Author : Felicia Yosiana
11 September 2011.
Tiga hari sebelum tanggal sebelas saya lewati dengan susah payah. Saya bergumul hebat dengan diri sendiri mengenai arti dari ‘fokus’ yang tidak tepat. Saya tahu dan sadar penuh kalau apa yang saya pikirkan bukanlah fokus yang Tuhan inginkan karena saya berfokus kepada kehidupan saya sendiri dan manusia. Keinginan untuk hidup dan menyebarkan berita kedatangan-Nya tetap kuat, tapi kali ini, fokus saya jadi terpaut kepada ‘kotak pos’ yang ada di depan saya, bukan kepada sang Raja yang memberikan pesan.
Tuhan menegur saya dengan keras pada tanggal sepuluh, dan saya mengakui dosa-dosa saya dan meminta-Nya menyatakan arti fokus pada saat kebaktian hari Minggu.
Dan seperti biasa, Ia pun segera menjawab dengan cara-Nya.
Pada saat pujian penyembahan berlangsung, saya kembali di bawa untuk menyaksikan sesuatu. Saya tidak begitu yakin apakah ini pengelihatan atau saya yang diarahkan untuk melihat visi ini dengan mata iman dan roh, tapi saya melihat suatu kejadian yang luar biasa dengan sangat jelas: perjalanan hidup saya.
Pada mulanya, saya melihat Seseorang yang berjubah putih dan tinggi. Saya langsung tahu bahwa Ia adalah Roh Kudus, Tuhan Yesus sendiri. Di dekapannya ada seorang bayi dan saya langsung tahu bahwa itu adalah saya. Seperti seorang ayah yang begitu mengasihi anaknya, Ia mendekap saya. Seluruh perhatian-Nya tercurah kepada saya dan itu tersirat melalui mata-Nya yang penuh dengan kasih dan cinta.
Adegan berganti. Anak itu sekarang adalah seorang batita yang sedang berusaha berjalan. Saya melihatnya sedang merangkak dengan hati-hati, dan Sang Bapa ikut merangkak di sampingnya, tersenyum sambil terus menyemangati anak itu untuk belajar dan mencoba. (Oke, saya akui saya nyaris teriak histeris di sini. Tapi demi kenyamanan, mari kita cuekin perasaan saya sebagai ‘orang ketiga’ di skenario itu.)
Kelanjutan adegan itu diputar dengan cepat seperti sebuah film yang dipercepat. Saya melihat saat saya pertama kali dipertemukan dengan Roh Kudus yang pada saat itu dalam bentuk singa jantan berbulu perak—dan bagaimana saya dengan kagum menyentuh bulu Sang Singa yang tebal, dan berlari bersama-Nya. Ada diperlihatkan juga hal-hal lainnya seperti saat kami berlari di padang rumput dan berjalan di pantai. Pada saat saya tidur, Ia ada di samping saya, mengawasi saya dengan kasih.
Saya juga melihat berbagai macam adegan: bagaiman saya tertawa dan tertidur di pangkuan-Nya, saat kami bermain dan saya digendong di punggung-Nya, sesi-sesi pelajaran Hikmat yang saya lalui dengan duduk bersama Tuhan di sisi bukit (sekali lagi, alam roh), bahkan sampai pada saat saya berperang bersama-Nya. Adegan paling berkesan di hidup saya pun tidak terluput dari sorotan ‘memori’: yaitu pada saat Ia menunjukan padang bunga yang bercahaya pada malam hari di padang rumput tersebut.
Saya juga melihat berbagai macam adegan: bagaiman saya tertawa dan tertidur di pangkuan-Nya, saat kami bermain dan saya digendong di punggung-Nya, sesi-sesi pelajaran Hikmat yang saya lalui dengan duduk bersama Tuhan di sisi bukit (sekali lagi, alam roh), bahkan sampai pada saat saya berperang bersama-Nya. Adegan paling berkesan di hidup saya pun tidak terluput dari sorotan ‘memori’: yaitu pada saat Ia menunjukan padang bunga yang bercahaya pada malam hari di padang rumput tersebut.
