Author : Felicia Yosiana
Saya ini orang yang suka mengkoleksi jam. Baik itu jam dinding ataupun weker, saya punya yang berbagai macam bentuknya di kamar. Suatu kali saya nyaris terlambat ke sekolah karena salah melihat jam. Jam di kamar saya mengatakan bahwa saya masih dapat berguling-guling di tempat tidur dengan nyamannya. Namun ternyata jam di ruang tamu mengatakan saya harusnya sudah siap mandi dan telah selesai sarapan.
Dan semuanya pun jadi kacau hanya karena jam yang berbeda-beda. Karena, setelah saya perhatikan, bahkan jam-jam yang ada di kamar saya sendiri saja menunjukan waktu yang berlain-lainan, bagaimana dengan jam di seisi rumah saya? Tentu, saya sudah berusaha menyetting jam-jam tersebut agar menunjukan waktu yang sama sehingga tidak membingunkan, tapi hasilnya nihil. Seperti apapun saya memutar knop di belakang jam tersebut, cepat atau lambat jam-jam tersebut akan kembali berputar sesuai dengan keinginannya: yang kecepatan ya tetap kecepatan, dan yang kelambatan ya tetap saja sama.
Setelah mengamati fakta kecil ini, saya pun mulai mengerti bahwa sesungguhnya manusia itu berbeda-beda, sama seperti jam-jam ini. Persepsi atau program yang ada di otak setiap manusia tidak mungkin dapat diubah dengan mudah hanya dengan ”memutar knop” di belakangnya saja, tapi harus dibongkar total untuk disetting ulang. Dan Tuhan membuat keragaman ini bukan hanya agar dunia makin ramai saja, tapi ada maksud-Nya.
Suatu kali, saya terlibat konflik dengan seorang anak di kelas. Yah, sebenarnya sih bukan hanya saya, tapi seluruh kelas juga terlibat dalam masalah ini. Masalahnya kecil dan ringan: perbedaan persepsi dan kebebalan. Tentu saja saya keki dengan anak ini karena ia benar-benar menganggap dirinya benar—tidak mengerti di mana kesalahannya. Oke, mungkin dalam kamusnya, ia benar. Tapi dalam kamus saya dan anak-anak sekelas, ia salah. Satu melawan tiga puluh, sudah bisa dipastikan hasilnya, bukan? Dan yang paling mengesalkan, adalah kenyataan bahwa ia juga aktif melayani di gereja! Bukannya saya menyangkal pelayanan orang lain, tapi betapa saya kecewa dengan pelayan Tuhan yang hidupnya seperti burung dalam sangkar! Saya menjadi kecewa dengan pelayanan gereja dan manusia, kembali meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah fana dan kotor, tidak terkecuali pelayanan rohani.
”Kamu lihat, Yos?” Tanya Tuhan tiba-tiba saat saya sedang merenungkan masalah ini.
”Apa, Tuhan?”
”Banyak yang mencari Aku, tetapi sedikit yang mau menjadi cermin-Ku."
Tanpa ragu, saya pun mengiyakannya. Karena memang benar, banyak orang yang mencari Tuhan dengan pelayanan ini dan itu, namun sedikit yang mau menjadi bayangan Tuhan dalam bertingkah laku dan berpikir. Well, itu memang tidak bisa disangkal, tapi bukan itu yang menyerap perhatian dan energi saya.
Hal yang membuat saya nyaris gila adalah saat saya memikirkan betapa manusia itu berdosa hanya dengan pikirannya. Saya merenungkan, apa yang sebenarnya membuat konflik dan menemukannya. Dalam versi saya, konflik dilahirkan oleh persepsi. Persepsi manusia berbeda-beda, dan saat persepsi itu bertabrakan, muncullah dosa-dosa lainnya seperti ego, harga diri, iri hati dan sebagainya untuk mempertahankan posisi persepsi mereka agar lebih tinggi dari pemikiran orang lain. Singkatnya, tidak mau menerima pendapat orang lain dan mengutamakan pendapat pribadi.
Pada akhirnya kita tidak akan pernah bisa memprogram ulang jalan pikir orang lain karena hanya Tuhan yang bisa. Tapi kalau hal tersebut disederhanakan menurut presepsi manusianya, manusia cenderung mencoba menjadikan dirinya tuhan agar kehendak dan pemikirannya diakui orang lain. Jadi selama jalan pikir kita berbeda dan itu kita suarakan, kita tidak akan terlepas dari konflik dan dosa.
Oke, setidaknya, itulah asal muasal konflik menurut Felicia Yosiana Gunawan, si tukang mikir yang aneh-aneh.
Tapi apa kata Tuhan? Saat saya mengkonsultasikan hal ini ke Tuhan, tanpa saya duga, Ia justru menggelengkan kepala-Nya! Kaget, saya pun bertanya pada-Nya apa yang menurut Tuhan dapat melahirkan konflik dan dosa.
”Kebebalan.”
”Kebebalan?” Tanya saya bingung.
