Pelukan Sang Tuan

Author : Benedictus Harvian

17 Des 2011

Sekian hari saya jalani dengan berbagai macam pergumulan. Kebebalan dan keraguan membuat saya ‘mangkir’ dan terus mencari semua jalan keluar masalah-masalah saya pada dunia tanpa mau mengalihkan pandangan pada Sang Bapa. Saya kerap mempertanyakan hal ini dan itu, membanding-bandingkan satu perkara dengan perkara lainnya, mengambil kesimpulan secara manusiawi, menilik segala sesuatu dengan hikmat dunia yang disebut Kitab Suci sebagai kejijikan bagi Allah. Anda tahu apa yang menanti di jalan pemikiran dunia tersebut? Kegalauan. Kebencian. Kepahitan. Depresi. Da~an serentetan hal negatif lainnya.
Yah, tidak sepenuhnya, kalau mau dibilang. Dalam beberapa kesempatan Tuhan menunjukkan aksi pertolongan-Nya yang memang tidak pernah terlambat. Ia akan mengajak saya berdiskusi dan menumpahkan semua pemikiran saya yang abstrak tersebut kepada-Nya, bahkan mengadakan sesi pemulihan yang luar biasa saat saya menyembah. Terpujilah Tuhan! Merujuk kepada bahasa gaming, saya berulang kali K.O. dan di-revive. Bodohnya, sudah sekian kali siklus tersebut berlangsung, saya kembali membiarkan diri saya K.O tanpa mau belajar dari pengalaman...


Puncaknya terjadi kemarin malam. Serentetan peristiwa menimbulkan (lagi-lagi) fluktuasi mental saya, hanya saja kali ini dalam beberapa tingkat yang lebih berat. Karena tenggelam dalam kesibukan belajar untuk Ujian Akhir Semester keesokan harinya, dengan bodoh  saya membiarkan hal itu semalaman. Yah, harus saya akui, ada harapan kecil bahwa segala perasaan tidak enak itu akan terlupakan begitu saya bawa tidur.
Pagi hari. Saya bangun dan menyapa Tuhan seperti biasa, lalu melakukan aktivitas-aktivitas. Saat itu,jujur, saya sudah lupa sama sekali dengan pergumulan saya kemarin. Bukankah ini memang hal biasa bagi kita, untuk membiarkan suatu hal yang tidak mengenakkan tertimbun dengan sendirinya? Lebih baik lupakan saja, orang bilang.
Namun, Tuhan tidak sependapat.
Ia tahu luka yang disembunyikan hanya akan menjadi semakin parah dan di kemudian waktu pasti ia akan menyeruak kembali—entah dalam bentuk apa pun. Oh, atau mungkin analogi ini lebih tepat: akar kepahitan yang sudah muncul harus segera dicabut atau ia akan tumbuh dan menghasilkan buah-buah yang –saya yakin—pasti busuk.

Hal ini langsung terbukti pada saya. Ada peristiwa pagi itu yang membuat saya kembali teringat akan hal yang saya gumulkan malam sebelumnya. Dan dampaknya? Parah. Saya kembali ‘ngambek’ sama Tuhan, mengaktifkan ’mekanisme’ pencarian jalan keluar versi dunia. Sudah bisa diduga, saya nyerah. Dunia ga bisa ngasi jawaban selain rasa galau after all. Dengan tampang super kuyu dan semangat down to the max, saya berusaha mencari Tuhan lewat saat teduh pagi.
Kesadaran bahwa saya telah menista Tuhan dengan cara saya menjauhkan diri dari-Nya membuat saya merasa sangat tidak pantas . (Baru nyadar lo, wooi!) Apapun itu, saya baru menyadari kalau selama sekian hari tersebut saya telah menyakiti hati-Nya dengan berbagai sikap childish saya. Saya sudah benar-benar hopeless dan tidak heran bila Tuhan balik ‘ngambek’ pada saya saat itu.

Tapi, memang Tuhan kita adalah Tuhan dan Kasih-Nya tidak berujung. Ekspektasi saya salah. Dalam seruan pertama saya untuk memohon ampun dan minta dipulihkan, Ia langsung menjawab. Ia membawa saya ke Alam Roh. Di situ roh saya dan Ia sendiri berdiri berhadap-hadapan.

Kamu tahu, kamu kusam.” Suara-Nya terdengar agak pilu. No wonder.

Dengan pasrah saya hanya bisa menjawab, “Ya, saya tahu.”

Kamu tahu, kamu penuh luka.”

Saya tidak menyangkalnya,” jawab saya lemas.

Tidak tahu mau berbicara apa, saya hanya diam. Awkward silence tersebut dipecahkan oleh Tuhan beberapa saat kemudian dengan melangkah mendekati saya. Saya—dalam tubuh roh—terus diam tanpa ekspresi, terlalu lemas untuk memberikan reaksi.
Detik berikutnya, saya merasa berada dalam kehangatan yang sangat nyaman dan sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Barulah saya sadar, Ia sedang memeluk saya. Ya, Ia berlutut dan memeluk saya dengan erat. (note : saya berada dalam tubuh versi alam roh—anak kecil berusia 10 tahun).

