Api Kuasa 2

Author : Benedictus Harvian

22 Desember 2011

            Pagi hari. Saya sedang membuat sarapan ketika mengecek pesan singkat di ponsel dari saudari saya dalam Kristus, Felicia. Hmm.. Isinya ajakan untuk berdoa secara khusus bagi kebangunan rohani dunia beserta sepotong pesan peneguhan dari Tuhan. Tentu saya positif menanggapinya! Ini yang kita, prajurit Kristus harus lakukan dalam waktu-waktu mendesak ini. Saya tidak sempat membalas karena masih fokus pada masakan, however.. Namun saya tetap tidak dapat mengindahkan perasaan yang mengatakan akan adanya sesuatu yang lebih besar lagi... It does ring a bell—a particular bell. Wait... Err... Which bell, anyway? Itu yang benak saya gumamkan selagi menambahkan bumbu...
            Ketika saya hendak mencampurkan garam, Tuhan nyeletuk, “Jangan biarkan garam-mu tawar oleh perasa buatan dunia.” Saat itu saya rasa saya memang menambahkan perasa makanan sachet terlalu banyak (maklum, tukang masak gedongan) hingga garam yang saya beri sudah tidak terlalu berpengaruh. Hikmat memproses omongan tersebut, bahwa kita sebagai anak Allah adalah garam bagi dunia—yang diumpamakan sebagai masakan. Jangan sampai pengaruh ‘rasa’ yang kita beri kepada dunia tertutupi oleh berbagai himpitan dunia—yang, seperti sudah Anda duga, diumpamakan sebagai perasa makanan sachet. Nyengar-nyengir karena analogi kocak yang dipakai Tuhan, saya melanjutkan memasak, tidak sadar kalau Tuhan punya maksud yang lebih dalam.
            Saya terpikir akan ajakan doa dari saudari saya tersebut dan menanyakannya pada Tuhan. Kami berdiskusi beberapa saat hingga saya menanyakan kebangunan rohani tersebut. Saat itu, ga boong, saya merasakan dorongan tak tertahankan untuk melompat! Dan yah, akhirnya saya mengalah pada dorongan tersebut dan melompat-lompat di dapur... (Saya bersyukur pada Tuhan karena tidak ada orang di rumah saat itu :P)

            Dengan tampang super bingung (atau horor, kalau mau dibilang) saya bertanya kepada Tuhan. Kenapa ini, Tuhan...?”

            Tuh, rohmu mengerti.”

            Alih-alih menjabarkan dengan panjang, Ia memberi saya pengertian instan—cara yang kadang Ia gunakan untuk menjelaskan sesuatu. Roh saya bersorak dalam antusiasme akan sesuatu yang sudah lama dinanti-nantikan. Hal itu ikut tubuh jasmani saya rasakan dengan dorongan aneh untuk melompat kegirangan tadi. Dan hal ini ternyata berhubungan dengan hal yang sudah Ia beritahukan kepada saya kemarin malam, bahwa akan ada sesuatu yang besar, dan Ia mau saya turut ambil andil dalamnya. Hikmat menghubungkan benang merah antara doa khusus untuk kebangunan rohani tersebut, analogi tentang garam, dan perkataan-Nya kemarin malam--dan ini semua membuat saya gugup sekaligus bersemangat.
            Oke... Jadi, Anda mau kami masuk ke field peperangan rohani yang lebih jauh lagi,”  sahut saya pelan, menelan ludah.

            Tuhan hanya mengangguk kalem dan tersenyum penuh arti.

            Saya  dengan penuh semangat menceritakan ini kepada Feli dan ternyata ia juga merasakan hal yang mirip. Setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan untuk segera berdoa berbarengan pada waktu yang kami tentukan. Percayalah, doa secara bersamaan walau berlainan tempat seperti ini--apa pun istilahnya--besar kuasanya! Mungkin dapat dianalogikan sebagai berikut, bahwa berperang bersama akan lebih efektif daripada berperang sendiri.. Atau setidaknya, kami tahu dan mengimani bahwa kami akan maju bersama-sama ke medan perang saat kami berdoa berbarengan.
            Roh Kudus mengomando saya untuk mengurapi setiap sudut kamar (saya mendoakan air supaya dipakai oleh-Nya untuk menjadi media). Dalam hati, saya tahu ini akan menjadi suatu peperangan yang berkesan. Setelah memberi sinyal mulai, saya pun memasuki pujian penyembahan pra-doa. Saya menyadari atmosfir semakin intens untuk berdoa perang (untuk informasi mengenai doa perang silakan baca Doa Perang 1). Urapan diturunkan dengan deras pada saya dan Roh Kudus benar-benar berkontribusi secara penuh dalam doa dan penyembahan. Ia akan memberitahu saya, “sekarang kamu berlutut,” atau “bangkit dan memujilah,” pada seluruh prosesi doa.
Dengan bersimbah air mata, saya hanya mengikuti arahan-Nya dan mendoakan apa yang Ia taruh di hati saya. Sungguh, saya tidak dapat mengatakan bahwa emosi saya-lah yang membuat saya mencurahkan air mata meratap agar terjadi kebangunan rohani bagi orang banyak. Lebih tepat dikatakan bila Roh Kudus-lah yang bersyafaat bagi saya.

