Author : Felicia Yosiana
A/N : Ini adalah sharing lama yang saya tulis waktu masih SMA, lho ya... Jadi bisa dikatakan, sharing zaman jadul :p
Oh well, yang penting bisa di-post dan bisa memberikan insight... Hehe
Kelas dua, semester dua, ada satu momen yang tidak mungkin saya lupakan di awal tahun baru. Memangnya ada apa? Saya kena insomnia berat. Kisah lanjutan dari renungan sebelumnya, ternyata insomnia saya kembali menyerang bahkan setelah saya mengambil resolusi baru bersama Tuhan. Tentu aja, insomnia sangat tidak mengenakan, apalagi buat pelajar yang fisiknya lemah dan gampang sakit kayak saya. Maka lengkaplah penderitaan saya di bulan awal tahun itu, kecapekan, pusing, flu menggila, dan sulit konsentrasi dalam hal apapun.
Bayangkan, saya mengidap insomnia dadakan tersebut selama dua minggu! Bete nggak sih tidur cuma beberapa jam selama empat belas hari?! Udah mual, pusing, kalau berdiri kayak didorong-dorong, pokoknya ajib dah! Yang lucu, entah kenapa, kalau saya doa minta insomnia saya Tuhan cabut, Ia tidak akan bereaksi. Pertamanya saya bingung, tapi kemudian saya mengambil kesimpulan singkat bahwa Tuhan mau saya lebih bersyukur, karena dengan insomnia ini, saya akan bersorak memuji Dia setiap pagi karena dikasih bobo walaupun cuma empat atau lima jam sehari. Tapi ternyata, lagi-lagi resolusi kilat tersebut tidak menyelesaikan masalah: insom saya nggak sembuh-sembuh.
Suatu kali, Papi mengajak saya untuk ikut serta dalam kebaktian wilayah yang diadakan di sekitar daerah kami. Yah, saya sih tidak keberatan. Toh yang akan membawakan firman Tuhan nanti adalah Papi saya sendiri, dan kami sempat berdiskusi bersama soal itu. Sore hari menjelang jam enam, saya sudah disuruh bersiap-siap sama Papi. Dengan enggan, saya pun berganti pakaian. Enggan kenapa? Karena mata saya bener-bener demo besar-besaran untuk ditutup kembali walaupun saya baru bangun tidur siang yang panjaaaang sekali.
Singkat kata, sampailah kami di rumah tempat persekutuan diadakan. Sesampainya di sana, kondisi saya langsung merosot total. Tiba-tiba saya merasa sangat, sangat, sangat mual! Dan claustrophobia yang sangat jarang saya alami pun tiba-tiba menyerang dengan sangat hebatnya, membuat indera penciuman saya yang udah tajam meningkat, sehingga saya jadi pusing, merasa sesak, dan ingin muntah karena dapat mencium bau-bau yang menyebalkan di ruangan itu.
Tanpa ba-bi-bu, saya pun langsung cabut keluar rumah, meninggalkan kelompok persekutuan dan Papi saya yang bingung dengan minggatnya saya yang bertampang kusut. Saya berjalan cepat keluar rumah, bermaksud menenangkan diri saya di luar dan mencari angin untuk meredakan keringat dingin saya yang sempat mengalir deras karena calustrophobia dadakan itu.
Di luar, saya bisa sedikit lebih tenang dan membiarkan Tuhan menuntun saya untuk take a stroll di kompleks orang. Kami berbincang-bincang seminim mungkin karena otak saya mumet dan nggak mampu berpikir. Dan Ia pun mengawasi saya selama saya berputar-putar keliling kompleks perumahan yang mewah itu dengan kepala nyaris kosong dan alis yang menyatu karena melawan migrain yang selalu menyerang saya ketika pikiran saya terbeban. Saya tidak ingat kapan lagi saya pernah mendapat serangan migrain separah itu selain waktu Mami akan dipanggil pulang. Pokoknya dashyat, deh! Kepala saya rasanya kayak lagi diperes isinya dari dalam dan dibor dari luar... Sementara isi perut saya serasa terbalik karena tohokan dari rasa mual dan jijik yang menyerang.
