Starting Over

Author : Felicia Yosiana Gunawan

16 Febuari 2012.

Saya benar-benar dalam keadaan kalut. Entah kenapa, perasaan saya agak aneh: ada perasaan pingin guling-guling sendiri, teriak-teriak, dan emosi membuncah namun diselingi rasa grogi dan uring-uringan untuk mencari penyebabnya. Setelah saya memaksakan untuk masuk ke dalam penyembahan, barulah terkuak apa penyebab kegalauan di Kamis malam tersebut: perasaan ingin berontak
Yep, saya pingin berontak dan menerobos segala jeruji yang menghalangi jalan saya untuk mencapai Tuhan. Saya merasa, hidup saya benar-benar dirintangi oleh segudang protokol buatan manusia yang membatasi gerakan Tuhan. Ini bikin bete! Saya nggak suka sekali dibatasi, apalagi dalam hal berhubungan dengan Tuhan. Anda minta contoh? Salah satunya adalah protokol dalam ‘pembaptisan Roh’. Ada beberapa aliran yang bikin saya gerah dalam hal ini... Ada segudang pengkotak-kotakan dalam tubuh Gereja—terutama mengenai tema di atas. Dan saya merasa semakin tertekan dengan dinding-dinding menyebalkan ini. Saya mau bebas! Saya mau lari mengejar Tuhan dan tidak mau terperangkap di ruangan kecil ini!

Maka, berniat menjebol perasaan terhalangi tersebut, saya berdoa teriak-teriak dalam roh kepada-Nya. Dan ini diperparah keadaan roh saya yang lagi homesick dan haus parah akan hadirat Allah. Jadilah malam itu ajang pemberontakan terhadap daging sendiri.
Tuhan, aku nggak mau lihat manusia! Saya nggak cari hamba-Mu, saya nggak cari pendeta atau manusia—saya mau cari Engkau! Engkau saja cukup!” jerit roh saya histeris. “Saya nggak mau terkekang begini, saya mau bebas di dalam hadirat-Mu!”

Dan persis saat itu, saya melihat pengelihatan kilat: saya melihat tubuh roh saya sendiri sedang berteriak-teriak histeris sambil mengguncang-guncang sel besi yang mengurung roh saya. Saya tidak tahu itu kerangkeng apa, tapi saya tahu pasti ini menghalangi saya untuk sampai ke hadirat Tuhan. “Bukaaaaaaaa!” jerit saya. Tubuh jasmani saya meresponi teriakan itu dengan erangan kesakitan. Ini kedua kalinya saya merasa kesakitan secara nyata karena merasa tidak bisa menggapai Tuhan!
Dan karena aksi tersebut gagal mendobrak jeruji sel, tubuh roh saya mulai membentur-benturkan diri ke sel. “Buka! Bukaa! Keluarin gue!!! Gue mau ketemu Bapa!!!”

Pengelihatan berganti. Saya berada di suatu tempat di Ruang Takhta. Saya tidak persis berada di Ruang di mana Bapa berada, tapi saya ada beberapa ruang terpisah dari Ruang tersebut. Tubuh roh saya, sama seperti tubuh jasmani saya, sedang bermuka stres dan menangis marah-marah. Roh saya sedang dalam posisi bersujud saat itu, dan saya memakai Perlengkapan Rohani lengkap. Kemudian, dengan tampang jijik dan desperate, roh saya mulai membuka Perlengkapan Rohani tersebut satu-satu. Saya mengerti apa yang roh saya maksudkan: “Saya kembalikan semua Perlengkapan ini asal Anda mau biarkan saya mengenal Anda lebih jauh!”

Di dunia nyata, otak saya mulai berpikir sedikit ‘waras’... Apa yang kira-kira tubuh roh saya lakukan? Apa ini legal di mata-Nya?

Dengan kalut, saya mengalihkan perhatian ke Alkitab yang tergeletak satu jangkauan saja di depan saya. Roh Kudus mendorong saya dengan cepat untuk mencari validasi dari apa yang saya lakukan. Dan bum... Sabda bahagia di Matius saya temukan. “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.”

Roh saya rasanya langsung lompat begitu baca ini.

Namun, sebelum saya sempat mengatakan apa-apa lagi, Tuhan Yesus berkata, “Kamu tahu, jeruji ini punya fungsi kedua selain menahanmu.”

Saya manyun dan membatin, Apaaaaa? Jeruji nyebelin ini punya sisi lain?

Ya,” kata Tuhan membaca isi hati saya. “Di luar jeruji ini adalah ‘dunia’ terbuka. Akan lebih mudah memang menemukan Aku di luar, tapi bahayanya juga meningkat berkali-kali lipat. Secara teori, kamu aman di dalam kerangkeng ini.”

Dan saya akan terus diperlakukan sebagai anak-anak yang nggak bisa makan makanan keras?” tanya saya agak sebal.

Tuhan mengangkat alis dengan maklum. Hikmat segera mengalir bahwa ini adalah peringatan mengenai bayar harga. Ya, bayar harga untuk tumbuh dan mengenal-Nya lebih jauh lagi. Secara jiwa dan roh, saya langsung celingak-celinguk di dalam diri sendiri dengan frantic, mencari-cari apa lagi yang bisa saya gadaikan buat jadi harga bayaran ke Tuhan.


Beberapa jam setelah saya lebih tenang dan kalem, Tuhan menghampiri saya untuk mengobrol santai. “Sekarang kamu ingat rasa haus dan lapar itu.”
Memori saya akan pencarian kalut saya akan Dia pada masa-masa SMP dan SMA diputar ulang. Dan saya baru sadar, bahwa persis satu tahun yang lalu, kami—anak-anak Tim Doa yang masih baru cari Tuhan secara sungguh-sungguh—sedang bergila-gila ria di dalam pengenalan akan Dia. Roh Kudus menuntun saya, melihat lembaran-lembaran perjalanan kehidupan Tim Doa dari awal terbentuknya di awal tahun 2011 sampai sekarang.

