Author : Felicia Yosiana G
25 Desember 2011
Saya melewati Silent Christmas dengan perasaan agak campur aduk. Ada beberapa masalah yang membuat saya agak uring-uringan hari-hari terakhir ini. Maka pada suatu kesempatan di siang hari Natal, saya berbaring di tempat tidur seraya memikirkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan problema saya.
Hal yang terpikirkan pertama kali adalah Sorga. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk memikirkan Rumah di saat-saat rasa bete menggandrungi. Saya menerapkan apa yang ditulis dalam Alkitab: memikirkan perkara yang di atas. Jadi pada saat-saat seperti ini, saya akan suka berbincang dengan Tuhan mengenai pekerjaan-Nya, baik di bumi maupun Sorga. Kata ‘aborsi’ segera terbentuk di benak saya. Ada berbagai pengelihatan dan testimoni orang-orang yang pernah dibawa ke Sorga dan melihat bahwa anak-anak yang diaborsi berada di Rumah.
Saya tersenyum saat memikirkan ini. Betapa menenangkan untuk mengetahui bahwa bayi-bayi malang itu mendapatkan sesuatu yang milyaran kali lebih baik dari sekedar untuk terhilang dalam kekekalan! Saya membayangkan sejenak anak-anak ini dan bersyukur karena mereka tidak perlu turun ke dunia penuh dosa. Di saat itu tiba-tiba saya teringat kepada nyokap.
Mami, panggilan saya terhadap beliau, meninggal karena kanker yang telah menggerogoti tubuhnya selama sepuluh tahun pada saat saya berusia 14 tahun. Bukunya, “Bukankah Ini Mukjizat?” terbitan Gloria, menceritakan sebagian kisahnya kepada dunia. Ia adalah pejuang iman yang luar biasa. Dan saya berpikir, sukacita apa yang ia rasakan saat ia akhirnya bertemu dengan Yesus, pujaan hati dan tambatan imannya. Kebahagiaan seperti apa yang meluap darinya saat ia menerima tubuh kemuliaan yang tidak dipenuhi kanker? (Note: ia meninggal dengan kanker yang telah bermetastase ke seluruh tubuh). Apa ia melonjak bahagia saat ia bertemu dengan kakak lelaki saya yang keguguran, ya?
Saya mulai kehilangan bayangan di sana. Saya tidak pernah dapat membayangkan punya saudara kandung, apalagi laki-laki, jadi saya tidak bisa membayangkannya. Apalagi saat nanti kami bertemu. Apa saya bakal canggung, ya? Apa ia bakal mengenali saya, adik yang tidak pernah ditemuinya selama hidup? Reuni seperti apa saat kami nanti tiba di Rumah?
“Mereka menunggumu,” kata Tuhan tiba-tiba. “Sorga itu luas, tahu. Mereka menunggu kamu dan Papi untuk pulang. Dan jangan khawatir, they know about you. And they’re cheering for you, their daughter and sister.”
Saya sangat tidak ingin menangis. Tapi air matanya bandel... “Kenapa Anda memberitahu hal ini?” tanya saya.
“To encourage you,” kata Tuhan lembut. Ia kemudian menatap saya dengan serius dan penuh kasih. “Do not give up now, daughter.”
Saya tidak terlalu bisa menanggapinya. Jadi saya hanya mengangguk dan berteriak kepada diri sendiri, “Jangan nyerah sekaraaaaaaaaaaang!!! Sebentar lagi kan mau Mudiiiiikk!!!”
Dan... Tuhan memang luar biasa. Ia pun memberikan Ibrani 12 kepada saya! Dia memang Allah yang luar biasa!
Apakah Anda juga memiliki orang-orang yang Anda kasihi menunggu Anda di Sorga? Mungkin Anda pernah mengalami keguguran? Atau ada sanak saudara yang mendahului Anda—meninggal di dalam Tuhan? Percayalah bahwa mereka sedang menyemangati Anda! Selesaikanlah pertandingan kita di bumi ini sebagaimana Paulus menyelesaikannya. Dan yakinlah, seluruh Sorga menantikan Anda! Betapa terjaminnya kemeriahan kepulangan kita!