A Challange? Why Not?

Author : Felicia Yosiana G

Saya cukup sering merenung sendiri akhir-akhir ini. Saya banyak kecewa, mempertanyakan dunia, dan berpikir sendiri alih-alih mencari Tuhan lebih sering di tengah pergumulan batin yang menumpuk. Salah satu pertanyaan saya kepada diri sendiri adalah, “Apakah gue salah dalam hidup kudus?”
Sebenarnya, pertanyaan ini mulai tersulut setelah ada beberapa orang—termasuk teman-teman dekat yang ‘pelayanan’ dan pembina suatu persekutuan—yang mempertanyakan komitmen beberapa anak-anak Tim Doa yang mereka cap ‘ekstrem’. Kami memang mengambil komitmen untuk tidak menyentuh barang sekuler dan memperdalam Saat Teduh dan hidup kudus. Di situlah mereka, yang merasa tidak ada salahnya untuk sekedar nonton bioskop, main games, dan mendengarkan lagu-lagu sekuler, menentang kami. Seringkali saya menemukan orang-orang mengkritik, “Buat apa loe idup kayak gitu? Masa nonton aja kaga boleh? Tuhan gak sejahat itu kalee..."
Walau komitmen saya tetap teguh dengan mempercayai dan mencontoh kehidupan para pejuang Kristsu dalam Alkitab (yang menjauhkan diri dari hal-hal duniawi dan memperbanyak waktu bersama Tuhan), hati saya ternyata mulai getir. Saya mulai terombang-ambing dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan parahnya, tidak berkonsultasi langsung dengan Tuhan karena kurang mempercayai Suara-Nya.


Suatu kali, saat saya sedang memikirkan hal tersebut untuk yang ke-sekian kalinya, Tuhan bertanya lembut kepada saya, “Kamu kenapa?”

Saya agak ragu dalam menjawab. Saya ragu sekali bahwa itu Suara-Nya. Bisa dibilang, itu efek negatif dari ‘galau’ terlalu lama tanpa Tuhan. (Note: itu sebabnya Dia membenci kata ‘galau’).
Tapi Tuhan begitu perhatian dan rendah hati, Ia tidak menyerahkan anak-Nya kepada tangan pemikiran dunia begitu saja. “Kamu iri dengan teman-temanmu yang bisa nonton di bioskop? Kamu iri dengan mereka yang masih enak-enakan main game online?”

Saya tetap diam. Setelah beberapa lama mempertimbangkan pertanyaan tersebut, saya menjawab, “Bukan iri. Saya capek dan bete...”

Kamu tahu kamu berjalan di jalan yang mana?”

Saya menggeleng.

Kamu berjalan di jalan yang sangat sempit, nak,” Tuhan melanjutkan dengan nada kalem dan simpatik. “Sangat sedikit yang mau melaluinya.”

Saat Tuhan mengatakan hal tersebut, saya langsung teringat sebuah bait lagu yang berbunyi seperti ini: All along the road less travelled, I have crawled and I have run. I have wondered through the wind and rain until I found the sun. The watching eyes asked me why I walked this narrow way. I would gladly give a reason: “For the Hope I have today.”

Tuhan tersenyum kecil. Namun saya dapat menangkap perasaan sedih dan miris pada senyuman-Nya. “Cobalah kamu tilik ulang, bagaiamana hidupmu setelah kamu dan beberapa anak-anak Tim Doa lainnya mengambil komitmen hidup kudus. Bukankah kalian maju dengan luar biasa pesat? Pengelihatan-pengelihatan Kuturunkan menghujani kalian. Hikmat-Ku mengalir dengan deras tanpa harus terhalang porsi hati kalian yang dulu kalian berikan untuk hal-hal duniawi. Banyak juga doa-doa kalian yang terjawab dan kalian dapat memperkenalkan Injil kepada semakin banyak orang.”

Maafkan saya, Tuhan,” gumam saya menahan tangis, merasa bodoh karena sudah ‘menduakan’ Tuhan di pikiran saya dengan pergumulan-pergumulan hidup.

Ya. Kamu harus tahu, ada harga yang harus dibayar saat kamu mau mencapai level yang lebih tinggi dengan Aku. Aku tidak menghendaki kehidupan anak-anak-Ku biasa-biasa saja. Aku dan Bapa-Ku sangat senang dengan kalian—para penerima berkat dan karunia-Ku! Hidup kudus yang kuinginkan adalah penyaliban daging dan penyangkalan diri. Bukankah kamu melakukannya saat kamu memutuskan untuk meninggalkan dunia gaming dan penulisan fiksi? Aku melihat itu. Aku sangat menghargai itu.”


(Gambar mengenai penantian Mempelai Wanita yang menjaga hidup kudus. Gambar yang sangat saya sukai).


Saya mengangguk dengan susah payah karena menahan ledak tangis. Tuhan membela saya! Ini lebih dari apa yang manusia kotor seperti saya dapat harapkan: Dibela Tuhan Alam Semesta dari dakwaan dunia!

Alkitab banyak memberikan kisah yang luar biasa tentang hidup kudus,” lanjut Tuhan. “Ada Musa, yang hidupnya menjadi sangat terpisah dengan orang-orang di sekitarnya dan dunia saat ia menghabiskan waktu dengan-Ku di kemah pertemuan. Hamba-Ku Daud juga melakukannya dan menghabiskan waktunya menulis Mazmur dan puji-pujian bagi-Ku. Tentu, mereka tidak tanpa cacat cela, tapi lihatlah hal-hal yang dapat kau ambil dari kehidupan orang-orang yang Kuberkati secara luar biasa ini.”

Musa naik ke gunung untuk menemui Tuhan sendirian, saya ingat. Ia juga menemui Anda di kemah pertemuan seorang diri. Ia mengalami pertemuan yang luar biasa dengan-Mu.”

Dan lihatlah harga yang ia—secara tidak langsung—harus bayar: Dikecam oleh saudara-saudara sedarahnya. Miriam dan Harun menanggung hukuman yang mengerikan saat mereka berani mengecam hamba-Ku, Musa.”

Saya bergidik. “Penyakit kusta.”

Hiduplah kudus, Yosi,” lanjut-Nya. “Bila kamu hidup kudus di hadapan-Ku, masakan Aku, yang adalah poros hidupmu, Alahmu yang hidup, tidak membelamu? Apa dakwaan yang bisa dituduhkan kepadamu saat kamu berjalan di jalan-Ku? Tidak ada.”

Maafkan saya, maafkan saya...”

Tuhan mengangguk. “Datanglah kepada-Ku seperti seorang anak kecil yang haus akan Suara dan belaian ayahnya. Aku mengasihimu, Aku mengasihimu jauh dari yang kau tahu. Engkau tidak ingin membagi porsi itu dengan film-film dan lagu-lagu sekuler, nak. Tidak. Jangan kejar Suara-Ku, pengelihatan, atau karunia-karunia saja. Kerjalah Aku, yang memberikan semuanya itu. Bahwasannya Aku menyertaimu sampai akhir zaman.