Author : Felicia Yosiana G
A/N : Written about two years ago... Lagi-lagi sharing jaman bahala. Heheh... Enjoy.
Dunia sudah mau kiamat. Bukankah itu topik yang lagi nge-trend? Dari anak SD sampai yang jalannya sudah bungkuk, dari yang masih makan permen sampai yang ngunyah daun sirih, semua pasti lagi seru membicarakan topik hangat ini. Apalagi setelah dirilisnya berbagai film-film besar mengenai hari kiamat atau Doomsday, seperti misalnya film 2012 atau Knowing yang fenomenal dan sempat mengguncang dunia perfilman.
Aduh, kok saya jadi terdengar kayak peliput film? Bukan, bukan film yang mau saya bahas, tapi kiamatnya. Toh kita semua sudah tahu bahwa memang waktunya sudah dekat. Waktu kedatangan Tuhan ke dunia ini sudah tinggal sedikit lagi. Kalau mau dipikir secara kekanakan, Alkitab saja yang ditulis beribu tahun yang lalu sudah gembar-gembor bahwa waktunya sudah dekat, jadi apalagi sekarang? Mepet, dong?
Tapi yang jadi masalah, bukanlah bahwa kita tahu kiamat pasti akan terjadi, tapi kapan kiamat akan terjadi. Saya rasa semua orang pasti penasaran, bukan? Saya juga penasaran. Kalau menurut ramalan suku Maya yang sekarang lagi marak, kan katanya tahun 2012. Tapi saya pribadi sih tidak percaya. Memang mungkin saja akan terjadi bencana hebat tahun sekian, tapi kiamat pastinya, hanya Allah yang tahu karena di Alkitab saja sudah ditulis. Jadi tidak ada orang lain yang tahu kapan itu akan terjadi: tidak manusia, tidak malaikat, tidak Iblis, bahkan Tuhan Yesus sendiri pun tidak. Intinya, itu rahasia Sang Bapa, deh.
Tapi berhubung saya waktu itu belum menyerapi frase di atas, saya sempat juga dilemma mengenai isu-isu “kiamat tanggal sekian” yang berdampak buruk pada hidup dan pelayanan saya. Saya sempat percaya kalau kiamat hanya tinggal menghitung tahun, bulan, dan sudah dekat sekali. Sampai-sampai, saya jadi merasa malas berbuat apapun; malas mengejar mimpi dan cita-cita saya, malas pelayanan, malas semuanya deh! Habis kan rugi banget kalau udah capek-capek kerja keras untuk menggapai cita-cita, eh tahunya kiamat duluan. Bahkan secara ekstrem, saya pernah membayangkan nanti waktu saya lagi di wisuda, setelah menempuh berbagai perjuangan dan kerja keras menyelesaikan sekolah yang bagai neraka di Bumi, dan saat saya dan teman-teman lagi lempar-lempar topi kelulusan sambil haha-hihi… terus tiba-tiba meteor segede bulan jatuh dan kiamatlah Bumi kita…
Nggak make sense abis, pikir saya grogi. Terus buat apa manusia hidup kalau cuma akan mati? Buat apa kita semua berjuang hidup kalau pada akhir-akhirnya modar juga?!
Tapi Tuhan, yang ingin saya bersikap positif, akhirnya turun tangan untuk mencubit dan membangunkan saya dari linduran saya yang makin tak jelas.
Hari itu hari Minggu. Seperti biasa, saya segera bersiap untuk pergi ke Gereja dan memutuskan untuk mengikuti kebaktian pagi. Karena saya agak terlambat, maka tempat duduk yang tersisa hanyalah tempat duduk di sisi kiri ruangan saja— yang berarti duduk mojok. Setelah saya duduk di pinggir tembok, saya baru sadar bahwa di dinding dan jendela-jendela Gereja telah dihias dengan bunga-bunga putih yang dibiarkan menjuntai dalam suatu ikatan. Jangan tanya saya itu bunga apa, soalnya saya buta jenis bunga. Mawar saja bisa tertukar dengan kembang sepatu… Bahkan ulangan Biologi tentang bunga waktu SD kagak lulus. Maklum, tomboy… :-p
Waktu saya lagi asyik memperhatikan bunga-bunga itu, saya pun mulai berpikir: bunga itu hebat juga yah… Dia mau mekar dan berusaha menjadi cantik, bahkan yang terbaik dari antara bunga-bunga lainnya. Padahal untuk mekar, ia membutuhkan keberanian dan usaha yang besar.
Dia tahu umurnya tak akan panjang, akan banyak gangguan yang bisa saja membuatnya terkapar layu. Angin lah, manusia lah, hujan deras lah… Ia tahu bahwa tetap kuncup akan lebih aman baginya. Tapi bunga tetap memilih untuk mekar, malah berusaha untuk hidup dan menjadi yang tercantik. Apa selama ini gue salah konsep, yah…?
Di situlah tiba-tiba saya ingat akan kata-kata bijak yang pernah diucapkan oleh salah seorang Oom penatua Gereja saya. “What you are, is God’s gift. But what you do, is your gift to God”.
