Author : Felicia Yosiana
Hal kedua yang saya pelajari adalah untuk menggunakan Kasih Kristus dalam doa-doa kita, terutama bagi orang lain. Hal ini Ia ajarkan pada saya saat saya sedang terbeban untuk berdoa bagi para penderita kanker.
Suatu malam, saya merasakan keinginan yang sama untuk berlutut dan berdoa bagi orang-orang ini. Saya tahu seperti apa mengerikannya kanker dan kemoterapi karena Mami saya adalah salah satu korbannya (Anda dapat membaca kesaksian beliau dalam buku yang dibuatnya sebelum ia mudik ke rumah Bapa, berjudul “Bukankah Ini Mukjizat”). Mengikuti dorongan tersebut, saya pun kembali berlutut dan berdoa.
Saat saya mengalami aliran perasaan Bapa yang begitu deras, saya kemudian segera paham bahwa sesungguhnya Ia mengasihi kita tanpa batas, dan kasih itu lebih dari cukup untuk menyembuhkan segala penyakit anak-anak-Nya! Menggunakan hal tersebut sebagai “inti” doa, saya memohonkan agar Allah bersedia menjamah para pasien kanker, terlebih lagi membawa mereka terhadap pengenalan akan Allah. Saat saya sampai kepada si Tante, saya sedikit kebingungan karena saya terbiasa untuk membayangkan terlebih dahulu wajah orang yang saya doakan. Tapi rupanya di situ strategi Tuhan dilancarkan: Ia mau saya berdoa dengan beralaskan kasih, sekalipun saya tidak mengenal atau tahu wajah orang-orang yang saya doakan.
Maka, saya pun berdoa sambil membayangkan sedang memegang kedua tangan orang-orang yang saya doakan, berlutut banjir air mata memohonkan jamahan Tuhan.