Sebuah Mimpi - Infiltrasi

Author : Felicia Yosiana

21 November 2011

Mimpi ini saya tidak begitu ingat kronologisnya. Namun dengan iman dan bimbingan Hikmat, saya mengetahui bahwa ini adalah mimpi analogis mengenai Peperangan Rohani yang sedang kami—anak-anak Tim Doa—alami.

Saya sedang berkunjung ke sebuah rumah yang lumayan besar di mimpi itu. Saya ingat, ada beberapa teman dan keluarga saya di sana walau saya tidak ingat muka-muka mereka. Kami tiba di ruang tunggu rumah besar itu yang memiliki jendela besar ke halaman dan garasi di depan rumah. Rumah itu bersih dan luas, tapi karena mendungnya cuaca, atmosfer di dalam jadi terasa agak... spooky.
Salah seorang anggota keluarga pemilik rumah yang mengajak kami masuk kemudian menyuruh kami untuk duduk di ruang tamu. Merogoh sakunya, ia mengeluarkan sebuah ‘kunci’ seperti kartu dan mulai mengotaka - atik komputer pada pintu. “Wah,” pikir saya, “ribet sekali pengamanan rumahnya. Pakai kunci digital segala buat masuk ke dalam...”
Setelah sekian lama ia mengotak-atik komputer, tidak ada hal yang terjadi. Karena bosan, saya kemudian mengalihkan perhatian ke halaman di depan rumah. Betapa kagetnya saya ketika menemui seseorang sedang berusaha mencopot gembok pagar dan berusaha masuk! Seketika itu juga suasan berubah. Kami mulai merasakan aura tidak mengenakan (ya, seperti aura kehadiran si Jahat) yang hendak masuk menerobos rumah tersebut.

Saya panik. Orang-orang yang bersama saya juga mulai panik. Kami bangkit dari duduk kami dan mendengar suara-suara pintu diotak-atik dari salah satu ruangan. Salah seorang dari kami kemudian bergegas meninggalkan ruang tamu melalui pintu lain (yang tidak butuh komputasi data untuk dibuka) dan mengatakan, “Gue coba lihat keadaan dulu,” seraya membuka segala perlengkapan perang rohaninya.
Saya, yang masih terhenyak di ruang tunggu, tidak berdaya menghalanginya walau perasaan saya sangat tidak enak. Saya yakin dengan pasti, ia sendirian tidak akan mampu melawan segerombolan ‘penjahat’ yang sedang berusaha menerobos ke dalam.
Detik itu saya melonjak terbangun.


Apa maksud Anda?” adalah pertanyaan spontan saya saat menyalakan lampu kamar dengan panik. Saya kembali menyetel CD puji-pujian dan duduk di tepi ranjang, berdoa mencari Allah. Sekali lagi, saya memberanikan diri bertanya, “Apa maksud Tuhan dengan mimpi tadi? Kenapa Engkau mengizinkan saya melihatnya?”
Hikmat mengalir turun ke roh dan pikiran saya. Tuhan tidak membutuhkan kata-kata dalam menjelaskan hal ini, rupanya. Saya langsung mengerti bahwa dibanding berperang sendiri-sendiri seperti orang yang meninggalkan ruangan tersebut (yang bisa saja menganalogikan diri saya sendiri), adalah jauh lebih baik bila kami maju bersama di dalam kuat kuasa Tuhan.


Saya ingat saya sedang bergumul mengenai hal ini sebelumnya. Seorang teman Tim Doa yang sering mendapat mimpi profetik dari Tuhan, Yani, mendapatkan mimpi yang serupa sebelumnya. Ia bercerita bahwa saya dan dia ada dalam mimpi tersebut. Kami sedang berada di ruangan gelap saat tiba-tiba sesosok makhluk menyerupai manusia dengan wajah yang mengerikan muncul di hadapan kami. Kami segera bereaksi dengan mengikat, mematahkan, menghancurkan dan menengking si Jahat di dalam Nama Yesus. Tapi hasilnya nihil; Iblis itu tidak bergerak sama sekali, seakan-akan tidak mendapatkan perlawanan berarti dari usaha kami.

Setelah gagal dengan metode pertama, Yani melihat saya membuka segala perlengkapan rohani dan meng-quote ayat sebagai Pedang Roh. Ia melihat ada pedang besar yang terayun saat saya mulai mengucapkan ayat demi ayat. Namun ternyata itu juga tidak membuahkan hasil; si jahat malah semakin siap menyerang kami! Saat kami tidak lagi dapat melawan, kami lari dari ruangan tersebut dan mimpi saudari saya pun berakhir.
Hikmat segera mengalir saat ia memberitahu saya tentang mimpi tersebut dua hari sebelum tanggal di atas. Iblis itu melambangkan harga diri.


Tuhan kemudian segera melanjutkan apa yang ingin Ia ajarkan pada saya, bahwa ada waktu untuk maju berperang dalam nama-Nya, dan ada waktu untuk membiarkan-Nya berperang bagi kita. Ada saat-saat di mana sekuat apapun kita di dalam Allah, kita harus menundukan kepala kepada-Nya dan memohon pada Tuhan untuk turun berperang bagi umat-Nya. Dengan begitu, kita tidak akan terjerumus kepada rasa tinggi hati karena telah ‘terbiasa’ berperang di dalam Nama Tuhan.
Kamu tahu apa yang seharusnya kamu lakukan?” tanya Tuhan setelah saya mencerna Hikmat. “Kamu tahu jawabannya.”

Menyembah.”

Benar. Daripada berjuang dan terpisah, adalah lebih baik bila kalian bergandengan tangan membuat satu lingkaran dan menyembah Allah, menyatakan kemuliaan dan kuasa-Nya. Dengan itulah kalian mendeklarasikan ketergantungan kalian kepada Kami, Tri Tunggal Maha-Kudus.”

Dan itu juga yang harusnya kami lakukan saat berhadapan dengan ‘Pride’ dan ‘Vain Glory,” jawab saya lemas.

Benar. Ada waktunya untuk mengangkat senjata, ada waktunya untuk menyembah kepada-Ku. Peperangan tidak dimenangkan dengan aksi si pejuang semata, bukan? Sekali waktu, Sang Commander perlu turun dan menyatakan kehebatan-Nya untuk menghalau musuh dan menurunkan morale mereka.”

Saya tersenyum lemah dan berkomentar, “Taktis abis...”

Bukannya kamu suka belajar strategi perang? Omong-omong, ini juga dilakukan agar kalian tidak terjebak pada perangkap ‘harga diri’. Kalian butuh Kuasa dan Kekuatan-Ku untuk maju. Menyembahlah. Deklarasikan kepada musuh bahwa kalian bergantung kepada Tuhan yang tidak mengecewakan.”