Author : Benedictus Harvi
19 November 2011
Selama beberapa hari sampai tulisan ini ditulis, saya mengalami cukup banyak pergumulan. ‘Fluktuatif’ mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya. ‘Labil’ lah ya, kalau pakai istilah mudahnya. Paket saat teduh saya tiap malam –doa, baca Firman, dan worship- tetap dijalankan lengkap. Doa pagi plus baca Firman sebelum memulai aktivitas yang sempat saya neglect malah saya jalankan dengan teratur belakangan ini. Lho, terus apa yang dipermasalahkan? Bila ditanya seperti itu, terus terang saya agak bingung menjelaskannya. Usaha saya memutar otak mencari kosakata yang tepat membuahkan kata ini:
KOSONG.
Saya merasa kosong.
Agak abstrak mungkin, walau saya yakin beberapa dari Anda mengangguk tanda mengerti terhadap kasus ini. Yang jelas, saya merasa ada yang salah pada relasi saya dengan Tuhan.
Bila dibahas secara deskriptif dan analitis, dapat digali banyak sekali penyebab dari ‘kekosongan’ saya tersebut. Pertama, saya agak terseret arus dunia, sampai saya pun susah untuk mendengar Suara Tuhan belakangan ini. Kedua, saya sempat tidak taat pada beberapa kasus. Ketiga, saya akui saya kurang fokus pada Allah, bahkan saat saat teduh sekali pun. Bayangkan, saat sedang membaca Kitab Suci, masa’ saya bela-belain motong buat bales sms cuma gara-gara penasaran?! How low of me.. Lalu, keempat.. Kelima... Dst dll dsb... ------- Sebelum penggalian sebab-akibat ini menganalogikan pembacaan Pancasila, saya stop dulu deh...
Kesemuanya itu memang terkesan trivial dan harmless. Bahkan saya sempat tidak menyadari kemurtadan saya sebelum Roh Kudus mengingatkan itu semua.- Well, kesadaran akan dosa memang suatu pekerjaan dari Roh Kudus, after all. Terima kasih, God.. – Bila saya tilik sekarang dengan pikiran yang sudah ‘sehat’, banyak sekali usaha Tuhan untuk mengingatkan saya bahwa saya sedang pelan-pelan melepaskan pegangan Tangan-Nya dan menjauh dari-Nya.
Dalam periode kekosongan saya, saya sempat sadar dan haus akan Tuhan, yang saya tumpahkan dengan mendengar lagu pujian. Saat saya larut dalam penyembahan, Tuhan berulang-ulang mengatakan, “Aku mengasihimu, Nak. Aku mengasihimu sejak semula. Aku mengasihimu,” sambil memberikan suatu penglihatan yang membuat saya tercengang.
Saya melihat masa kecil saya seperti film yang diputar di kepala. Saya melihat saya yang masih kecil –entahlah, mungkin 5-6 tahun- sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil bernyanyi-nyanyi lagu pujian. Ya, memang itu merupakan salah satu hal yang otak super pikun saya ini ingat, bahwa saya suka menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Allah saat kecil. Kalau tidak salah, kasetnya sampai ngadat saking sering diputar :P. Lalu apa yang spesial dari penglihatan itu? Tuhan. Tuhan Yesus duduk di samping saya sambil merangkul saya, ikut bernyanyi bersama saya.
Suara Tuhan bergema jelas di roh saya, “Aku mengasihimu sejak semula.”
Speechless.
Respon pertama tubuh jasmani saya adalah: saya merinding.
It’s really... It’s really something beyond words.
Penglihatan berlanjut dengan pergantian scene. Err... Mungkin saya perlu curcol sedikit terlebih dahulu. Well, entah saya kemanakan zeal saya terhadap Tuhan lewat kesukaan saya terhadap kisah-kisah Kitab Suci dan lagu-lagu penyembahan saat kecil, saya tumbuh menjadi pribadi yang jauh dari Tuhan. Semakin beranjak dewasa, saya semakin mengikuti arus dunia dan tumbuh sebagai anak yang berenang-renang di lautan dosa tanpa mau lepas darinya. Informasi agama di akte kelahiran –saya belum punya KTP saat itu, LOL- hanyalah hitam di atas putih. Tidak pernah saya berusaha mencari Tuhan atau bahkan mempertanyakan soal Tuhan. Hanya karena kasih karunia dan kebaikan-Nya sajalah saya dapat lahir kembali di dalam-Nya sekarang! Oh, puji dan syukur tak habis-habisnya kepada Tuhan! Ehem. Sekian curcolnya.
Ia melanjutkan dengan suara yang membahana, “Aku juga mengasihimu bahkan di saat-saat kelammu.”
Adegan demi adegan kehidupan saya yang penuh dengan luka batin, kepahitan, dan kedosaan lainnya yang rasanya tak perlu diebutkan satu per satu membanjiri benak saya. Tak ada satu pun adegan di mana Tuhan tidak ada di samping saya. Menawarkan untuk menyeka air mata ketika saya menangis –yang tidak saya hiraukan-, menawarkan punggung untuk saya naiki ketika beban terlalu berat –yang juga tidak saya hiraukan-, bahkan berdiri memunggungi saya dengan air mata tercurah sambil berusaha memperingatkan saya ketika saya melakukan suatu dosa –yang juga, tidak saya hiraukan-.
“Bahwasanya aku selalu di sampingmu.”
Tubuh saya berguncang menahan tangis.
Luar biasa.
Betapa Kasih-Nya luar biasa..