Kemudian, secepat yang saya tahu, saya berada dalam pelukan Bapa, baik sebagai anak remaja versi alam roh, maupun sebagai diri saya sendiri di alam nyata atau fisik. Ia mendekap saya dengan kasih dan saya tahu saya tidak akan bisa hidup di luar dekapan-Nya. Kemudian dengan sangat lembut, Ia berkata, “Aku telah mati bagimu. Mati untuk menebusmu.”
Kembali saya berada di alam roh. Mata iman saya melihat Tuhan Yesus terpaku di kayu salib. Saya melihat-Nya tergantung lemah di kayu salib yang besar dan kasar, dan untuk beberapa detik saya merasa ingin lari dari situ. Namun pandangan berganti, saya kali ini melihat dari sudut pandang-Nya.
Ia sedang menatap saya.
Di dalam benak-Nya, saya dapat melihat diri saya sendiri (sekali lagi, versi alam roh) sedang tertawa bahagia dalam tarian bersama-Nya dan saudara-saudara saya. Saya langsung menyadari bahwa inilah yang menjadi kekuatan bagi-Nya untuk menanggung derita-Nya sebagai Mesias: kasih dan pengharapan.
Sedangkan dari sudut pandang orang ketiga, saya dapat melihat diri saya sendiri di antara kerumunan orang pada zaman itu, berbalutkan kemeja putih dan tercengang tidak percaya menatap salib. Sebelum saya jatuh berlutut dan berteriak, adegan berganti.
Kami berada di padang rumput super luas yang biasa kami kunjungi. Tuhan ada di sana dan kali ini, Ia menyodorkan sebelah tangan-Nya kepada saya. Ada lubang paku di tengah telapak tangan-Nya dan tanpa kata-kata, Ia meminta saya untuk meraba bekas luka tersebut. Tangan kecil saya pun meraba tangan-Nya yang besar. Dan emosi serta memori membanjiri roh dan benak saya ketika saya menyentuh bekas luka tersebut.
“Waktunya mendekat, anak-Ku,” Tuhan berkata. Kesadaran saya kembali ke alam nyata seratus persen dan roh saya tahu bahwa Ia tetap sedang mendekap saya. “Sebentar lagi, sangat sebentar, kita akan pulang.”
Nada bicara Tuhan saa itu penuh dengan kerinduan dan kasih. Saya tahu itu adalah pesan bahagia sekaligus peringatan untuk hidup kudus sampai kedatangan-Nya.
“Ajar saya untuk fokus, Tuhan,” balas saya sengau. “Ajar saya untuk selalu melihat kepada Anda dan bukan yang lain. Tempa saya dalam segala hikmat dan pengetahuan; saya mau menjadi sempurna di dalam Engkau.”
Tuhan mengangguk. “Kalau begitu maka kamu harus bisa merasakannya, merasakan langkah kaki-Ku yang berjalan cepat ke Bumi ini setiap detik. Aku bisa datang kapan saja. Dan kamu tak akan mau menyaksikan Pengangkatan dengan pikiran dan hati yang tidak terpaut kepada-Ku.”
“Now I know what it means to be set apart.”
“Is it hard?”
“I’m kinda used to it now.”
“Ya, walaupun kamu masih punya kecenderungan untuk kehilangan fokus saat kuliah.”
Saya mingkem, tahu persis kalau itu benar. Pikiran saya sering melantur ke mana-mana, atau kadang malah terlalu tenggelam dalam pelajaran kuliah dan dunia sosial. Dan saya tahu saya telah mendukakan Tuhan dengan cara itu. “Sori, Tuhan.”
“Tak apa. Asal kamu belajar fokus terus. Ingat selalu akan Aku. Renungkan firman-Ku di manapun kamu berada, lihat kepada-Ku di manapun kamu saat itu. Jangan kamu lepaskan genggaman tangan-Ku barang sedetik pun!”
“Apa itu yang membuat Anda mengisi hati dengan puji-pujian?”
“Sebagian. Tapi kamu tahu Firman-Ku tidak akan mengecewakan.” Tersenyum lebar, Ia melanjutkan, “Kamu bahkan tidak akan bisa membayangkan sukacita yang akan membayar semua jerih payah dan kesakitanmu di dunia!”
Puji-pujian berlanjut, dan di alam roh, Ia menarik tangan saya dan kami menari bersama dalam tarian gembira di padang rumput versi pagi hari.