Yah, entah bagaimana, pokoknya saya masih hidup sampai malam harinya. Di rumah, saya langsung doa pelepasan karena Tuhan memberitahu saya bahwa ada yang ‘nemplok’ di punggung saya (tulang saya kayak lumer pas denger). Kayaknya ada sesuatu yang membuat pertahanan saya jebol tadi siang, sehingga mereka bisa ngegelayut dengan santai di belakang saya dan sukses membuat saya kayak orang gila. Menuruti perintah Sang Bapa, saya pun mengunci kamar dan berdoa khusyuk.
Dan apa yang terjadi? Ketika saya mengucapkan beberapa patah kata, tiba-tiba sebuah gambar yang sangat nyata diputar di otak saya (kalau bukan mata, soalnya asli banget rasanya): peperangan. Peperangan besar sedang terjadi. Enggak, enggak ada yang pake meriam atau rudal di film-film hi-tech, atau pakai helm bangsa Viking dan kapak perang kayak di film-film medieval battle; tapi saya melihat puluhan—atau mungkin ratusan?—malaikat bersayap sedang berperang sengit dengan makhluk-makhluk hitam yang jeleknya amit-amit. Suara gempuran senjata, teriakan-teriakan para petarung, semua itu dengan nyata terdengar di ‘telinga’ roh saya. Dan baru kemudian saya menyadari bahwa saya berdiri di belakang para tentara malaikat itu. Mereka berperang untuk saya.
Dalam detik selanjutnya, saya sudah kembali ke kamar saya: masih dalam posisi duduk rapih, namun keringat dingin membasahi kaus saya dan napas saya kayak orang baru nge-sprint lima kilo.
“Oh My God, yang tadi itu beneran?!” jerit roh saya keras-keras kepada Tuhan, masih syok en tegang.
Ia mengangguk. “Yep, beneran. Kita sedang berperang,” balas Tuhan.
“Jadi gimana cara memenangkannya?”
“Gampang aja,” jawab Tuhan santai. “You just have to deliver the finishing blow.”
“Me?!” pekik saya kaget.
“Iya, kamu. Karena kita nggak akan menang kalau kamu enggak turun tangan. After all, this is your battle.”
Seperti biasa, penjelasan Tuhan pun langsung diikuti dengan aliran informasi yang langsung ditangkap dan diolah otak saya. Dan saya mengerti.
Selama mereka bertarung untuk saya, mereka tidak akan menang bila saya tidak ambil alih dan melepaskan rudal dari belakang. Karena apa? Karena mereka bertarung untuk saya. Para malaikat itu bukannya tidak bisa menang sendiri, tapi Tuhan hanya memerintahkan mereka untuk bertarung dalam posisi bertahan. Kenapa lagi? Karena Tuhan mau melatih anak-anak-Nya dalam peperangan rohani. Peperangan yang sesungguhnya. Yang melibatkan jiwa, emosi, dan roh.
Dengan susupan pengertian dan energi tambahan dari Tuhan, saya pun kembali memejamkan mata saya dan berdoa dengan lebih beriman dan berani. Dengan sekeras-kerasnya, roh saya berteriak, “Dalam nama Yesus, lepas dariku!!”
And guess what? Roh jahat yang menempel pada punggung saya langsung mental, dan tubuh serta hati saya terasa plong. Aliran kesegaran rohani memenuhi diri saya, menggantikan rasa mual yang menggelitik menyebalkan di detik sebelumnya. Dan saat itulah saya mendengar pekik kegirangan para malaikat yang sangat—ehm—angelic. Saya tos dengan Tuhan, dan langsung rebahan karena lelah yang luar biasa.
“We’ve won!” pekik saya hepi.
“But not victorious yet.”
Saya langsung memble begitu denger jawaban-Nya. Kalo Tuhan udah ngomong begitu, pasti masih ada sesuatu yang harus saya tuntaskan. “Jadi saya mesti ngapain lagi supaya bisa benar-benar menang?”
“Kalahkan dirimu sendiri,” perintah Tuhan memberi jawaban.
“Hah...?”
“Kalahkan dirimu sendiri,” ulang-Nya. “Karena dalam kasusmu dan kasus kebanyakan orang ambisius kayak kamu, obstacle terbesar justru datang dari dalam diri sendiri,” jelas Tuhan tegas.
Saya merenung dan mengakui kalau saya memang ambisius. “Jadi, gimana caranya supaya saya bisa lebih berserah?”
“Gampang aja. Puasa.”