What was Lost

Author : Benedictus Harvian


Setelah sekian lama nama saya tidak pernah terpajang sebagai Author pada postingan blog, akhirnya saya menulis kembali...  Kenapa? Jawabannya panjang. Intinya, saya baru saja bangkit dari keterpurukan jangka panjang yang mungkin dapat dibilang pergumulan terparah saya selama ini dalam kehidupan dalam Kristus. Yah, bukan yang TERparah, saya tahu. Tempaan akan terus datang dengan level yang lebih tinggi lagi seiring kita juga ‘naik level’. Sesuai dengan yang Petrus tuliskan di Filipi 3:12-14, kehidupan rohani tiap anak Allah adalah penempaan dan pendewasaan yang terus-menerus.
Apa yang dikatakan 1 Korintus 10:13? Allah tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Implikasinya: semakin kita bertumbuh ‘kuat’ dalam Dia, Allah akan mengizinkan pencobaan yang lebih berat lagi untuk kita tanggung—yang, tentu saja,  bertujuan untuk menempa kedewasaan kita.
Tuhan memiliki ratusan gelar dan nama yang agung dalam Kitab Suci. Di antaranya, ada satu gelar yang secara khusus saya sukai dalam kaitannya dengan apa yang sedang saya berusaha bagikan: ‘Penjunan’ (Yeremia 18:1-6). Kita adalah tanah liat dan Tuhan adalah Penjunannya. Dibentuk menjadi suatu bejana, dihaluskan, dibakar dalam api, dipecahkan lagi dan dibuat ulang, semuanya bertujuan untuk satu hal: untuk menghasilkan bejana yang indah.
Yah, sekian pengantarnya dan saya akan masuk pada testimoni saya.


Selama kira-kira 7 atau 8 bulan Tuhan membuat saya bergabung dalam Tim Doa, Ia ‘menggenjot’ iman saya dengan intens. Berbagai macam kejadian menempa saya dengan cara yang, well, menyakitkan. Lebih dari sekali saya sempat berpikiran untuk lari dari semua itu. Hanya karena Ia dengan rendah hati bersedia menjadi Kekuatan bagi saya sajalah, saya masih dapat mempertahankan pijakan saya sekarang. Adapun, kalau melihat ke belakang.. Dengan yakin saya dapat berseru lantang bahwa saya tidak menyesali itu semua. Intimasi dengan Tuhan, hak untuk melayani-Nya lebih dalam lagi, dan pengenalan akan Pribadi-Nya yang ajaib sudah menjadi hadiah yang sangat sangat lebih dari cukup! Tambah lagi, kesempatan untuk berbagi kasih dengan saudara-saudari seperjuangan di Tim Doa dan mengenal karakter mereka yang unik-unik.
Pada rangkaian perjalanan itu, ada satu titik puncak yang, bagi saya, cukup menentukan. Beberapa bulan lalu, Tuhan membawa kami ke level peperangan rohani yang semakin intens (buahnya dapat anda lihat pada testimoni-testimoni perang kami). Ia menentukan sendiri posisi dan peran kami dalam perang. Ada yang menjadi Frontliner, Left Wing, Right Wing, dan Rear Guard (Mungkin pada kesempatan lain saya akan menceritakan hal ini lebih banyak. Yang jelas kuasa pengaturan-Nya sungguh ajaib!)

Posisi saya? Frontliner. Ah, saya bersyukur pada Tuhan atas peran tersebut! Saya merasakan bahwa roh saya memang bersorak atas kesiapan sebagai respons. Lalu, apa masalahnya? Well... Selain mendelegasikan posisi tersebut, Ia juga menambahkan titel lain buat saya: Commander.
Dan reaksi saya?

GYAAA!!! APA-APAAAAANNN, TUHAANNN!?? #$*@!+$##...!!!”

