Author : Felicia Yosiana G
30 Desember 2011
Saya bermimpi mengenai konfrontasi dengan Yesus Palsu. Ini, sebenarnya, adalah penggenapan janji Tuhan kepada anak-anak Tim Doa. Ya, sebelumnya Ia berjanji bahwa minggu-minggu ini kami akan banjir mimpi. Dan benar saja, kami pun mulai mendapat mimpi-mimpi, baik untuk nubuatan personal antar anggota Tim maupun yang universal.
Kembali ke isi mimpi. Saya, Aloi, Aivin serta beberapa orang anak Tim Doa sedang berada di ruangan yang luas berlantai kayu. Temboknya terbuat dari kaca, dan kami duduk satu deret di sebuah sofa besar letter L. Ada juga seorang kenalan yang duduk di bagian letter L samping kami, tapi ia sendirian di sana. Jelasnya, kami duduk di bagian __ dan ia duduk di bagian |. Meja di bagian L sofa memisahkan kami.
Suasana saat itu agak hening. Cuaca mendung dan ruangan itu agak gelap karena sedikitnya cahaya matahari yang masuk. Tiba-tiba, entah kenapa suasana berubah. Kami mulai berisik dan berteriak-teriak, “JC dateng! JC dateng!” Tapi, kenalan saya yang duduk di bagian | sofa tetap diam saja dengan muka depresi dan kepala agak menunduk.
Tiba-tiba pintu belakang terjeblak membuka. Kami semua bangkit dan kaget saat menyadari bahwa Tuhan Yesus masuk ruangan! Ia datang dalam kemuliaan dan cahaya-cahaya putih yang berkelebat-kelebat. Sambil membuka tangan dan tersenyum lebar, Ia menghampiri kami. “Oh, perjalanan kalian pasti susah,” kata-Nya, seakan-akan hendak ‘Mengangkat’ kami pulang ke Sorga.
Namun saat itu perasaan saya agak aneh. Saya, entah kenapa, mengetahui bahwa karunia Pembeda Roh saya langsung aktif dengan kuat dan mensinyalkan tanda bahaya. Maka, setengah jarak dari sofa dan pintu yang telah ditempuh sosok Yesus itu, saya berteriak, “Diam di situ!” sambil mengacungkan satu tangan.
Saat saya berteriak begitu, Yesus berhenti dan mukanya mendadak menjadi datar. Saya segera mengutip ayat-ayat secara intens. Teman-teman saya yang duduk satu deret rupanya juga sudah mulai sadar bahwa ia adalah Yesus palsu. Kami semua segera membuka pertahanan dan mengutip ayat sebagai serangan. Aloi mengutip ayat-ayat, Aivin dan teman di sebelahnya membuka Perisai Iman. Tetapi kenalan yang duduk di sofa deret terpisah tidak melakukan apa-apa! Ia hanya menatap Yesus Palsu dengan takut dan getir, padahal seharusnya ia tahu benar ap ayang harus dilakukan!
“Itu udah nggak mempan lagi,” komentar si Yesus Palsu beberapa menit setelah kami melawan.
Tapi saya tidak berhenti. Saya tidak peduli dan terus mengutip ayat. Saya tahu benar itu trik Iblis untuk melemahkan kepercayaan kami terhadap Firman. Dan Puji Tuhan, ia mulai merintih kesakitan saat kami tidak berhenti menyerang.
Tiba-tiba muka Yesus Palsu berubah. Ia tersenyum menyebalkan dan mulai menerjang maju. (Saya rasa ia sudah menyadari bahwa ada anak yang tidak bertahan dan hanya terpaku di tempat tanpa perlawanan). Ia menerjang kami, dan satu tangannya berhasil mencengkram kenalan saya tersebut—yang hanya berteriak sambil menangis alih-alih meminta pertolongan Tuhan dan bertempur.
Saya terbangun dengan pengetahuan bahwa Yesus Palsu itu tidak dapat menyentuh kami yang bertahan dan melawan.