Author : Felicia Yosiana
12 September 2011.
Dulu, waktu saya kelas dua SMP, pernah terjadi hal yang sama: Tuhan mengatakan ‘Mei!’ dengan jelas kepada saya yang waktu itu sedang menghadapi ujian kenaikan kelas. Saat itu tentu saya juga tidak tahu apa maksudnya, dan Ia tidak pernah menjawab ketika saya bertanya. Tapi semua jelas ketika pada akhir bulan tersebut Mami dapat keluar dari rumah sakit dan melanjutkan perawatan akhirnya di rumah.
Saya mengira bahwa peringatan Tuhan akan September adalah pesan yang personal. Dan karena Ia juga merahasiakan artinya dari saya, maka saya pun cuek dengan peringatan tersebut sampai saya mendapatkan jawabannya dari blog yang berisi tentang kumpulan pengelihatan anak-anak Tuhan di seluruh dunia.
(http://surattuhan.malang3000.com/?kata-pengantar,144)
Dalam blog itu ditulis bahwa segala tanda kedatangan Tuhan akan dimulai. Berawal dari bencana-bencana ‘kecil’, semua itu akan meluas dan mewabah seluruh bumi sampai Pengangkatan tiba.
Jujur, saya tidak terlalu kaget membacanya. Ia pernah mengatakan hal ini kepada saya (sekitar Juli-Agustus, saya lupa): “Kalau nanti bumi tertimpa bencana dan berbagai bencana alam, kamu tidak boleh panik! Tidak usah kamu kaget lagi dan tidak perlu kamu ketakutan karenanya!”
Hal ini diikuti dengan pengelihatan cepat mengenai apa yang saya baca di Kitab Wahyu: Materai anak-anak Allah. Mata saya dibuka untuk melihat alam roh dan ya, tepat di depan dahi saya, ada sebuah tanda salib besar yang sangat terang. Itu seperti terproyeksi dan selalu ada di situ kemanapun saya bergerak. Singkatnya, di alam roh, saya seperti salib besar terang yang berjalan.
Well, that aside, saya melanjutkan sisa malam itu dengan pujian penyembahan kepada Allah. Saya meminta-Nya untuk mengampuni dosa-dosa saya dan meminta untuk selalu ditempa dan disempurnakan setiap harinya. Dan Ia meminta saya untuk berlutut.
“Ha?”
“Berlutut,” ulang Tuhan.
Tanpa kompromi, saya pun berlutut di karpet dan kembali menyembah. Saya tahu, biasanya kalau Ia meminta saya berlutut, Ia akan melakukan sesuatu yang hanya bisa saya terima dalam keadaan super-fokus. Saya mempelajari trik berlutut ini dari Tuhan sendiri saat Ia memberikan ‘Hikmat’ pada Baptisan Roh Kudus beberapa bulan silam. Dan pada prakteknya, posisi berlutut ini saya dan teman-teman terapkan setiap kali kami memasuki doa perang di Tim Doa.
Beberapa detik setelah saya berlutut, Ia bekerja. Saya menangis tak henti begitu hadirat Tuhan memenuhi roh saya. Saya menangis untuk kemurahan yang Ia berikan, untuk setiap memori yang tertanam bersama-Nya, dan untuk setiap nafas yang Ia berikan. Dalam versi alam roh, kami hanya saling memandang dan menyimak perasaan masing-masing tanpa bicara.
Dan sesuai dengan lagu yang saya pakai untuk penyembahan, “He brought joy to my soul”, Ia pun mengisi hati saya dengan damai sukacita yang begitu besar sampai rasanya saya pingin koprol-koprol sendiri di kamar—yang tentunya tidak saya lakukan mengingat bakal banyak barang hancur kalau saya nekad.
-
“Tenang saja, nak,” kata Tuhan geli. “Nanti di sini kamu bebas menari dan memuji dua puluh empat jam non-stop. Semua itu akan terlepas bebas dalam tarian dan pujian penyembahan tanpa harus terkekang lagi oleh daging.”
-
Sebelum saya sempat menjawab, alam roh kembali terbuka dan saya melihat sebuah salib yang besar terbentang di depan saya. Bagian panjang salib besar itu—yang terbuat dari marmer mirip kaca—adalah jalan panjang menuju Rumah. Awan dan sinar terang yang hangat melingkupi jalan yang agak sempit namun panjang itu. Yang membuat saya nyaris lompat adalah begitu saya melihat diri saya sendiri, dalam bentuk remaja umur 13 tahun versi alam roh, sedang berjalan di jalan itu sambil menari, melompat dan memuji Allah dengan sukacita yang besar!
Kembali ke alam nyata, Tuhan nyeletuk, “Masihkah kamu mau bete karena dunia?”
“Enggak, ah. Kan memang udah ditulis dunia bakal dihuni oleh pencemooh-pencemooh dan sebagainya... Ngapain saya kebawa-bawa bete sama mereka... Mending juga terus didoain sambil worship.”
“Kalau begitu, bersiaplah untuk pulang!” Seru Tuhan dengan bersemangat. Saya bergidik saat merasakan percikan emosi-Nya yang juga begitu ingin bertemu kembali dengan anak-anak-Nya di Rumah Bapa. “Ketaatan adalah segalanya, nak. Taat dan tempalah dirimu sampai saatnya tiba. Tidak ada seorang pun yang akan tahu waktunya (Pengangkatan), karena itu bersiaplah dan berjaga-jagalah!”