Yah, mungkin ini pembelaan diri, tapi.. Saya itu orang super plegmatis, dan introvert, jauh banget dari gambaran seorang pemimpin deh, pokoknya! Memang sifat serba tertutup saya sudah kena pangkas tanpa ampun sama Tuhan dalam beberapa tempaan telak—wajar! Gimana mau nyebarin Injil kalo kita sendiri tertutup...? Lagian, nggak banget kalau anak Tuhan punya cap yang terlalu negatif di mata orang. Saya sangat menyadari itu dan sudah bertekad untuk berubah sebagaimana Tuhan menghendaki diri saya. Tapi, tetap saja! Jadi Commander itu terlalu... Terlalu mustahil...!


Saat itu, lebih karena ketidaktahuan akan tugas-tugas seorang Komandan, saya membiarkan hal itu lalu begitu saja. Saya bertindak sesuai kapabilitas saya, menurut pada apa yang Tuhan suruh saya sampaikan kepada teman-teman, dan berkontribusi sebatas kemampuan saya. Namun, bagi Tuhan itu tidak cukup! Dan saya mendapat kesadaran penuh akan hal ini setelah kontek dengan sis Gitta Diana.
Sekedar info, Sis Gitta menjabat sebagai Commander di komselnya. Tuhan mendidik dengan berbagai macam cara—salah satunya adalah membiarkan kita ‘ditampol’ lewat orang lain secara tidak langsung. Dedikasi dan komitmen Sis Gitta sebagai Commander menyadarkan saya betapa gabut-nya (gaji buta--red) saya sebagai Commander juga. Malah, yang makin saya sadari ketika saya masih meragukan apakah memang saya benar-benar menduduki peran itu adalah pertanyaan beliau apakah saya adalah Commander di TD. Dengan masih ragu, kira-kira saya menjawab, “Yah... Tuhan memang pernah bilang gitu sih sama saya.. Memang kenapa, sis?”

Jawabannya mengagetkan saya, “Saya memberanikan diri nanya begitu karena uda ada dugaan kuat, brother... Soalnya keliatan banget sih dari spesifikasi roh brother! Yang mata rohani saya lihat seperti itu.”

Karena sekian bulan saya sendiri ga nyadar-nyadar juga, Tuhan sampai mengambil jalan memutar untuk membiarkan hamba-Nya dari penjuru pulau yang berbeda, yang notabene tidak pernah bertemu dengan saya dan hanya kontek lewat facebook dalam waktu yang singkat, untuk menyadarkan saya secara tidak langsung! Itu cukup untuk membuat saya mengambil titik balik. Saya mau menjalankan apa yang Ia titahkan kepada saya sesuai dengan apa yang Ia kehendaki, tanpa mangkir-mangkir tidak jelas lagi!
Teman-teman Tim Doa, terutama sang Hansip, Feli, dengan setia membantu saya dalam proses perubahan karakter ini dan bersedia maklum ketika saya gagal. Sungguh, sokongan dari mereka sangat tidak ternilai! Bagaikan siklus yang berulang-ulang, saya semangat 45 untuk mendalaminya, saya merasa tertekan, saya jatuh, saya mangkir dan demo sama Bapa untuk menggantitugaskan saya, dan saya bangkit kembali. Tak terhitung berapa banyak itu berulang—namun hebatnya Tuhan kita, saya dapat mengambil pelajaran dari setiap jatuh-bangunnya.

Jujur saja, secara roh, untuk memimpin saat jalannya peperangan, saya tidak akan terlalu banyak protes. Tapi, yang menjadi problem itu malah bidang secara ‘jiwa’-nya, yang non-roh! Keharusan untuk memimpin jalannya rapat, mengatur dan mendelegasikan tugas dalam projects non perang kepada teman-teman, menjadi pemimpin diskusi. Semua itu membuat saya stres! Saya sama sekali bukan manusia depan layar...
Satu kejadian yang menentukan adalah saat saya sedang sulky-sulky-nya tentang peran ini dan Roh Kudus dengan tegas mengundang saya untuk beradu argumen dan menyelesaikan ini semua, lalu saya dibawa ke Takhta Bapa untuk ‘disidang’. Bayangkan! Disidang di depan Takhta Bapa dengan Penghuni Takhta sebagai saksinya! Atas tuntutan Tuhan, saya pun mengeluarkan semua uneg-uneg dan pendapat saya saat itu juga...

