Author : Felicia Yosiana
9 November 2011.
Awal November, saya sempat terjatuh beberapa kali setelah mengendurkan pertahanan saya terhadap dunia. Ya, saya mengendurkan pertahanan saya dalam arti yang sesungguhnya—mendengarkan satu-dua lagu sekuler (dalam artian mendengarkan secara sungguh-sungguh, bukan asal lewat), memperhatikan bacaan duniawi dan fiksi, bahkan membiarkan hati saya pahit dan down.
Sebelum saya masuk lebih dalam, biarkan saya mengatakan beberapa hal mengenai pertahanan mental dan rohani kita di detik-detik terakhir ini.
Sekali lagi, saya tidak melarang Anda untuk menonton TV, bermain games, pacaran, menghabiskan waktu dengan hobi Anda, atau melakukan hal-hal yang Anda senangi. Dan karena banyak orang yang mulai salah kaprah terhadap hal-hal ini—apa yang disampaikan oleh para tukang pos Allah di seluruh dunia—saya bermaksud memperjelas apa arti frasa ‘bertahan dalam kekudusan’ dan ‘menjadi kudus’.
Tuhan telah mengatakan kepada banyak anak-anak yang dengar-dengaran akan Dia tentang hari kedatangan-Nya dan betapa kita harus bersiap diri sebelum itu terjadi. Ia tidak mengatakan bahwa apa yang kebanyakan orang lakukan itu haram. Tidak juga Ia mengatakan bahwa kita harus menyepi di gunung dan memurnikan diri selayaknya para pertapa zaman bahala. Tapi Ia meminta saya—dan anak-anak lainnya—untuk menjaga pikiran dan hati kami dari dunia.
Ada banyak sekali ayat Alkitab yang memvalidasi kemurnian pikiran di bawah Kirstus. Anda dapat membaca seluruh Perjanjian Baru dan mendapati semua itu begitu jelas saat Anda meminta bantuan Roh Kudus untuk menuntun Anda dengan Hikmat Sorgawi.
Bukankah telah ditulis Rasul Paulus bahwa ‘tidak semua hal itu berguna’? Ya, itulah yang Allah maksud!
Untuk apa kita menistakan pikiran dan hati—hidup kita—di waktu-waktu yang semakin sempit ini? Apakah seorang anak yang akan datang ke Pesta Perjamuan akan terus bermain di luar alih-alih segera mandi dan berpakaian rapi? Pikirkanlah, bukan hanya apa yang’ baik’ atau ‘buruk’, tapi yang ‘mendesak’ dan yang ‘kurang penting’.
Apakah kurang jelas? Sekali lagi kalau begitu, saya katakan bahwa saya ataupun Tuhan tidak melarang Anda melakukan segala aktivitas sekuler. Hanya saja pertimbangkanlah, mana yang lebih penting: bersiap-siap untuk pergi ke Pesta Perjamuan karena sebentar lagi Kereta Pengangkatan datang, atau [masukan hobi Anda di sini].
Sesimpel itu. Nah, sekarang biarkan saya menceritakan ‘kejatuhan’ dan Hikmat yang Allah nyatakan pada saya.
Awal November saya lalui dengan sangat berat karena berbagai pergumulan yang membuat saya sering berpikir mengenai standar di atas. Setelah sebelumnya saya dirundung dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal di atas—yang, tentunya, sudah benar-benar malas saya jawab—hati saya menjadi pahit. Ditambah dengan hujan kritik serta pandangan-pandangan suam-suam kuku mengenai pembicaraan di atas yang sangat kekanakan dan membela diri sendiri, saya uring-uringan selama dua hari penuh kepada Tuhan.
Hal ini juga membuat saya menjadi lebih mudah dipengaruhi media dunia alih-alih mengesampingkan mereka. Saya bisa begitu tenggelam membaca buku literatur untuk makalah tugas filsafat, mendengarkan lagu sekuler dan mencari maknanya dengan niat menyelami artinya, dan membuka celah-celah besar baru.
Dan apa dampaknya?
Suara Tuhan menjauh. Dan tentunya, ratap tangis selama tiga hari penuh pun menyusul.
Lewat surat-surat Tuhan dari berbagai negara, saya akhirnya benar-benar sadar bahwa apa yang saya lakukan tidaklah memuaskan Tuhan. Tidak. Tidak sama sekali.
“Loooord,” jerit seraya mencengkram karpet saya suatu malam. “Aku mau kembali! Aku mau dengar suara-Mu! Aku nggak mau kita sejauh ini!! Kasihani aku, Bapa!!!”
Sensasi Roh Kudus mulai memenuhi diri saya dan saya mulai menjerit tanpa suara, memanggil Allah agar mau menjamah dan mengampuni saya. Ia tidak berbicara banyak selama masa-masa repentasi itu—Suara-Nya terlalu jauh untuk saya tangkap.
Pada suatu malam, saya ingat Ia sempat berkata seperti ini: “Mana menurutmu yang lebih baik? Dirimu yang sekarang atau dirimu sebulan yang lalu?”
Saya menangkap maksud Allah dengan segera. Ia menanyakan apakah kerohanian saya maju dengan hidup saya yang—tanpa saya sadari—telah menjadi suam-suam kuku selama beberapa hari terakhir, dengan kehidupan saya yang dipenuhi dengan Roh Allah, mimpi profetik, pengelihatan, Suara Hikmat dan serangkaian jamahan Tuhan saat saya mengekang diri saya dari hal-hal duniawi. Dibandingkan dengan sebulan lalu, saya seperti orang yang tidak pernah mengenal Allah sekarang.
“Aku mau kembali,” isak saya. “Orang lain boleh mengejar dunia. Orang lain boleh suam-suam kuku dan menduakan Anda. Tapi aku mau menambah porsi-Ku di dalam Anda dan membuang semua yang lain.”
Saya menyatakan pada hari itu bahwa saya tidak mau ambil pusing apa yang teman-teman dan orang-orang di sekeliling saya lakukan dan katakan. Mereka boleh bilang saya fanatik, sok suci, aneh, sesat atau apapun, tapi saya mau mencoba untuk menjaga kekudusan saya di hadapan Allah.
—Bersambung.