Author : Felicia Yosiana
8 Desember 2011
Saya sedang dalam penyembahan pada pk. 21.40 saat saya memikirkan mengenai anak-anak Tuhan yang sedang bergerak di luar gereja (dalam Persekutuan Doa dan sebagainya) untuk menjangkau saudara-saudara mereka. “Anak-anak-Ku di seluruh dunia sedang bergerak,” kata Tuhan setelahnya. Ia memberikan pengertian bahwa yang dimaksudkan-Nya di sini adalah anak-anak-Nya yang benar-benar berkomitmen untuk hidup kudus dan mencari-Nya siang dan malam. Terinspirasi dari hal ini, saya—dengan bimbingan dan izin Tuhan—akan membagikan pengalaman saya soal komitmen hidup kudus.
Adalah benar kalau banyak hal di dunia ini diperbolehkan dan tidak tercantum sebagai dosa dalam Alkitab. Saya berkali-kali mendapatkan pertanyaan ‘emangnya kita nggak boleh menggunakan talenta kita buat hobi kita’ dan sebagainya. Semua itu sudah terjawab lewat beberapa notes sebelumnya dalam sisi urgensi. Tapi biarkan saya menyinggung mengenai hal lainnya: komitmen.
Merupakan sebuah komitmen hidup yang luar biasa bagi saya untuk melepaskan semua yang saya punya dan impikan untuk Tuhan. Di saat saya lagi down karena kecaman dunia, Ia sering mengatakan bahwa ada sedikit orang yang mau melayani, dan jauh lebih sedikit lagi orang yang mau menyerahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan. Ya, inilah faktanya. Bahkan dari jumlah kecil orang percaya di dunia ini, sangat sedikit yang benar-benar mau hidup kudus dan menjalin relasi yang dalam dengan-Nya.
Saya, sebagai mahasiswa berusia 18 tahun, juga adalah manusia biasa yang punya cita-cita dan ambisi. Sekedar kilas balik, saya adalah orang dengan tipe kepribadian koleris, seorang mantan english debater, dan anak tunggal dengan segudang hobi. Nah, bisa Anda bayangkan sekarang betapa perfeksionisnya saya. Namun pada pertengahan tahun 2011, Tuhan memanggil saya untuk memenuhi Panggilan Hidup saya dan melepaskan yang lain. Ia memanggil saya untuk melayani dengan seluruh kehidupan yang saya jalani dan meninggalkan semua ambisi dan perencanaan masa depan saya.
Ia menyuruh saya meninggalkan status debater. Ia meminta saya untuk meninggalkan hobi menulis cerita fiksi. Ia meminta saya merobek seluruh agenda dan perencanaan saya. Dan Ia meminta hidup saya untuk disulam-Nya dari awal.
Tentu saja semua ini super-berat! Saya sering berteriak memberontak di tengah-tengah dan ‘ngambek’ pada Tuhan. Tapi Dia tidak menyerah! Dia terus memanggil saya, meyakinkan saya bahwa apa yang hendak diberikan-Nya ganti semua pengorbanan itu jauh lebih besar dari apa yang dapat saya bayangkan.
Dan itu telah terjadi. Blog ini adalah salah satu tempat kesaksiannya.
“Kalau aja saya bisa lakukan sesuatu untuk orang-orang yang terhilang,” kata saya malam itu.
Tuhan memandang saya dengan tatapan yang tidak tertebak. Ia kemudian bertanya dengan air muka yang sangat serius, “Kamu mau?”
Pengelihatan Alam Roh segera menyeruak dan saya melihat serta merasakan bahwa saya tengah mendekap seorang anak kecil (versi AR, tentunya) di tengah medan perang. Saya, remaja berusia 13-14 tahun di AR, berbalutkan armor rohani keperakan, sedangkan anak yang saya dekap hanya mengenakan baju putih (tanpa pertahanan). Saya sadar pertempuran sedang berlangsung dan ada teman-teman Tim Doa saya di sana yang sedang bertarung. Panah api berseliweran di sekitar kami, dan rupanya itu alasan saya melakukan hal tersebut.
“Saya mengasihi mereka sebagai saudara,” kata saya pada Tuhan.
Tuhan mengangguk perlahan. Ia menatap saya dengan tatapan penuh kasih, namun saya bisa menangkap setitik perasaan duka dan pengharapan pada mata-Nya. “Kamu tahu apa yang kamu minta.”
Ya. Saya tahu saya akan berdiri di Lembah Penentuan (baca Kitab Yoel) bagi orang-orang ini. Harganya akan sangat mahal. Saya akan dua-tiga kali lebih capek. Saya akan berdiri bagi orang-orang yang saya bawa dalam doa secara langsung. Saya akan merasakan beban mereka dan saya tahu itu semua tidak akan mengenakan.
Mencoba berbicara dengan suara serak, saya mengatakan, “I share their desperation.” Saya dan Tuhan kemudian terdiam. Secara roh, kami saling memandang dengan tegang dan serius. Kemudian, mencoba tersenyum kecil—yang agak gagal—saya mencoba meyakinkan diri sendiri dengan berkata, “You’d provide me with all I need.”
Pengelihatan selanjutnya segera menyusul. Tuhan menyodorkan secarik kertas tak asing kepada saya: kontrak baru untuk ditandatangani. Ada cap Darah Anak Domba di situ, dan saya tahu itu adalah perjanjian untuk apa yang baru saja saya minta. Itu adalah janji. Sebuah kontrak.
Tuhan tidak mengucapkan apa-apa saat kemudian Ia menarik mundur kontrak itu. Saya mendongak. “Kamu yakin?” tanya Tuhan Yesus, seakan-akan Ia baru hendak memberikan senjata api pada seorang balita yang mengklaim bisa menggunakannya dengan baik.
“Anda yang akan berada di samping saya.”
Kertas kembali disodorkan dan saya menandatanganinya. Saya tidak tahu itu ‘kontrak janji’ keberapa yang saya tandatangani dengan Tuhan, tapi saya berani jamin itu salah satu yang paling krusial.
“Biarpun hanya satu orang,” kata saya memaksa terlihat pede, “saya mau bawa mereka Pulang.”
“Biarpun hanya seorang,” Tuhan mengiyakan. “Terima kasih, nak.”
Tidak ada senyum pada wajah-Nya saat Ia mengatakan itu. Tapi mata Tuhan berkaca-kaca dan saya juga menangis melihat-Nya.
Setelah selesai dengan penandatanan kontrak, Hikmat kembali memproses saya. “Each has a shofar,” kata Bapa mengambil alih.
Shofar adalah sejenis terompet pemanggil. Saya tahu itulah yang akan ditiup para malaikat sebagai tanda pemanggilan Memepelai Wanita pada saat Pengangkatan. Hikmat segera menjelaskan bahwa itu artinya setiap anak-anak Allah dapat ‘memanggil’ dan ‘memperingati’ saudara-saudaranya dengan bunyi shofar tersebut.
Kemudian Ketiga Persona Allah meminta saya—untuk yang pertama kalinya—berlutut dengan kepala menyentuh lantai di luar momen Pencurahan Roh Kudus.