The Ambassadors

Author : Felicia Yosiana

A/N : Lagi-lagi, ini sharing bahan jadul pas gue kelas 2 SMA... Enjoy.


Setelah mencoba ikut-ikut nimbrung untuk membantu di Sekolah Minggu, saya jadi lumayan tertarik juga untuk aktif jadi calon Guru Sekolah Minggu. Ya iyalah masih calon, ‘kan saya belum ikut pelatihan apa-apa, jadi belum bisa mengajar. Lagipula ngajarnya nanti saja ah, kalo udah lebih tuaan dikit. Belum pede... Hehe.
Nah, suatu kali, saya ditawarkan untuk ikut acara Bible Camp yang diadakan waktu liburan sekolah pas saya akan naik ke kelas dua SMA. Wah, pertama kali nih ikut camp sebagai kakak Sekolah Minggu! Semangat pun bercampur malas karena harus meninggalkan rumah yang nyaman dan penuh dengan hiburan macam internet dan console game. Namun saat saya konsultasi ke kedua Bokap saya, yang di bawah dan Yang di Atas, mereka malah menyarankan saya untuk ikut. “Kan nggak apa-apa, bantu-bantu para senior GSM sekalian cari pengalaman juga,” kata mereka menyemangati saya. Maka dengan ragu, saya pun mulai mengepak barang-barang yang akan saya bawa... Kaos kaki, t-shirt, celana pendek, sandal, Playstation Portable...

Nggak usah bawa PSPnya,” celetuk Tuhan.

Oke... Maka dengan grogi, saya pun kembali mengurungkan niat untuk membawa PSP ke retret anak itu. Dasar kakak Sekolah Minggu tidak patut dicontoh!! (Untuk para ASM: Maapkanlah kakak, adek-adekku yang malang... kakak aslinya emang kayak gini...)

Long story short, sampailah kami ke wisma yang akan dipakai untuk Bible Camp ini. Setelah perjalanan yang jauh juga tentunya... plus nyasar, plus kecegat di tengah jalan dan disuruh naik angkot untuk menyambung jalan... Well, so what gitu loh? Yang penting sampai dengan selamat!
Saya tadinya berpikir bahwa retret anak ini akan jadi momen yang biasa-biasa saja—selain pengalaman pertama menjadi kakak pembimbing tentunya. Tapi ternyata salah. Ternyata di sinilah saya benar-benar diuji sama Tuhan di bidang yang saya paling tidak kuasai. Wah, diuji apa tuh?

Diuji nurut.

Heh?

Iya, diuji nurut.

Saya ini sudah terbiasa jadi leader. Weits... bukan bermaksud menyomobngkan diri, nih. Tapi memang saya udah ‘terbiasa’ untuk memimpin dan ‘mengatur’ orang. Di kerja kelompok, kerja bersama di luar kegiatan sekolah, lomba-lomba kelompok sampai kegiatan apapun, saya biasa memegang kendali. Kata orang-orang sih bakat jadi bos galak...
Tapi memang benar, saya paling tidak biasa dengan yang namanya duduk diam di belakang dengan manis sambil menunggu command. Karena biasanya saya yang take command. Bukan ge er looh... Tapi memang ini kenyataan. Dan ternyata ada maksud Tuhan dalam Bible Camp ini untuk saya dalam hal memimpin dan dipimpin ini. Bukan hanya dapat memimpin, Ia ingin saya belajar ‘dipimpin’. Ia ingin saya belajar bergerak di belakang, tidak selalu di depan saja. Dan tentunya, pasti begitu, berhubung saya kan yang paling junior di kalangan para GSM yang umumnya sudah pada kerja en tante-tante...  :-p

Biasanya kalau ada acara begini, pasti akan dibagi-bagi kelompok kerja untuk talent show dan games di outbond, ‘kan? Nah, ini juga ada kelompok-kelompokan. Namun bedanya, di sini saya bukan anggotanya lagi, tapi kakak pembimbing yang akan mengarahkan para adik-adik Sekolah Minggu yang manis untuk ikut serta dalam permainan dan aktivitas lainnya di retret ini. Wuih, terasa sekali bedanya jadi ASM sama GSM pada waktu camp!! Contoh sederhana saja deh: Kan biasanya kalau acara camp seperti ini ada jadwal acaranya... Nah, di sini juga ada. Dulu, waktu saya jadi ASM, begitu terima jadwal acara, biasanya saya dan teman-teman saya akan berteriak kegirangan begitu liat ada free time. Tapi sekarang berbeda...

