Author : Benedictus Harvi
Tulisan ini merupakan pengalaman saya beberapa minggu lalu, yang diingatkan oleh Sang Bapa untuk saya tulis. Sharing ini bertemakan (lagi-lagi) kepahitan.
Saat itu, saya sedang dalam keadaan yang agak hancur. Ya, hancur.
Ada beberapa hal yang membuat saya down, ditambah lagi kondisi fisik yang juga nge-drop. Anda pasti mengerti bagaimana keminiman kondisi mental dan fisik saling memperparah satu sama lain. Alhasil, saya jatuh depresi.
Puji Tuhan atas kepedulian-Nya yang sangat besar pada anak-anak-Nya, Ia ternyata masih mau mengulurkan tangan untuk saya.
“Harvi, kamu tahu, apa yang kamu alami sekarang adalah dikarenakan kepahitan,” kata-Nya.
“Hem? Ngg...” Saya, yang sedang bete, hanya menjawab secara absent-minded walau samar-samar saya tahu perkataan Tuhan benar.
“Ya, karena kepahitan,“ ulang Tuhan dengan suara yang lembut namun tegas.
“Yah.. Saya harus bagaimana, Lord? Bahkan saya tidak terlalu mengerti kepahitan apa ini.”
“Kamu mencoba lari dari kepahitan ini karena kamu tidak mau merasa sakit. Padahal, menyembunyikan luka yang belum sembuh hanya membuat lukanya semakin parah,” jawab Tuhan dengan -seperti biasa- tepat sasaran.
“Begitu ya?” Saya kembali termenung sambil mencoba berpikir dan mulai sadar akan kebenaran yang Tuhan singkapkan pada saya.
“Ya. Sekarang, Aku mau menantangmu. Aku akan menjamahmu, namun Aku mau kamu terlebih dahulu ‘menantang’ kepahitan itu tanpa lari. Bagaimana, Vi?” Walau samar, saya menangkap nada teasing dalam perkataan-Nya.
“Saya nggak punya pilihan lain kan, Lord.. Baik. Lagipula, saya tidak mau menyimpan kepahitan, karena itu tidak berkenan di mata-Mu. Tolong saya, God...”
Tuhan tersenyum lembut dan mengangguk.
Dengan hati yang agak berat, saya pun memberanian diri melakukan hal yang Tuhan instruksikan untuk saya lakukan. Saya lari dari hal tersebut sebelumnya karena berbagai alasan, namun intinya adalah karena saya kalah terhadap ketakutan akan trauma masa lalu saya. Well, saya paksakan aja deh. Saya tidak mau tertinggal kereta Pengangkatan karena hal ini!!
Setelahnya 'pernyataan' tersebut, tiba-tiba menyeruak perasaan lega yang aneh. Mengikuti dorongan untuk worship, saya segera melantunkan lagu pujian penyembahan. Seiring baris demi baris lirik yang saya kumandangkan, kelegaan semakin mengalir dengan deras. Saya seperti mendapat tenaga yang baru. Saya menyanyikan pujian dengan energik dan penuh sukacita.
Seselesai menyembah dan masih menutup mata, saya dibawa Tuhan ke Alam Roh. Tidak seperti tempat yang biasa saya kunjungi (AR berlatar pantai), saya dibawa ke sebuah kebun penuh yang tanaman. Saya baru menyadari Tuhan ada di samping saya setelah menengok. Menanggapi pandangan saya, Ia tersenyum. Ia lalu menggandeng tangan saya
(Note : saya berada dalam tubuh roh saya, anak kecil berusia 8 tahun)
(*Tambahan Editor: Author mengatakan bahwa pohon tersebut mirip dengan pohon yang dilihat Felicia Yosiana lihat saat ia dibawa ke 'kebun' yang mirip. Lihat Lautan Kasih Bapa dan Pohon Hidup untuk jelasnya).
Kami kemudian berhenti di satu titik. Di sana, saya melihat pohon dengan ukuran sedang yang berbeda dengan yang lain. Ia berwarna hitam seakan telah hangus dan layu. Tuhan pun mengajak saya mendekati pohon tersebut.
“Ini adalah pohon yang tumbuh dari akar kepahitanmu. Aku akan mencabutnya. Siapkah engkau?”
Tanpa keraguan, saya mengangguk.
Tuhan memegang ujung tanaman tersebut dan mencabutnya. Saat itu, saya di alam nyata merasakan sensasi seperti ada sesuatu yang terangkat dan luapan damai sejahtera memenuhi diri saya. Mengucap syukur berulang-ulang pada kedalaman kasih Sang Pencipta, saya pun larut dalam pujian penyembahan. Masih di Alam Roh, saya menyadari sesuatu yang terjadi saat pujian penyembahan saya lantunkan.
Turun hujan! Turun hujan di kebun tersebut. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini, namun dedaunan yang terkena rintik hujan seakan merespon dengan ikut menari. Setelahnya, saya (dalam tubuh roh) menari-nari bersama Tuhan di bawah rintik hujan yang membasahi seluruh kebun.
Sekian pengalaman saya di Alam Roh.
Tapi tidak selesai sampai di situ, Tuhan kemudian memberitahu saya bahwa si jahat kerap menebarkan benih-benih kepahitan, kesombongan, iri hati, dendam, dan sifat-sifat kedosaan lain di ‘kebun-kebun’ kita. Ya, si jahat sedang gencar-gencarnya berusaha menjatuhkan kita anak-anak Tuhan untuk menghalangi supaya kita tidak Terangkat saat kedatangan-Nya. Dari sekilas pandang yang Ia beri, begitu banyak ‘benih-benih kedosaan’ yang tersebar di seluruh penjuru kebun tersebut. Namun benih-benih tersebut tidak tumbuh, atau mungkin tidak bisa tumbuh.
Interpretasi dari Hikmat adalah: bila kita menciptakan lingkungan yang kondusif (mengalah pada kedagingan, mengutamakan ego, tidak mau taat, menjauh dari Tuhan, dan lain lain) bagi benih (sifat kedosaan, yang memang selalu ada) tersebut untuk tumbuh, ia akan tumbuh--dosa akan menetap dan menghasilkan buah-buah yang busuk.
Mari kita jaga dan usahakan ‘kebun-kebun’ kita dengan sebaik mungkin, hasilkan buah yang baik sebanyak-banyaknya sebelum kedatangan Tuhan kita! Caranya satu : mendekat pada Allah dan mengikuti ketetapan-ketetapan-Nya, bersekutu dengan Roh Kudus dan mengikuti arahan-Nya.
Galatia 5: 22-24
"Tetapi buah Roh ialah : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh."