Author : Felicia Yosiana
“Berlutut, guys!” seru saya sedeti setelah memproses apa yang dikatakan Tuhan. Itu adalah perintah dan bukan permintaan, saya tahu. Saya tidak yakin apa yang Ia inginkan dari kami pada saat itu selain berdoa dan bersungguh-sungguh memohon keselamatan bagi bangsa-bangsa.
Saya tahu Tim Doa tidak terbiasa berdoa berlutut, apalagi bila harus sambil berdoa perang—kegiatan yang sangat menguras tenaga dan emosi. Saya tahu ini akan mengubah kehidupan doa kami selamanya dan saya yakin Tuhan memiliki rencana yang luar biasa bagi kami. Maka dengan susah payah, kami semua mengubah posisi kami dan mulai melancarkan doa demi doa.
Setiap tema terasa lebih ‘berat’ saat kami mulai berdoa secara bersuara. Kami semua mulai berkeringat dan berteriak-teriak pada menit pertama. (Note: biasanya diperlukan waktu lebih dari beberapa menit bagi kami untuk ‘menaikkan’ tensi Doa Perang, terlebih dengan pujian penyembahan dengan keadaan kami yang saat itu benar-benar capek dan beaten). Kami tahu beban yang ada di pundak kami sangat besar, kami juga tahu bahwa saat kami berlutut dan bersungguh-sungguh di dalam doa, urapan Allah diturunkan ke atas kami seperti hujan yang amat deras.
Doa bagi bangsa-bangsa dan Indonesia menguras seluruh emosi kami. Kami menangisi bangsa ini—dan itu bukan dari diri kami sendiri. Tidak ada dari kami saat itu yang telah bebar-benar tergerak untuk berdoa secara demikian hebatnya bagi Indonesia. Itu adalah ratapan Roh Kudus sendiri di dalam kami. Yang kami lakukan hanyalah berdoa sesuai dengan arahan-Nya.
Setelah Doa Perang selesai, tidak ada dari kami yang tidak tumbang. Semua anggota jatuh tersungkur sedang beberapa tergeletak lemas. Keringat dan air mata sudah nggak ada bedanya lagi dan kami kesulitan mengambil nafas. (Tentu saja, stok tissue sangat berarti dalam setiap acara Tim Doa. Tapi tidak pernah separah ini).
Seusai Doa Perang, kami kembali menyalakan TV sambil sharing apa saja yang kami rasakan dan lihat dengan mata rohani kami selama prosesi tersebut. Dan apa yang saya dengar membuat saya benar-benar tidak tahu apakah saya harus teratawa atau menangis. Hampir setiap dari kami mengalami dan melihat hal-hal yang luar biasa. Bahkan beberapa di antaranya saling memvalidasi satu sama lain!
“Gue liat JC! Gue liat JC!” teriak salah satu teman dengan kegirangan.
“Gue liat langit kebuka tadi dan terang banget!”
“Dia di tengah! Dia tadi di tengah!!”
Dan segudang lagi teriak-teriakan ‘norak’ lainnya. Yah... maklum... anak-anak Tim Doa selalu kayak anak-anak baru dapet permen kalo habis melihat atau merasakan JC... :B
Well, pengalaman kedua kami dalam Doa Perang paling intens adalah pada saat Tim Doa 12 November. Kami sepakat untuk melancarkan Doa Perang dengan intens hari itu, setelah sekian lama TD terhambat perjalanan kumpul-kumpulnya karena bertabrakannya jadwal satu sama lain. Maka, mengambil posisi berlutut dan meminta penyertaan serta petunjuk Roh Kudus, kami segera mulai.
Dari detik pertama tema dijabarkan dan dikroyok secara audibel, saya sudah mendapatkan feeling bahwa momen ini akan jadi sesuatu yang akan membekas di dalam sejarah Tim Doa (lebay mode on). Ehem. Tapi memang benar, kok...
Peluh dan air mata sudah langsung membanjiri kami saat Tuhan menjamah satu demi satu dari kami, memberikan kami kekuatan dan petunjuk mengenai bagaimana kami harus berdoa.
Di tengah-tengah prosesi, saking kerasnya suara kami dan sulitnya mengontrol emosi saat berdoa bagi bangsa-bangsa dan mereka yang terhilang, Tuhan sampai menyuruh saya menutup pintu rumah agar suara tidak terlalu bergaung ke seluruh kompleks. Yah... Saya rasa ada faktor simbolik di situ—yakni untuk memastikan bahwa kami menutup pintu bagi semua kuasa jahat yang mencoba mengintervensi doa-doa kami. Setidaknya, itu yang dijabarkan Hikmat kepada saya.
Doa Perang terpanjang dalam sejarah Tim Doa yang berlangsung selama nyaris setengah jam itu pun berakhir dengan menggelepaknya semua anggota tim. Dan lagi-lagi, kami cuma bisa cengar-cengir saat setiap member menceritakan apa yang mereka lihat dan rasakan dalam roh dan iman saat Doa berlangsung. Bahkan, salah satu pendoa mengatakan bahwa ia melihat perjamuan sorgawi yang telah siap dan tertata rapi, menunggu kita untuk masuk ke dalam Rumah Abadi dan menikmati hidangan pesta bersama Tuhan dan Bapa kita.
Tidak ada yang dapat kami lakukan selai memuji dan menyembah Tuhan yang begitu luar biasa dan murah hati!