Author : Felicia Yosiana G
21 November 2011
21 November 2011
Belakangan ini saya sempat merasakan apa yang dirasakan Bro. Aloi, kekosongan. (Dan karena tulisan kami ditulis sebelum sharing-nya dikirimkan pada saya, saya bahkan tidak tahu kalau ia juga mengalaminya). Intinya, saya mendapatkan kesulitan untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Yep, rasanya seperti nabrak tembok setiap kali mau masuk ke hadirat-Nya. Dan saya tahu Tuhan senantiasa bersama saya, tapi seakan-akan ada sekat pada jarak kami yang begitu dekat sehingga kami sulit sekali berkomunikasi.
Sampai pada suatu kali, saya memutuskan bahwa stimulus Tuhan adalah sikap ‘diam’-Nya, yang seharusnya menjadi pendorong saya untuk maju lebih jauh kepada-Nya. Jujur saya merasa bego, nggak berguna, tolol dan maksa... Tapi apapun akan saya lakukan untuk mendapatkan lagi hubungan dekat denga Tuhan, membobol pintu Bait-Nya sekalipun...! Saya harus mendapatkan kembali Dia, apapun caranya! Dan satu cara tersisa untuk mendekati-Nya: Worship.
Dua lagu saya lalui dengan harapan akan bisa merasakan kehadiran-Nya... Tapi nihil. Saya tidak merasakan apa-apa selain perasaan benci kepada daging sendiri. Saya ingin segera mendobrak ‘sel penjara’ bernama tubuh jasmani ini untuk menggapai Bapa! Dan rupanya, Ia memperhatikan itu...
Pada lagu God of Wonders, akhirnya Ketiga Persona Allah berseru berbarengan dengan menggelegar: “The Heavens are cheering for you!”
Saya terhenyak dan segera menangis. Rasa haru, kangen, gembira dan keinginan untuk pulang segera membuncah tidak tertahankan sampai saya harus mencengkram karpet di lantai supaya perasaan itu sedikitnya tersalurkan. Suara-Nya sangat nyata dan luar biasa di hari-hari ‘kering’ saya!
Dengan segera, sebuah pengelihatan samar mengikuti. Saya, pada pengelihatan sudut pandang orang pertama, membuka sebuah pintu putih besar menuju sebuah taman yang luar biasa terang. Cahaya membanjiri pengelihatan saya saat pintu terbuka dengan ringan.
“Do not give up now, daughter,” kata Bapa dengan lembut. Ada nada haru dan nada semangat yang tertahan pada Suara-Nya. Agaknya, Ia juga merasakan perasaan saya: Rasa rindu yang tidak terucapkan.
Ya, saya bisa menghabiskan waktu saya di Sorga sujud menyembah di hadapan takhta-Nya selama beribu tahun dan tidak ingin keluar. Hanya kata ‘terima kasih’ yang layak saya ucapkan berulang kali dengan emosi membuncah seperti ini.
“Do not give up,” ulang-Nya.
Saya mengangguk dengan susah payah. Saya tahu persis bahwa saya tidak akan pernah punya ‘rumah’ yang benar-benar bisa menerima dan mengerti saya selain tempat di mana Ia berdiam. Saya sadar dengan penuh bahwa Ia adalah satu-satunya yang dapat mengerti saya, satu-satunya yang akan menerima saya 100%. Tidak ada manusia atau roh manapun yang dapat mengasihi dan memperlakukan saya dengan begitu istimewa seperti Bapa.
Didikan-Nya, hajaran-Nya dan balutan-Nya adalah sempurna. Saya tidak butuh apa-apa lagi selain hanyut dalam lautan Kasih dan Hikmat-Nya. Semua yang saya inginkan dan butuhkan berdiam di dalam diri-Nya sebagai Persona Kudus, Yesus Kristus.
Ibrani 12: 1
Ibrani 12: 1
“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.”