 Roma 8:26
Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.

             Dalam rangkaian peperangan intens tersebut, Tuhan memberi saya suatu penglihatan yang menakjubkan. Berlatarkan lembah di suatu pegunungan tandus, jejeran alat peperangan berat dengan berbagai ukuran dan model menghiasi pemandangan. Pandangan saya difokuskan kepada satu ballista di tengah-tengah. Ada tulisan ‘TD’ di atasnya. Saya langsung mengerti, ini adalah ‘senjata’ kami sebagai satu kesatuan tubuh Kristus di dalam peperangan. Tombak—yang sepertinya terbuat dari besi—terus menerus diluncurkan dari ballista tersebut seraya doa terus saya lantunkan. (Untuk informasi, beberapa kali saya juga mendapat penglihatan mengenai ballista ini saat acara Tim Doa. Ia ditembakkan ketika kami berdoa syafaat dan berdoa perang.)


(Kurang lebih seperti ini  ballista yang saya lihat, hanya beberapa kali lebih besar)


            Ketika saya menjauhkan pandangan saya, saya baru menyadari bahwa udara penuh dengan panah, tombak, dan berbagai proyektil peperangan lainnya yang berseliweran, walau tidak saya lihat jelas. Ribuan—atau bahkan jutaan--mesin peperangan yang lain juga dengan gencar menembakkan amunisinya melawan musuh yang tidak terlihat di kubu seberang. Oh, serangan dari arah musuh juga tidak kalah gencarnya. Saya rasa mesin peperangan tersebut mempresentasikan mereka dari gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan orang percaya. Ada beberapa dari mesin tersebut berukuran besar dan kokoh dan menembakkan senjata terus menerus, sementara ada juga yang terlihat sangat rapuh dan hanya sekali-sekali menembakkan senjata, bahkan ada yang tidak sama sekali.
            Jangan biarkan tombakmu habis,” Tuhan berkata di tengah-tengah kehebohan itu. Saya segera paham maksud Tuhan. Tombak itu adalah zeal dari Roh Kudus untuk terus berjuang demi Kristus.
Tidak lama setelah selesai berdoa, saya baru menyadari bahwa lembah yang Tuhan perlihatkan adalah Lembah Penentuan yang disebut-sebut di Kitab Suci!

Yoel 3 : 11-12
Bergeraklah dan datanglah, hai segala bangsa dari segenap penjuru, dan berkumpullah ke sana! Bawalah turun, ya TUHAN, pahlawan-pahlawan-Mu! Baiklah bangsa-bangsa bergerak dan maju ke lembah Yosafat, sebab di sana Aku akan duduk untuk menghakimi segala bangsa dari segenap penjuru.

            Sungguh, peperangan terjadi dengan intens dan, kata Tuhan, akan SEMAKIN intens. Musuh kita, Iblis dan antek-anteknya, terus akan mencoba menjatuhkan kita, pengikut Kristus dalam detik-detik terakhir akhir zaman ini. Tuhan pernah berkata kepada saya dengan jelas, “Sepanjang hidupmu (hidup saya setelah mengenal Kristus) di sini kamu harus terus dan terus berperang hingga Aku memanggilmu Pulang.”
            Sandanglah senjata bagi Kristus, Saudara. Berdoalah bagi mereka yang terhilang dan mereka yang masih dirundung kesuam-suaman kuku. Berpuasa dan bersyafaatlah. Itulah panggilan Tuhan kepada kita, orang-orang percaya menjelang Kesudahan yang sudah dekat.

            Setelah saya membagikan pengalaman ini kepada Feli, ternyata ia juga mendapat sesuatu yang bombastis! Ia mengatakan bahwa Minyak Urapan Roh Kudus dituangkan dari tengkuknya hingga punggungnya terasa geli oleh urapan tersebut. Minyak Roh Kudus adalah simbol jamahan dan urapan yang baru, Karunia-karunia dari Roh Kudus. Hal ini sehubungan dengan apa yang kami doakan—kebangunan rohani besar-besaran.
            Dan tahukah Anda? Dengan geli Feli menyampaikan bahwa ia melihat awan besar berbentuk rajawali setelah selesai berdoa dari jendela kamarnya! Sambil membaca pesan tersebut, saya hanya bisa ikut tertawa geli melihat betapa Tuhan kita gokil dalam cara-Nya menghibur anak-Nya setelah capai berperang. Rajawali—merupakan simbol yang pernah T uhan pakai kepada kami sebagai Peperangan Rohani—adalah jenis burung yang mampu terbang dengan kuat melintasi badai.
Di situlah Tuhan kembali nyeletuk, “Ayo, tunjukkan kalau kepakan sayapmu cukup kuat untuk terbang melewati badai!”



Awan berbentuk Rajawali yang difoto oleh Felicia Yosiana Gunawan setelah doa