Maling Pedang

Author : Felicia Yosiana Gunawan

15 Febuari 2012.

Setelah lama nunggak nulis dan ini-itu, akhirnya saya merasakan penyitaan perdana oleh Tuhan. Hikmat Pengarti Mimpi saya disita! Bayangkan! Saya sampai planga-plongo mendengar hujan mimpi teman-teman TD... Biasanya tidak sampai begini! Justru sebaliknya, malah. Wuah, yang jelas ini menggampar sekali. Rupanya di sini Tuhan mau mengingatkan bahwa TD sudah lama ‘nunggak’ meng-upload testimoni mimpi blog—dan saya salah satu yang kena batunya karena sempat malas mengartikan juga. Maka, setelah saat teduh kalut yang sebagian dipenuhi dengan niat ‘membalas dendam’ dengan penggeberan tagihan mimpi ke anak-anak, Tuhan pun menjanjikan akan mengembalikannya bila saya sudah mulai bayar hutang.
Sesi pertama, permohonan maaf karena telah nunggak pun berlalu. Saya mulai meminta untuk di-briefing lebih jauh sama Roh Kudus mengenai rencana perombakan total susunan acara Tim Doa dan Tim Persiapan. Kenapa harus dirombak? Karena menurut Tuhan, kami—Tim Doa dan juga kerabat kami, komsel di Jogja—telah memasuki lembaran chapter yang benar-benar baru. Dan tentu saja, TD-lah yang akan pontang-panting paling parah karena kami harus mengejar level yang Tuhan inginkan untuk kami capai.

Sebelum saya masuk lebih jauh, sekedar info saja, tanggal 12-14 Febuari adalah hari-hari di mana Tim Doa dilawat khusus oleh beberapa saudara dari komsel di Jogja. Singkat kata, kami, yang tadinya hanya kontak di Alam Roh dan lewat telepon serta internet, bisa bertemu muka dengan muka. Rasanya janggal sekali... Di satu sisi saya senang dan masih sulit percaya bahwa Tuhan telah merencakan semua ini, tapi di sisi lain, saya mulai marah terhadap diri sendiri.
Tanggal 13 adalah tanggal di mana kami saling ‘tular-tularan’ api Roh Kudus di medan perang. Perang Tim Doa benar-benar akan berubah selamanya sejak tanggal itu. Level keganasan kami rasanya dipompa berkali-kali lipat, dan itulah pertama kali kami bermanifestasi fisik saat peperangan. Ada yang mulai gebuk-gebuk lantai—padahal tadinya dia paling parah juga cuma meninju-ninju udara. Ada yang antara meneriaki maling sama menengking roh jahat udah nggak ada bedanya. Dan ada yang bahkan sampai ketawa-ketawa anarkis sambil menghajar roh jahat... Pokoknya parah, deh! Saya, yang ditempatkan di belakang sebagai Rear Guard sampai hopeless melihat aksi membabi buta mereka. Sekarang saja saya sudah mulai berpikir untuk mengevakuasi semua barang pecah-belah dari ruang tamu dalam perang-perang selanjutnya... Rumah saya tidak diasuransi untuk dihancurkan penghuninya sendiri, tentu saja.

Tidak usah saya perjelas sekarang detail tiga hari fenomenal itu. Tapi yang jelas, selain rasa sukacita dan semangat yang didatangkan Tuhan dari pertemuan kami dengan saudara-saudari dari Jogja, hal itu cukup membakar saya. Saya jadi begitu marah pada diri sendiri. Saya sadar bahwa saya masih kekanak-kanakan, mudah sekali lari dari proses Tuhan dan mencari tempat pelarian. Saya lemah, mudah mengeluh, dan tidak mengerti ini-itu. Pokoknya, saya benar-benar marah sama diri sendiri!
Kenapa kamu bisa begitu lemah?” hajar saya pada diri sendiri pada saat teduh tanggal 15. “I’m tired of being this weak! Saya capek begini terus! Saya bosan! Saya pingin cepat-cepat tumbuh di dalam Tuhan dan jadi hamba yang bisa dipercaya! Saya mau jadi kuat di dalam Anda, Tuhaaaaan!!!” jerit saya bete.

Saat itu, Tuhan hanya mengangguk-ngangguk santai sebagai balasan. Tanpa   berkata apa-apa, Ia hanya mengarahkan saya untuk mencatat poin-poin perubahan beberapa struktur TD dan mengingatkan saya akan hutang kerjaan ini dan itu.

Ada urapan babu, Tuhan?” tanya saya lagi di sela-sela timbunan pelunasan hutang.

Adaaaa,” jawab-Nya santai.

Malamnya, hal yang sama kembali berulang: saya kembali ‘marah-marah’. Tapi kali ini, saya nggak mau memendung kemarahan itu, saya pun berinisiatif melampiaskannya sama roh-roh jahat nan jelek yang kerjaannya menggerecoki saya dari dulu. Mulai dari membanting-banting roh najis sampai roh pembuta saya lakoni demi menyalurkan tenaga. Dan yang lucu, saya melihat bahwa kali ini, tubuh roh saya sedang mengayunkan dua pedang alih-alih sebuah saja. Biasanya, senjata saya adalah sebuah glaive yang  mirip claymore besar—namun tetap mudah digerakkan. Tapi kali ini, saya positif melihat ada pedang kecil di tangan kiri saya.
Saya jadi ingat mimpi saya sekitar bulan Desember. Di mimpi itu, saya ingat saya dipinjami Pedang Kembarnya Bro Aloisius Kevin. Mimpi itu juga rupanya jadi validasi senjatanya di Alam Roh yang sering ia lihat namun masih ragukan saat itu. Dan saya juga ingat Rachel pernah bilang ia melihat saya membabat roh jahat dengan dua pedang.

Di situlah saya mulai mikir, “Jangan-jangan ini gue rampas dari Aloi tanpa sadar?”

Dan sebelum saya sempat bertanya apa-apa, tiba-tiba pedang tersebut berganti model. Tuhan langsung berkata, “Aku kasih deh yang baru, daripada kamu ngerampas punya Aloi terus.”


Jadi... Ini merupakan testimoni pengakuan dosa terhadap Bro Aloi, wakil komandan Tim Doa kami. Maaf kalau pedangnya sering hilang satu... Sekarang Anda tahu siapa yang suka nyolong pedang demi melampiaskan kebarbaran di kala api peperangan lagi berkobar.

Sekian testimoni tersangka... :p