”Ya, kebebalan,” jawab Tuhan. ”Setiap manusia mewakili beberapa bagian dari karakter-Ku, Yosi. Dan itu adalah hal yang baik. Keragaman yang Aku buat tidaklah di luar Aku karena kalian anak-anak-Ku, ciptaan-Ku. Tapi apakah yang salah persepsi jika konflik dan dosa muncul? Kalau begitu bukankah Aku yang bodoh karena telah membuat bibit konflik? Bukan, karena buatan-Ku tidaklah bercacat. Tapi kebebalanlah yang menghancurkan semuanya. Dengan kebebalan, kalian menutup kuping kalian dari presepsi orang lain. Dengan kebebalan, kalian berjalan dengan ego dan harga diri di atas ego orang lain, dan seterusnya.”
Dari penjelasan Tuhan di atas, barulah saya mengerti. Yah, walau tidak seluruhnya mengerti, paling tidak ada yang bisa saya tangkap dari perkataan Tuhan tersebut. Pada intinya, ternyata teori saya tidak salah-salah amat: persepsi menimbulkan pertentangan dan konflik. Namun Tuhan mengingatkan, bahwa tanpa presepsi, maka dunia ini akan menjadi dunia yang monoton. Persepsi tidak salah, namun yang salah adalah bila kita bebal dan kurang hikmat untuk menggunakan serta menyampaikannya. Nah, berhubung soal hikmat ini akan saya bahas di judul lainnya, mari kita teliti dulu kebebalan kita.
Kalau di salah satu kamus mini bahasa Indonesia yang saya jejalkan di lemari, bebal itu, disamping ’kolot’, juga memiliki arti ’bodoh’ dan ’sukar mengerti’. Menurut Tuhan, bebal itu dapat memiliki banyak arti: mulai dari kebodohan, kekeras-kepalaan, dan seterusnya. Kita juga tahu bahwa bangsa Israel juga kerap kali disebut sebagai bangsa yang tegar tengkuk dan bebal di Alkitab. Tapi coba deh, buka lagi Perjanjian Lama Anda dan baca kisah-kisah bangsa Israel. Saya menjamin Anda, sedikitnya akan mengernyitkan mata atau tertawa melihat ”kebodohan” bangsa itu. Betapa tidak, mereka telah dilepaskan dari Mesir dengan cara yang sangat spektakuler dan luar biasa, namun mereka masih mudah takut dan bersungut-sungut. Masih mending bila bersungut-sungutnya cuma mengatakan ini dan itu, tapi mereka bahkan sampai berteriak-teriak bahwa lebih baik mereka tinggal di Mesir sebagai budak!
Kalau saya jadi Tuhan atau Musa, pasti sudah saya rajam bangsa Israel satu per satu menggunakan batu kali yang sebesar bola basket. Ya iyalah, baru saja dilepaskan dari rantai perbudakan dengan luar biasa, ketemu masalah sedikit langsung koar-koar lebih baik tidak dilepaskan! Siapa yang tidak kesal?
Tuhan juga telah menyertai mereka dengan cara-cara yang luar biasa dan nyata. Sebut saja tiang api dan tiang awan untuk membimbing mereka dan mana yang dijatuhkan dari langit untuk mereka makan selama perjalanan. Tapi apa yang mereka lakukan? Bukannya makin percaya bahwa Tuhan itu mahakuasa dan hebat, mereka malah makin sering bersungut-sungut mengenai ini dan itu, makin sering ”ngambek” bila kemauannya tidak dituruti, namun pada saat yang sama menyombongkan diri sebagai bangsa ”pilihan” Allah. Bodoh dan mengesalkan, bukan?
Nah, kurang lebih, kita sama seperti bangsa Israel saat itu.
Kita adalah manusia tidak tahu berterima kasih yang setiap hari mendikte Tuhan dengan daftar permintaan kita— walau kita tahu, status kita adalah ciptaan dan pelayan. Saat Tuhan mengangkat kita menjadi anak-Nya, kita sering bersar kepala dan meninggikan diri, makin manja dengan menganggap Tuhan akan makin menuruti kehendak kita. Walaupun Tuhan telah memberikan kita hidup setiap hari dengan oksigen yang tidak pernah habis, bukannya kita makin mengagumi kekuasaan-Nya, kita justru lebih sering menyalah gunakan pemberian-Nya atau malah bersungut-sungut dan ngambek karena kurang puas atau karena menganggap Tuhan salah memberi masalah.
Lucu, ya, kalau merenungkan betapa manusia itu jatuh ke dalam kemunafikan dan dosa. Saya sendiri sering tertawa bila memikirkan hal ini dan membenci diri saya dengan sangat. Saya jijik dengan diri saya sendiri dan ingin segera lepas dari daging dan dunia yang memuakan ini. Tapi selalu, pada akhirnya, saya akan tersenyum sambil menahan tangis haru juga kalau melihat Tuhan yang bersedia memeluk dan mati bagi kita yang kotor dan berlumpur ini. Sungguh, saya tidak pernah mengerti jalan pikir dan kasih-Nya.
”Karena memang tidak akan bisa,” sahut Tuhan. ”Tidak seru, ’kan, kalau ciptaan dapat mengerti pikiran pencipta-Nya?”