Ada apa? Ada apa, Lord? Mengapa... Mengapa Anda...” adalah ucapan yang terus saya ulang-ulang  sambil setengah berusaha melepaskan diri. Saya merasa bahwa sebuah pelukan dari Sang Tuan adalah hal terakhir yang layak saya dapatkan saat itu..

Lewat sudut pandang ketiga, saya dapat melihat raut wajah-Nya yang serius dengan mata terpejam, seakan memahami sesuatu dengan mendalam. Kemudian, Ia berbicara dengan lembut.
Aku tahu kamu merindukan sebuah pelukan.”

Saya—di tubuh roh maupun tubuh jasmani—tak kuasa menahan air mata saat itu! Sungguh, semua banjir uneg-uneg saya terhapus dengan kata-kata tersebut. Kedalaman diri saya terjamah sepenuhnya oleh pelukan penuh Kasih dari-Nya. Saya tidak tahu seberapa besar makna kalimat yang Ia lontarkan barusan bagi saya, tapi yang jelas roh saya mengerti—mungkin inilah yang disebut dalam lagu-lagu dan ayat-ayat Alkitab bahwa jiwa kita merindukan-Nya: kerinduan untuk terhanyut oleh kemurnian Kasih-Nya tanpa adanya hal-hal lain lagi.
Dalam keadaan masih terisak, Ia membawa saya ke Alam Roh tempat kami biasa bertemu: pantai berpasir putih dengan langit senja dan pelangi. (untuk informasi, Alam Roh yang sebelumnya hanya berupa space kosong). Di sana, saya melihat diri saya dalam tubuh roh berbalut jubah putih sedang tersungkur di pasir. Ia tampak begitu hancur dan putus asa—menyimbolkan saya dalam kondisi sebelumnya, saya rasa. Namun, detik berikutnya ia bangkit. Dengan tangan terkepal air muka serius, ia mengarahkan pandangan ke kejauhan langit. Saya langsung mengerti bahwa ia menantikan datangnya Bintang Timur, Tuhan Yesus Pembebas kita.

Itulah pengharapan,” kata Tuhan kemudian. “Dan kamu tahu bahwa pengharapan itu sungguh sauh yang kuat.”
Hikmat
mengalir bahwa dengan berpegang pada sauh pengharapan akan Tuhan, pijakan kita akan tetap teguh tanpa terseret arus dunia. Saya mengangguk.


Tuhan kembali membawa saya kepada suatu penglihatan. Di sana, saya berada di sebuah kota yang modern dan metropolis, dengan banyak gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Tiba-tiba, tanah berguncang dengan hebat. Alih-alih terpengaruh dengan kehebohan tersebut, saya tetap memancangkan pandangan ke atas dan melihat sesosok malaikat dengan sangkakala di tangan. Ia meniup sangkakala tersebut sepersekian detik kemudian. Saya ingat mendengar bunyi yang membahana dari sangkakala tersebut, walau saya tidak dapat mendeskripsikannya dengan jelas. ‘Majestic’, ‘the long-awaited’, ‘nostalgic’, dan ‘earth-tearing’ adalah kata sifat yang saya ajukan untuk melukiskannya.
Segera, langit terbelah dan saya melihat Tuhan Yesus dan serombongan malaikat dalam kereta kuda turun ke bumi.

TUHAN YESUS DATANG!!! IA DATANG!! BERPALINGLAH KEPADA-NYA, SEGENAP BUMI!! IA DATANG!!”

Saya hanya ingat menyerukan kata-kata tersebut sebelum saya mulai mengambang ke angkasa. Pada ketinggian tertentu, saya melihat beberapa saudara saya dalam Kristus yang juga mengambang. Dan penglihatan pun selesai di situ.

And it will be your true joy, and so of Mine, when we meet face to face.”

Serentetan pengertian menerangkan bahwa penglihatan tersebut saling berkaitan. Tuhan menanamkan pada saya untuk terus berharap dan berpegang terhadap kedatangan-Nya yang sudah di ambang pintu, tanpa terseret dan jatuh ke dalam genangan lumpur dunia. Karena—kebahagiaan yang akan kita peroleh saat kita bertemu muka dengan muka dengan-Nya di Kerajaan-Nya.. Melebihi segala imajinasi dan harapan kita yang terbesar sekalipun..
Dalam kondisi aftershock karena takjub, saya hanya dapat mengangguk-angguk sambil berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan memuji Nama-Nya, menyadari betapa besarnya Tuhan kita. Penghiburan yang sedemikian besarnya Ia berikan kepada anak pembangkang yang sudah melukai hati-Nya ini.

Saudara, dengan tegas dan pasti saya dapat berkata: Siapa yang datang kepada Tuhan tidak pernah dikecewakan!! Entah apapun jawab-Nya atas permasalahan kita—‘ya’, ‘nanti’, atau bahkan ‘tidak’—kita tahu itu adalah yang terbaik. Karena sungguh,

Ibrani  13:5b
Karena Allah telah berfirman : “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”