ASM : “Eh, ada free time...!! Berenang, yuk! Ntar maen kartu, terus kita  ceburin si ini, si itu, ma’em snack, bobo ciang... lalala...”

Sedangkan GSM...?

GSM : “Eh, ada free time...!! Yaaah... Briefing lagee...

Itu adalah perbedaan dialog singkat antara ASM dan GSM dalam acara macam ini yang cukup signifikan. Ehem. Yah, pokoknya kerasa deh capeknya!
Di sana, saya belajar untuk ‘mengajarkan’ anak-anak di kelompok saya untuk bertanggung jawab ama tugas-tugas mereka. Saya berusaha ‘membimbing’ mereka, bukan mengatur mereka. Walau hasilnya sih kurang lebih sama juga... saya juga yang akhirnya bikinin yel-yel dan sebagian besar tugasnya... Yah, namanya juga masih anak SD... Cingcay... cingcay...

Selesai berkutat dengan kelompok yang kekurangan anggota karena tiga membernya bolos itu, saya pun kembali ke pekerjaan utama saya sebagai ‘pembokat’ di sana. Lah, saya ‘kan memang tidak memegang apa-apa, jadi kerjaannya ya hanya mengobrol sama anak-anak dan lari ke sana-sini kalau dimintain tolong oleh senior. Saya sendiri sebenarnya tidak keberatan di suruh run errands gitu, tapi cuma merasa agak ‘janggal’ saja. Karena saya yang biasa kerja di depan dan mimpin di depan sekarang tiba-tiba dikasih posisi terbelakang, saya merasa sangat tidak nyaman dan kebingungan. Bukannya melunjak atau apa nih, hanya tidak biasa saja: saya di sana bak seorang tukang parkir yang tiba-tiba disuruh jadi montir. Seorang tukang parkir yang biasanya prawat-priwit dengan pluit parkirnya tentu akan merasa janggal dan bingung sendiri begitu diberikan obeng, tang, dan dongkrak di depan sebuah mobil hancur. No clue. Tidak biasa, bukannya tidak bisa.
Sungguh, saya sudah berusaha memasang muka tembok di sana, berusaha belajar mengikuti arus walau masih merasa kurang nyaman dan agak aneh juga. (Bukan karena saya maunya sama posisi atas, lho!) Dan di situlah baru Tuhan menyatakan maksud-Nya ke saya.

Yos, nggak usah begitu. Santai saja. Aku lagi melatih kamu, nih,” kata Tuhan menenangkan saya yang gelisah.

Saya pun malah melongo dinasihati begitu. “Melatih saya? Melatih apaan, Tuhan? Toh saya cuma mondar-mandir begini aja.”

Tidak. Aku lagi ngelatih kamu,” tegas Tuhan. “Aku mau kamu belajar untuk kerja dari belakang. Aku mau kamu bisa bekerja dengan baik, mau dari depan ataupun dari belakang. Inget, Yos... Seorang pemimpin sejati bisa memimpin dengan baik DAN juga bisa dipimpin.”

Saya, yang tidak mengerti dengan maksud tersembunyi Tuhan, cuma bisa mendecakkan lidah dengan kagum. Betapa Ia memperhitungkan segalanya dalam hidup kita!

Tuhan pun melanjutkan, “Apa seseorang bisa disebut berkualitas kalau ia hanya bisa menarik dari depan? Tidak, tentu saja. Apa gunanya kalau ia tidak bisa mendorong dari belakang juga? Pemimpin harus bisa bekerja dengan baik dari manapun ia berdiri.”

Hmm... Jadi Tuhan lagi melatih saya tentang leadership?” Tanya saya dengan tampang makin bego.

Yep. Kamu tahu panggilanmu adalah untuk membuat perbedaan. Maka sekarang, Aku melatih kamu untuk membuat perbedaan dari manapun kamu Kuposisikan. Membuat perbedaan itu tugas yang besar, Yosi.”