Counterattack Tuhan sungguh simpel nan mengagumkan—hanya beberapa baris percakapan yang Ia butuhkan hingga saya disadarkan untuk terus maju saja tanpa menganggap itu semua menyulitkan, dan bahwa semua itu sebenarnya simpel. Ya, mekanisme pertahanan diri kita saja yang membuat hal simpel jadi ribet, dan itu terjadi ketika kita menolak hal tersebut. Terima saja dan melangkah, kata-Nya. Yah, di situ saya menandatangani surat kontrak untuk maju sebagai Commander sebagaimana perintah-Nya, keputusan tak bisa ditarik lagi yang telah dimeteraikan.
Atas dasar itu saya melangkah maju. Namun, kembali situasi terasa begitu menekan. Krisis ini dan itu membutakan pandangan saya, api penempaan terasa dalam panasnya yang tertinggi. Saya sadar, Tuhan sudah tidak main-main lagi. Lolos tempaan menghadiahkan kenaikan level, dan gagal atasnya mengakibatkan kejatuhan yang sangat dalam.

Hampir satu minggu saya uring-uringan. Tuntutan untuk melakukan ini-itu secara internal di TD terasa sangat di luar kemampuan saya. Rentetan to-do list untuk improvisasi peran sebagai Commander membuat saya sangat ingin lari, kalau boleh jujur.
To live by faith and not by feelings. To obey the God in everything I do.’
Dalam keputusasaan, saya terus berseru mengingatkan diri sendiri akan kata-kata itu. Rasanya, api rohani saya hampir mati..
Saya memaksa diri untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk worship dan menonton video-video rohani, namun ‘api’ saya tetap tidak tersulut. Kekosongan mendominasi semuanya, dan saya hampir kembali ke lifestyle lama saya. Kalau ditanya alasannya... Saya merasa ‘kehilangan’ sesuatu. Saya kehilangan motor penggerak kehidupan saya. Ingatan bahwa saya masih punya banyak list mustahil yang tidak sanggup saya lalui sangat menekan saya.
Sampai setelah sekian hari saya hampir kalah total dalam pergumulan melawan daging ini, Tuhan membangunkan saya dengan cara yang tidak terduga. Saya tidak usah jabarkan detilnya, pokoknya Tuhan menyodorkan tugas sangat mendesak dan berat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya! Andaikan saya seorang tentara yang lagi enak-enakan nyantai mangkir dari tugas, tiba-tiba negara saya kena serang. Spontan saya mau tidak mau mengakhiri kemangkiran saya demi membela nyawa orang-orang se-negara saya, bukan? Kurang lebih seperti itu efek dari penugasan malam tersebut.

Yah, api saya kembali berkobar dan saya ber-rekonsiliasi dengan Bapa saat itu juga. Detik itu juga saya sadar apa yang hilang dari diri saya: kobaran api untuk melayani-Nya!
Hal kecil namun berharga yang Tuhan berikan sebagai Hikmat kepada saya esok harinya, yaitu bahwa selama ini saya hanya memandangi to-do list itu secara keseluruhan dan hanya mengeluh ‘susah, gak mungkin bisa, mustahil’. Dan... Apa yang dianalogikan Roh Kudus ketika kita mulai melangkah tanpa mengeluh, menerima semuanya apa adanya? Kita akan berfokus pada satu per satu poin pada list dan menjalaninya, mencentrangnya bila poin itu sudah tercapai.
Sekian sharing pribadi dari saya.

Hm... Rasanya testimoni saya selalu mengenai kejatuhan saya, ya... Memalukan? Biar sajalah... Semoga bisa menjadi berkat.. :p