Doa Perang 2

Author : Felicia Yosiana G

Sebagaimana telah dijabarkan pada tulisan sebelumnya, Doa Perang, menjadi titik pusat dalam setiap pujian dan pertemuan rutin Tim Doa, adalah senjata utama kami disamping penyembahan. Saya tidak tahu seberapa familier Anda dengan Doa Perang, tapi saya berani jamin satu hal: Ada perubahan saat kita mengangkat nama-Nya dan mengibarkan bendera Kerajaan Allah di dunia yang hitam ini.
Saya mungkin tidak akan mengklaim ini dan itu untuk memastikan bahwa Doa Perang memiliki kuasa. Sudah ada begitu banyak buku dan kesaksian anak-anak Allah tentang itu, dan saya hanya mau melengkapinya.

Setelah Doa Perang (Tim Doa) kami deklarasikan pada awal tahun 2011, perubahan demi perubahan mulai terjadi pada diri dan keluarga kami. Memang, pergolakan tidak bisa dihindarkan karena si Iblis tidak akan senang dengan perubahan yang Allah lakukan. Biarlah saudara-saudara Tim Doa lain menceritakan pengalaman mereka dan saya akan menceritakan kisah saya.


Apakah Anda ingat kapan tsunami Jepang melanda? Saya memang tidak ingat tanggal pastinya, tapi membekas jelas pada memori saya bahwa itu terjadi pada hari Jumat. Ya, hari di mana dulunya kami mengadakan Tim Doa secara rutin di rumah seorang rekan doa.
Kami, yang saat itu masih berstatus anak kelas tiga SMA, berada dalam keadaan agak parah setelah dihantam gelombang UTS dan Ujian Praktek menjelang UAN. Kami loyo, Saat Teduh kami lumayan berantakan jadwalnya, dan sudah seminggu lebih TD tidak bisa berjalan karena jadwal kami yang tumpang tindih (TD terdiri dari berbagai anak dalam satu angkatan, IPA dan IPS). Pada saat kami akhirnya bisa melaksanakan TD pada jam empat sore, kami semua seperti pahlawan kesiangan yang masih kucel karena kurang tidur. Sampai telepon rumah teman saya berbunyi.

Ibu teman kami mengatakan bahwa Jepang sedang dilanda tsunami besar! Dengan agak syok dan masih teler, kami pontang panting menyetel TV kabel dan mencari berita. Dan benar saja... Ombak tsunami yang sudah bercampur lumpur sedang ditayangkan di layar TV. Kami terhenyak, tidak tahu mau bicara apa.
Setelah terdiam beberapa menit, kami semua pun beteriak, “DOA!! DOA PERANG BUAT JEPANG DAN BANGSA-BANGSA!!!”

Dengan kalap kami mengambil hape masing-masing, mengisukan doa perang bersama-sama pada jam tertentu kepada teman-teman TD yang saat itu berhalangan hadir. Pesan juga kami kirim kepada teman-teman percaya lainnya dan kami mendapat respons positif dari sebagian besar mereka.
Lima menit menjelang waktu Doa Perang bersama, kami getir dan tegang luar biasa. Entah kenapa, atmosfer di rumah itu telah berubah drastis. Kami tahu ada peperangan luar biasa di Alam Roh sebentar lagi—saat kami akan menaikan panji-panji Kristus melawan roh-roh pengikat bangsa-bangsa. Buat saya pribadi, ini adalah salah satu momen historis yang paling berkesan di dalam kehidupan rohani saya.

Kami kemudian mengambil posisi duduk bersila dalam formasi melingkar seperti biasa dan mulai menaikkan puji-pujian. Di tengah-tengah pujian menjelang Doa Perang, suara Tuhan menggelegar: “BERLUTUTLAH!”

Saya segera menyampaikan pesan kepada teman-teman dalam formasi, dan itu adalah pertama kalinya kami berdoa sambil berlutut bersama. Berpegangan tangan sambil terus menyanyi, kami memasuki fase terpenting: Doa.

--Bersambung