Tunggu, tunggu... Saya masih kurang jelas, nih...!” Sambung saya cepat. “Tuhan bilang panggilan saya ‘membuat perbedaan’... Tapi itu ‘kan tidak menjabarkan apa-apa? Jadi sebenarnya Anda mau saya JADI apa? Pendeta kaah? Psikolog kaah? Novelis kaah?”

Hmmm... Rahasia,” jawab Tuhan dengan nada iseng.


Memang tak akan pernah boring deh mengikut Tuhan kita yang satu ini. Buktinya  saya yang orangnya sangat cepat merasa bosan saja bisa betah berteka-teki sama Tuhan yang jahil nan gokil kayak Dia.
Ayat-ayat Alkitab yang menuliskan kalau kita akan diperlengkapi Tuhan dalam peperangan itu bukan kata-kata sok puitis belaka...! Karena memang segala yang terjadi di dalam hidup kita itu pasi punya meaning. Pasti ada sesuatu yang Tuhan ingin kita pelajari dan mengerti dari hal-hal yang Ia biarkan terjadi di hidup kita. Cuma kitanya saja yang kadang-kadang sok egepe-an dan memasang muka tembok, tidak pedulian dan tidak peka. Alhasil, kita pun jadi sering keserimpet sendiri sama pertanyaan-pertanyaan kita yang sebenarnya tidak beralasan dan terdengar bodoh di hadapan Sang Bapa.

Tuhan itu selalu memperhitungkan segala yang terjadi dalam hidup kita, dan memang itulah kenyataannya. Ia paling tidak suka melihat prajurit-prajurit-Nya dense dan hanya bisa mengeluh dan memprotes setiap kali dilatih. Tentunya, Ia mau prajurit-Nya cepat tanggap akan maksud-Nya, bergerak cepat mengikuti instruksi, dan taat akan perintah Sang Komandan. Ia mau prajurit-Nya maju berperang dengan membawa nama-Nya dan pulang dengan kemenangan. Karena Ia juga mau melihat prajurit-Nya semakin kuat dan dewasa melewati setiap peperangan yang dihadapi.

Nah, masalahnya, saya sering kali tidak bisa seperti itu. Saya suka bermalas-malasan, tidak berusaha menempa diri, tidak cepat tanggap sama maksud Jenderal Agung, bahkan kadang-kadang, saya malah cuek akan komando-Nya. Padahal saya tahu, Ia berbuat begitu bukan demi keagungan-Nya semata, tapi demi anak-anak-Nya juga! Ia adalah Raja yang kaya, Tactician yang brilian, Pemilik Kebun yang nggak akan pernah berkekurangan! Lah kok saya yang cuma ‘pegawai’ bisa-bisanya bermalas-malas ria dan sok-sok-an, ya? Yang bergantung itu siapa pada siapa? Hantam nurani saya pada diri sendiri. Memang kalau loe tidak taat sama perintah dan nasihat Tuhan, Ia bakal kalah atau rugi? Yang ada juga loe yang pasti terancam ‘mati rohani’!
Dan mengiyakan omelan nurani kepada diri sendiri, saya pun hanya bisa mengangguk lemas sambil merasa sangaaaat bodoh karena sering mendebat Tuhan.


Namun terlepas dari semua itu, Tuhan sendiri telah mengangkat kita menjadi anak-Nya yang tentunya punya panggilan masing-masing dalam hidup kita. Kita terlahir sebagai anak-anak-Nya, prajurit-Nya, dan emas-Nya. Kita terlahir menjadi pemimpin. Tapi apa ada seorang pemimpin yang begitu lahir langsung duduk di kursi direktur sambil angkat kaki? Tidak. Ia perlu bertumbuh, dilatih, ia perlu digembleng dan diajar. Dan itulah proses kita sebagai duta besar Allah di dunia ini.
Kira-kira apa yang dibutuhkan seorang calon duta besar selain bakat dan kemauan? Sudah jelas, latihan. Dan buat apa saya takut—kalau Jenderal Agung saya sendirilah yang berdiri di belakang saya selalu.



God, where are You?”

Right here. Beside you.”