Author : Felicia Yosiana
4 September 2011.
Lagi-lagi saya dibawa ke alam roh via mimpi. Dan lagi-lagi saya berperang. Hanya saja, begonya, kali ini saya nyaris saja kalah kalau nggak langsung disambar Tuhan di detik-detik terakhir…
Kenapa saya bisa nyaris kalah begitu?
Simpel. Saya lupa bawa pedang.
Di alam roh, yang lagi-lagi di rumah saya, saya tahu persis saya sedang dalam zona perang. Lawan saya, seorang—atau seekor—Iblis berbentuk mirip manusia, berdiri dengan garang sekitar empat meter di depan saya. Ia mengenakan baju abu-abu, masih berusaha menyerupai Tuhan Yesus yang Asli dalam penampilan. Saya dalam keadaan sadar penuh saat itu dan saya tahu persis apa yang harus dilakukan saat lawan saya mulai menunjukan tanda-tanda akan menerjang dengan kekuatan penuh.
Saya dengan cepat membuka Perisai Iman. Tapi kali ini, ada yang aneh…
Perisai saya mengecil!
Saya kaget saat ‘melihat’ perisai saya yang tidak se-silau kemarin ini! Apalagi ukurannya… Dari yang sebesar rumah, sekarang tinggal sebesar pintu.
Menerjang maju, si Yesus palsu menabrak Perisai saya dan meringis. Tapi tidak seperti kemarin, kali ini, saat ia berusaha menerjang saya lagi, Perisai saya pecah!
Dengan cepat saya melompat ke samping untuk menghindari ‘serudukan’ lawan. Jantung saya berdebar-debar dan saya bingung sekali akan keadaan itu. Dan apa yang harus—
Oiya, Pedang!!
Mana Pedang Roh saya?
Saya mencoba fokus pada pedang itu, tapi tangan kanan saya kosong. Dan tentunya, ini membuat saya tambah panik.
Saya tidak bawa senjata sama sekali!
Tidak memberikan kesempatan bagi saya untuk berpikir panjang, lawan segera memutar arah dan bersiap-siap untuk kembali menerjang. Ia sungguh terlihat seperti seekor banteng yang siap menyeruduk lawan. Dan saya adalah target terbuka baginya: Target tidak bersenjata dari banteng marah—dengan perisai yang hancur pula. Indah sekali…
Kembali saya menebar Perisai Iman. Dan hal yang sama terulang: lawan menabraknya dua kali, dan pecahlah pertahanan saya.
Beberapa centi sebelum lawan menerjang saya, Tuhan menyambar saya dan saya pun tersentak bangun.
“Tuhan, apa-apaan tadi!?” adalah respon pertama saya setelah meminta ketenangan dan proteksi ekstra dari ketakutan.
Pengetahuan dari Allah segera mengalir ke benak saya (yep, Dia sering menjelaskan sesuatu dengan cara seperti ini di saat-saat kepepet. Saya ibarak computer yang menerima data baru dari-Nya). Ternyata, sebelum tidur dan berdoa, saya lupa nge-quote ayat!! Dan itulah yang bikin saya tidak bersenjata!
Aaaaarghhh…! Bego banget gueee…!!!
Nurani pun menjerit memaki-maki diri sendiri karena bisa begitu teledor dan tolol...
Dan oh, satu pertanyaan lagi, “Keapa Perisai saya bisa mengecil gitu, Tuhan?”
“Karena kamu nggak berpedang,” jawab-Nya. “Coba nih bayangkan: kalau kamu jadi petarung dan ada lawanmu yang nggak berpedang, apa yang kamu lakukan?”
“Saya gempur,” jawab saya bego.
“Ya Iblis juga sama. Mereka tahu kamu nggak bisa apa-apakan mereka, ngapain juga mereka takut? Dengan atribut bertahan, kamu tak akan bisa menang. Iblis juga tahu kalau kekalahanmu cuma masalah waktu bila tanpa senjata. Dan yah, mereka memanfaatkan momentum dengan baik.”
(Saya sebagai target terbuka tanpa pedang...)
Saya mengangguk-ngangguk dengan tampang miris… Kemudian, yakin bahwa Tuhan masih akan menjelaskan sesuatu, saya mengambil Alkitab dan membukanya secara acak dan mulai meng-quote ayat-ayat yang memberikan saya kekuatan.
“Sekarang, Aku akan melatihmu,” kata Tuhan setelah saya selesai. “Buka 1 Raja-raja 14.”
Saya cengo.
Memang sih, saya lagi latihan untuk jadi lebih peka dengan tuntunan Tuhan dengan mengandalkan-Nya dalam pembelajaran Alkitab sebelum tidur. Roh Kudus akan menyebutkan Kitab dan Pasal yang harus saya baca dan saya belajar peka dan menurut ke level baru dari situ.
“Raja-raja?” Tanya saya nggak percaya. “Ngapain baca kisah ja-dul?”
“Buka aja. Aku mau mengajarkan taktik dasar berperang padamu lewat kisah ini.”
Well, jujur saat itu saya sangat ragu kalau itu suara Roh Kudus. Tapi beriat nurut, saya pun membuka 1 Raja-raja dan mulai membaca pasal 14 mulai dari ayat 21.
Dan… Nabok.
Ternyata saya kalah perang karena buah dari dosa tidak taat saya di hari sebelumnya. Biar saya perjelas terlebih dahulu…
Sehari sebelumnya, Tuhan membangunkan saya tiga kali saat saya tidur. Ya bisa dibilang ini memang berkaitan dengan menu puasa saya yang meminta dilatih berperang secara khusus. Saya diajak untuk berperang kapanpun Ia membangunkan saya dan berdoa khusus untuk kesiapan Mempelai Wanita-Nya, yang notabene juga demi kesempurnaan saya pribadi di dalam Dia.
Saya lupa jam berapa saja Ia membangunkan malam itu, tapi saya tahu Ia membangunkan saya tiga kali untuk doa gempur. Nah, begonya, saya cuma doa satu kali. Dua kali sisanya ngapain? Tidur lagi.
Dan apa hasilnya? Seharian itu saya susah dengan suara Tuhan dan saya tahu Ia kecewa terhadap saya. Saya telah meminta maaf pada-Nya, tapi Suara-Nya tetap samar dan terdengar jauh—pertanda bahwa saya telah berjalan terlalu jauh meninggalkan Tuhan.
Dan di saat merenung itulah Dia nyeletuk, “Kamu harus mendekat pada-Ku bila ingin Kuproses lebih jauh!”