Author : Felicia Yosiana
Berkat kasih Tuhan terhadap anak-Nya yang dodol ini, maka saya pun berhasil menyelesaikan SMA dengan nilai yang cukup baik. Ya tidak maksimal tentunya, mengingat saya sering uring-uringan dan tidak serius sekolah... Tapi rupanya Ia masih berbelas kasih pada saya sehingga saya pun bisa lulus.
Nah, apakah yang menanti setelah ujian? Jawabannya, selain penantian masa kuliah, tentu adalah libur panjang!
Tanpa malu-malu, saya pun mengakui bahwa liburan super panjang yang telah saya jadwalkan dengan cermat untuk hibernasi ini adalah suatu momen yang malah jadi hantaman bagi saya. Nggak, kok, nggak ada hal bombastis yang terjadi selama liburan. Justru hantaman yang saya maksudkan itu terlahir dari kebalikannya:
Kebosanan dan rutinitas kosong.
Beneran nih, rasa bete yang mencekam selama liburan karena lumutan di rumah itu benar-benar membuat hari-hari berdoa saya jadi hampa! Mungkin karena saya merasa ‘aman’ dan tidak sedang ‘terdesak’, saya jadi malas dan suka mengulur-ngulur waktu doa—walau tentunya tidak bolong juga. Bawaannya kalau libur itu jadi bosan berdoa dan baca Alkitab pun jadi seperti rutinitas yang di-harus-kan oleh jarum jam. Ditambah lagi dengan hari-hari yang hanya diisi hobi dan keinginan pribadi untuk bersantai-ria, maka hancurlah kehidupan liburan saya selama sebulan pertama.
Tentunya, ada saat-saat tertentu di mana saya akan menghabiskan waktu bersama Tuhan—umumnya dengan melukis. Kenapa dengan melukis? Karena saat melukis, saya merasa produktif dan bisa lebih belajar mengandalkan Tuhan dalam setiap goresan kuas. Di tambah lagi, Tuhan pernah berkata, “Aku senang bila kamu melukis,” yang sampai sekarang masih membuat saya bingung dengan maksud implisit-Nya. Tapi tidak mungkin saya melukis setiap hari, kan? Selain buang-buang cat dan kanvas, saya tidak se-rajin itu...
Nah, lalu bagaimana efek jeleknya di samping rasa malas dan bete itu? Oh, banyak. Lebih tepatnya, efek-efeknya mulai menjalar seperti rantai, di mulai dari dua hal di atas tadi. Dan apa kesudahannya? Roh yang capek dan ogah-ogahan untuk memuji dan menyembah Allah. Krusial.
Pada satu poin, Tuhan mengingatkan saya agar tidak terlena dengan kebosanan rutinitas liburan dengan membiarkan sebuah mimpi mengusik saya. Tidak tanggung-tanggung, saya bertemu ‘Yesus’ palsu di situ.
Detail mimpinya agak memusingkan dan tidak akan saya bahas sekarang, tapi pesannya jelas: bila saya mulai ‘mendikte’ Tuhan untuk berjalan sesuai dengan keinginan saya, maka Iblis lah yang akan menyusup ke kehidupan saya! Ia pun menegaskan sekali lagi, bahwa yang kita lawan setiap hari itu bukanlah daging orang lain, melainkan daging sendiri. Ya, melawan kedagingan diri sendiri sungguh jauh lebih melelahkan dibanding berbantah pendapat dengan orang lain, bukan?
Tidak ada manusia yang dapat menilik hati—hanya Tuhan. Dan itulah sebabnya saya diajar untuk bergantung pada hikmat-Nya dalam membenahi diri saya. Kenapa? Karena dijamin saya nyasar kalau pakai hikmat sendiri!
Merasa belum cukup, Tuhan pun mengirimkan penegasan lainnya: Yesaya 45 : 9 – 13! Saya mendapatkan ayat itu saat sedang bersaat teduh pagi, yang notabene, asal buka Alkitab dan langsung ketemu.
~ To be continue...