Jadi… Apa bunga itu tetap memilih untuk mekar justru karena tahu umurnya tidak panjang, ya? Apa ia memilih untuk mekar karena ingin membalas kebaikan Penciptanya—walau cuma sesaat…?
Saya rasa iya.
Yang lucu, sebelumnya saya pernah mendengar sebuah ilustrasi yang menurut saya agak aneh tapi menarik.
Begini… ada dua orang jiwa yang akan diturunkan ke dunia. Waktu ditanya sama malaikat pengurus kelahiran di Sorga, “kamu mau jadi orang kayak apa? Yang selalu menerima, atau yang selalu memberi?” Roh yang satu ngejawab; “Yang selalu menerima, dong…! Kan enak, tinggal terima.” Tapi yang satu lagi menjawab kalau ia mau jadi orang yang selalu memberi. Dan beberapa tahun kemudian setelah diturunkan ke Bumi, ternyata jiwa yang menjawab ingin selalu nerima malah jadi pengemis di jalanan! Lha, memang benar kerjaannya selalu “menerima” saja kan ? Tapi, guess what? Jiwa yang dulu menjawab ingin selalu memberi jadi seorang milyarder yang dermawan!!
Ilustrasi itu menurut saya kocak juga. Dan itu membuat saya berpikir; Apa waktu di Sorga gue juga milih kehidupan gue sekarang, ya?
Yah, waktu itu saya memang belum tahu apa yang roh saya katakan ke Tuhan, tapi setidaknya, saya yakin itu hal yang positif. Jadi saya mau hidup tanpa mengecewakan Tuhan dan roh saya, bukan dengan murung dan fret over nggak jelas. Karena saya yakin, kita semua sendiri lah yang menyanggupi peran kita di dunia. Dan saya rasa bunga juga bertanggung jawab kepada pilihannya… dan untuk itulah ia mekar.
“Masa kamu kalah sama bunga?” celetuk Tuhan setelah saya berpikir demikian.
“Nggak deh… Nggak mau… Mau mekar saja, daripada kuncup mulu.”
Dan setelah saya membuat pilihan itu, saya rasa kita semua juga harus memilih untuk mekar. Tuhan sendiri sudah bilang, bunga yang tak kunjung mekar tidaklah berguna bagi Penciptanya. Kan bete juga kalau harus memandangi padang bunga yang bunganya kuncup semua. Apa cakepnya?
Ya tentu saja mekar itu bukan perkara gampang. Bicara, ceramah, menulis, semuanya mudah. Tapi melakukannya itu yang butuh kesabaran dan kegigihan… Tapi kalau ada orang-orang yang berani mekar, kenapa kita tidak? Albert Einstein, J.K. Rowling, Bethoven, dan sederet orang-orang ‘sukses’ lainnya sudah tercantum di daftar ‘bunga mekar’-nya Tuhan. Bosen ah di waiting list melulu!!
Dan di situlah saya berkomitmen bahwa saya mau mekar, dan walau cuma beberapa saat, saya mau memperlihatkan ‘kecantikan’ sebuah ciptaan pada Penciptanya.
Tapi memang pilihan itu harus disertai komitmen. Tidak bisa seenaknya memutuskan ‘gue mau sukses’ terus langsung terjadi. Perlu kegigihan, usaha, pengendalian waktu, dan doa. Nah di sinilah yang kebanyakan orang—termasuk saya—sering jatuh.
Cita-cita utama saya adalah menjadi penulis pro en sukses, dengan J.K Rowling sebage target.
Kejauhan kah? Hehe
Tuhan sendiri sudah menegur saya berkali-kali, kalau saya mau ngejar cita-cita saya, ya harus berkomitmen, tidak ada seleweng sini seleweng sana . Tapi dasar memang manusia, ya saya suka ngebandel, sering membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.
Bahkan ada suatu kejadian heboh di mana Tuhan bener-bener ingin saya latihan untuk mengatur waktu, yang malah bikin perang dunia ke-3 antara saya sama Dia.
Waktu itu saya yang baru dapet program video maker, sedang gencar-gencarnya bikin video sendiri. Bikin video itu lama, mesti nge-cut-cut adegan yang pas, terus disisipkan ke bar timeline, dan dipas-in sama lagu yang dipakai untuk background sound. Saya, kalau udah lagi mengedit video begitu bisa berjam-jam, pasti bakal lupa makan, lupa minum. Kerjaannya hanya mematung di depan laptop sampai pagi. Tuhan dan Papi saya sampai sudah bosan menasihati saya supaya jangan buang-buang waktu dan mulai kembali menulis. Lagipula main laptop melulu kan bikin minus kacamata naik… Tapi waktu itu saya sih cuek bebek.
Suatu kali waktu saya lagi mengedit video, dan saat tinggal memberikan finishing touch—cieh bahasanya… Tiba-tiba laptop saya ngehang!!!
Video gueeee!!! Data videooooo!!!
Raib semua….
….
……..
………….
Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn!!!!
