pun bersiap turun. Saya sentil atap angkotnya keras-keras—kekerasan lebih tepatnya—yang sampai membuat si sopir setengah lompat. Maklum norak… Namanya juga baru sekali… Lagian saya waktu itu jauh lebih nervous dibanding waktu mau lomba pidato bahasa Inggris!
Setelah turun, seperti instruksi teman, saya pun menunggu angkot yang saya cari di trotoar. Tapi tiba-tiba Tuhan kembali menginstrukikan saya untuk bergerak. “Tidak usah menunggu. Kamu jalan ke kanan, ke barisan angkot yang lagi ngetem. Cari di rada belakang.”
Membelalak karena deretan angkot yang ditunjuk Tuhan adalah angkot dengan nomor yang berbeda dari yang saya tunggu, saya pun ragu-ragu sebelum melangkah. Tidak mendapat pilihan lain, saya pun akhirnya menyerah dan berjalan ke arah barisan angkot itu, mencari-cari angkot yang saya butuhkan dengan putus asa. Dan ternyata… ketemu! Angkot yang saya cari menyempil sendiri di antara barisan angkot-angkot bernomor lain! Dengan gembira, saya pun segera masuk ke dalam dan duduk di pinggir pintu, bernyanyi-nyanyi “Dia buka jalan saat tiada angkot” di dalam hati.
Namun saat angkot mulai melaju, saya teringat dengan cerita teman-teman yang pernah kehilangan handphone di angkot. Perasaan gelisah yang berlebihan mulai menyelimuti pikiran saya. Walaupun Tuhan sudah bilang bahwa tak akan ada apa-apa, saya tetap ketakutan. Maka, saya pun mempertegak duduk saya, mengambil posisi bersiaga dan siap membanting siapapun yang terlihat mencurigakan dan mulai mengobservasi orang-orang di sekitar saya.
Pertama, mbak-mbak kuliahan yang setengah tidur di pojok dengan mata merem-melek-merem-melek… Negatif.
Kedua, encim-encim yang kayaknya baru pulang belanja dengan make up luntur yang membawa dua kantong plastik segede bagong (yang waktu saya intip, isinya adalah sendal jepit dan sayur… Hmm, kombinasi yang aneh)… Negatif.
Ketiga, ibu-ibu berkerudung dengan tampang bingung setengah melongo yang lagi sama-sama memperhatikan belanjaan tuh encim-encim… Negatif.
Terakhir, cowok kuliahan modis yang sedang mendengarkan headset… Wah, ada kemungkinan neeh… Soalnya tampangnya garang juga.
Tapi, seakan-akan ingin menenangkan saya yang udah paranoid tak tertahan dan terus melototin tuh cowok (sampai dia berulang kali pura-pura maenin headset untuk kabur dari pengawasan saya yang bertampang judes)—bukan naksir, woy!! Kalau naksir mah judulnya ‘First Love di Angkot’!!—Tuhan pun ‘menurunkan’ si cowok ‘tersangka’ tersebut. Saya tidak tahu juga dia turun emang karena mau turun di situ, atau karena berniat kabur dari anak SMA nggak jelas yang dari melototin dia dengan tampang sensi.
Dengan turunnya ‘tersangka’ tersebut, saya pun bernafas setengah lega. Ya masih setengah karena belum sampai rumah.
Singkat cerita, saya pun sampai di rumah dengan selamat. Sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas di kamar mandi karena kegirangan, saya pun telah membuktikan bahwa Tuhan memang tidak akan meninggalkan anak-anak-Nya, di angkot sekalipun! Lagipula kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang mendatangkan angkot persis dengan pesanan saya? Siapa yang menyelipkan angkot yang saya butuhkan di tengah-tengah deretan angkot dengan nomor yang berbeda? Dan siapa yang menyediakan sopir angkot yang nyetirnya mulus seperti tadi?
Memang kita itu harus bergantung pada Tuhan dalam setiap perkara, masalah kendaraan umum sekalipun!