Beberapa hari setelahnya saya kembali jatuh pada kekosongan. How filthy of me.. Namun terbukti, pekerjaan-Nya nyata dalam kesinambungan yang hidup. Puji Tuhan! Siang tadi saya terdorong untuk mampir ke toko buku rohani. Hanya untuk mengisi jeda waktu sebelum kerja kelompok di rumah teman sih sebenarnya... Namun setelah menjelajahi rak demi rak saya menemukan sebuah buku yang sudah saya cari-cari sejak lama. Menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya buku tersebut saya beli.
Setelah kerja kelompok saya pun ‘cao’ ke rumah naik angkutan umum. Mengikuti kebiasaan lama, saya membaca buku tersebut di angkutan umum (jangan ditiru yaa... saya sih udah keseringan sampe uda ngga kerasa pusing lagi. Hehe). Tak disangka-sangka, Tuhan menyambar saya lewat buku tersebut. Bagian yang secara acak saya buka bercerita tentang si penulis yang lahir sebagai ‘anak perjanjian Tuhan’. Orangtua sang penulis sudah divonis tidak dapat memiliki anak lagi, namun mereka berdoa dan membuat janji dengan Tuhan yang kira-kira bunyinya begini : ‘jika Tuhan memberi anak lagi bagi mereka, mereka akan sadar bahwa anak itu dilahirkan untuk satu alasan—melayani Tuhan sepanjang hidupnya’.
Betapa indah iman tersebut, dan terlebih lagi Tuhan yang memenuhinya!
Buku kembali saya bolak-balik dan saya menemukan bagian di mana si penulis mendapatkan siksaan dan cobaan berat sampai pada titik ia meragukan kesetiaan Tuhan padanya. Pergumulan berlangsung panjang, tapi pada akhirnya ia kembali disadarkan akan janjinya dengan Tuhan.
“Kamu lupa akan janji kita?” adalah kata-kata singkat Tuhan yang diucapkan dengan nada ringan, namun seperti headshot bagi saya.
Spontan, semua uneg-uneg, kekuatiran, keraguan saya meledak digantikan oleh rasa yang lain.
Rasa haus. Rasa rindu.
Rasa ingin dekat dengan Sang Bapa, tanpa embel-embel lain, murni ingin mendekat dan mendekat pada-Nya, merasakan kasih-Nya, melayani-Nya, membalas kasih-Nya, menyenangkan hati-Nya.
Saya pun berteriak dalam roh.
“LOOOORRRDD!!!! SAYA MAU MENJADI PENYEMBAH-MU SELAMANYA!! SAYA GA MAU MANGKIR LAGII!!! SAYA MAU HIDUP BERDASARKAN KETETAPAN-MU SAJA!! SAYA MAU MENYENANGKAN HATI-MU!!”
Detik setelahnya, Bapa mengizinkan saya melihat Takhta-Nya. Tubuh roh saya tersungkur dengan posisi berlutut dan wajah menghadap ke tanah. Saya terlihat sangat kecil dibanding Bapa di atas Takhta-Nya. Hanya jubah-Nya yang putih dan Kaki beralaskan kasut yang dapat saya lihat. Tersungkur tak berdaya di hadapan kemuliaan-Nya yang memancar begitu kuat, saya mendengar Bapa berkata, “Anak-Ku. Aku sudah mendengar komitmenmu. Sekarang Aku mau kamu menandatangani perjanjian ini.”
Saya mendongakkan kepala sedikit dengan susah payah dan melihat gulungan kertas panjang yang penuh dengan tulisan. Di bawahnya ada kolom tempat nama saya tertulis dan di sampingnya ada cap berwarna merah.
“Itu adalah meterai dari Darah Anak Domba,” kata Bapa menjawab pertanyaan yang belum saya tanyakan, “Dan sekarang di sini namamu tertuliskan. Dengan menandatangani perjanjian ini, kamu akan menyatakan bahwa kamu siap untuk maju dalam Nama-Ku.”
Saya tidak dapat berdiri sampai beberapa malaikat memakaikan kepada saya sebuah jubah putih dan menopang saya. Akhirnya, saya menandatangani perjanjian tersebut.
“How does it feel to make a vow with the Father?”
Suara Tuhan menyadarkan saya bahwa saya sudah kembali berada di dunia nyata.
Alih-alih menjawab, saya berseru, “Father, Jesus, Holy Spirit! I want to live in You!! In You! I want to seek Your face all along my life, I want to serve You all my life, I want to worship You all my life! For You alone, God!! Nothing else but You! You, You, God!!!!”
Saya benar-benar merasa seperti baru lahir kembali, seakan-akan baru saja mengenal Tuhan.
“Yes, My son, yes!” Nada suara Tuhan terdengar sangat gembira saat Ia mengucapkan hal ini.
Saya capek namun hepi. Super duper hepi malah. Sambil berusaha menahan dorongan yang luar biasa kuat untuk tersenyum (saya di angkot, after all) dan saya mendapati Tuhan melanjutkan perkataan-Nya.
“You should know that I shall put you into tests. You should know that there shall be days of refinement upon you. They were all to prove your worthiness.To prove your faith. To prove your faithfulness. And you should know as well that those are to come in no time.” Tegasnya nada suara Tuhan membuat saya agak tersentak. Biasanya Ia berbicara dengan nada seperti ini untuk hal yang benar-benar krusial.
“And with fire it is. Am I right, Lord?”
“With fire, through the furnace. Nothing shall keep you in the track but pure Faith in Me. Don’t get caught unaware. Know that I am always with you.”
Spontan saya menjawab, “I shall put my trust in You alone, Lord!!”