“Apaan sih?! Kok ngeganggu?! (es-mo-si) Udah keren-keren juga! Kenapa ngehang dan ilaaaaaaaaaaaaang?! Itu bikinnya tiga hari lebihhh!! Berjam-jaaaaaaaaaaam!!!” Raung saya marah.
Tuhan cuma diam. Setelah saya selesai teriak-teriak dan lebih tenang (tentu masih keki), baru Dia nyeletuk, “Tau alasannya? Because I love you.”
Again…
Keki nggak sih?! Jerih payah berjam-jam dihancurkan Bokap dengan alasan “Becoz I lap yuu”?! Saya pun cuma mendengus kesal, masih tidak bisa terima dengan perbuatanNya.
“Tahu nggak, Yos? Kamu tahu yang lebih baik, tapi Aku tau yang terbaik.”
Benar juga, sih… Tapi, apaan?! Dengan menghancurkan kerjaan orang? Saya pun tetap mingkem, masih marah.
“Kamu tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu Kubiarkan?”
…Jadi kepikir juga bahayanya… Mungkin gue bakal jadi seorang slacker sejati dengan kacamata setebal pantat botol susu ‘n all… Tapi tetap aja masih sakit! Nggak! Nggak terima!
“As I said, Yosi. I know the best,” selip Tuhan. “Kamu tahu tidak kenapa banyak umat-Ku yang meninggalkan Aku setelah kejadian yang—menurut mereka buruk—menimpa mereka?”
Otak saya mulai berjalan. Iya juga… Karena mereka tahu yang lebih baik… Tapi tidak pernah tahu yang terbaik.
Dan Tuhan membaca pikiran saya—bahkan yang belum sempat saya pikirkan—dan langsung membalas, “Will you be one of them?”
….
“Dengar? Setan ngedorong kamu buat benci Aku, menganggap Aku nggak fair. Tapi kamu yang lebih tahu.”
”Sorry, God,” bales saya sambil meringis, malu-malu kucing.
Memang pengalaman itu adalah salah satu kemarahan terbesar saya sama Tuhan… Tapi ternyata buahnya not so bad, manis malah. Tapi Tuhan itu sabar, ya… Kalau saya Tuhan, saya pasti langsung pancung setiap anak yang ngedumel kayak saya. Yah… Memang itulah misteri terbesar Tuhan kita; kasih-Nya.
And guess what? Malamnya saya langsung dapat 1 Korintus 10! Tapi yang paling mengena itu ayat 10-nya; “Dan janganlah bersungut-sungut, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka dibinasakan oleh malaikat maut.”
Tuhan kita itu terlalu keren…
Bahkan besok sorenya saya masih dapat penghiburan tambahan karena saya jadi malu en distant sama Tuhan sejak insiden itu. Sore itu, ada dorongan buat memutar lagu-lagu rohani yang kuat sekali. Saya pun menyerah. Walau saya sebenarnya lagi nggak mood untuk melantunkan pujian penyembahan, tapi saya putar juga. Lagu satu album sudah hampir selesai, tapi tak ada satu pun lagu yang masuk ke otak dan hati saya. Saya kayak orang bengong, dengar lewat kuping kiri keluar kuping kanan. Tapi ternyata Tuhan tidak menyerah begitu saja.
Tiba-tiba kasetnya berenti. Saya kira itu hanya karena ngehang, maklum lah CD butut, sudah dua tahun… Waktu saya mau berdiri dari ranjang dan mematikan music player, eh tiba-tiba dia nyala lagi, dan kembali mengulang lagu yang barusan sudah selesai. Dan saat itulah saya benar-benar lemas, karena lagu yang diulang Tuhan adalah ‘God is good’ yang tadinya tidak saya perhatikan. Dan setelah saya dengarkan sambil loyo-loyo, liriknya pun benar-benar pas:
“He felt what I feel”…
Ampun deh Tuhan… Saya yang udah memble gini masih dihibur… Pakai acara diulang lagi lagunya karena tahu tadi saya lagi bengong…
Tidak ada orang tua yang bisa menandingi kasih, kesabaran, dan kepedulian-Nya. Dan saya rasa bunga yang sudah mekar lebih memahami hal ini. Saya sendiri sebagai bunga yang masih kuncup, juga punya beribu ketakutan untuk mekar. Tapi saya juga tidak mau jadi bunga yang kuncup sepanjang tahun dan pada akhirnya malah disambit sama si penanam karena tidak berkembang.
Untungnya, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Apalagi kalau kita digandeng dan selalu diperhatikan oleh Tuhan seperti Yesus. Memang susah sekali percaya sama kalimat itu, tapi it’s true.
Saya rasa, bunga pasti ketakutan saat ia harus memilih untuk mekar atau kuncup terus. Tapi kalau bunga saja tetap memilih untuk mekar—dan yang ternyata memang terbukti dirawat sama Tuhan—kenapa kita, manusia masih takut untuk mekar?
Burung dalam sangkar memang akan tetap aman dan hidup lebih tenang. Tapi bukan itu tujuan ia diciptakan memiliki sayap. Begitu juga kita yang diberikan talenta dan kasih-Nya.