Saya dibawa mengingat bagaimana dulu kami benar-benar semangat memuji dan menyembah. Hadirat Tuhan sangat bombastis saat kami, sekumpulan bocah-bocah dari berbagai kalangan, masuk ke atmosfer penyembahan. Kami belum tahu banyak soal Tuhan dan kegiatan komsel atau tim-tim doa lainnya saat itu. Kami juga dulu tidak memusingkan status Tim Doa yang tanpa pembina dan naungan gereja atau organisasi oikumene. Yang kami tahu, kami mau bergerak sama-sama untuk tumbuh di dalam Tuhan. Kami dulu akan sangat norak dan semangat bukan main kalau sudah membicarakan dan bercanda soal Tuhan. Ia Allah yang humoris, dan kami sangat terkagum-kagum dengan kerendahan hati-Nya yang mau memandang kelompok bocah-bocah nyasar ini.
Memang, secara pengetahuan, Hikmat dan pengenalan akan Allah, kami semua bisa dihitung sebagai batita-batita rohani saat itu. Tapi kami tidak pernah ambil pusing dengan protokol ini dan itu; kerjaan kami selalu tertawa dan menangis bersama setiap berkumpul. Walau sering dihakimi dengan berbagai cercaan aneh karena tidak punya figur orang dewasa dan pembina dalam kelompok, rasanya dulu kami tidak pernah memusingkan hal itu. Kami membela satu sama lain kalau ada orang yang menghakimi salah satu anggota, dan kami berdiri benar-benar bagi Tuhan dan Tim Doa bentukan-Nya dengan kasih dan keteguhan hati seorang anak yang mengasihi Bapanya. Rasanya begitu luar biasa!

Kami tidak mengerti banyak. Kami tidak tahu cara menyembah yang benar. Kami tidak tahu mengenai ini dan itu. Tapi dulu, kami semua haus akan Allah dan kami tidak lihat kanan-kiri untuk lari mengejar hadirat Kudus-Nya. Kami sekumpulan anak-anak yang berlari mengejar matahari walau orang-orang mengatai kami bodoh dan bermimpi muluk-muluk. Dan kami melakukannya dengan penuh gelak tawa dan kepercayaan bahwa suatu hari nanti, kami pasti menang di dalam iman itu.
Setelah beberapa saat mengingat titik awal Tim Doa, saya termenung... Apakah ini yang hilang dalam diri saya—kasih dan semangat di dalam Tuhan? Kenapa dulu saya bisa mengejar-Nya begitu rupa walau saya dihakimi dan terbentur sana-sini? Kenapa sekarang saya jadi lemah dan lebih sering berhenti berlari di tengah jalan dan ngambek sama Tuhan? Apa karena saya merasa Dia tidak adil dengan tidak memberikan kami seorang pembina rohani atau naungan? Atau apa karena saya kehilangan kasih yang murni layaknya anak kecil kepada Bapanya?

Saya tidak mau ambil pusing,” kata saya akhirnya. “Saya tidak mau memusingkan cara, protokol, perkataan orang lain atau standar dunia. Saya mau cari Anda sampai dapat. Saya mau kenal Anda sedalam yang saya bisa.”

Tuhan mengangguk mendengarnya. “Itu resolusi. Tim Doa ini memang berbeda dari kelompok doa kebanyakan, tapi bukankah iman yang membenarkan kalian, yaitu bahwa kalian mengimani Akulah yang mensponsori kalian? Jangan kehilangan kasih itu. Jangan pernah kehilangan pengharapan.”

Anda bisa lakukan apapun yang Anda mau, termasuk membawa kami Pulang saat ini juga.”

Tapi kamu tahu jawabannya kenapa itu tidak Kulakukan.”

Karena Anda adalah Allah akan proses.”

Itu pelajaranmu selama delapan belas tahun berjalan dengan-Ku.”

Saya menarik nafas, mulai bisa merasa lega perlahan-lahan. “Terserah kalau orang mau bilang cara saya berjalan dengan Anda aneh. Bukannya dari awal juga Anda menjangkau saya dengan cara yang aneh? And still, I am nothing and don’t deserve anything.

Berjalanlah, nak.” Ia kemudian mengarahkan pandangan-Nya ke kejauhan padang rumput Alam Roh, tempat di mana kami sering bertemu sejak saya SMP. “Layangkan pandanganmu ke belakang jika perlu, lihat bagaimana Aku menggapaimu dan bagaimana engkau berlari mengejar-Ku. Lalu layangkan pandanganmu ke depan, kepada pengharapan, kepada Bapa dan tangan-Nya.”

I want to start over,” gumam saya, memandang kaki sendiri. Lagu Under Grace yang saya putar terus menerus di kamar saya lantunkan perlahan, sedang Tuhan menyimak dalam diam dan kesunyian yang menenangkan. “My life’s forever changed by the Master. My life forever given to praise, and I’m forever grateful for my salvation.”

Dan sambil menyanyikannya sekali lagi—dengan Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus yang mendengarkan dalam keheningan kudus dan kasih—semua memori mengenai kehidupan saya terputar ulang: Saya diambil-Nya dari sampah. Saya diangkat-Nya menjadi anak. Dan Ia mengajarkan saya cara berjalan dan berlari.
Itu cukup. Itu semua lebih dari cukup.
Saya boleh sendirian, saya boleh terlahir sebagai anak tunggal... Tapi itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa saya dihujani oleh Kasih Agape, bentuk kasih yang tertinggi dari segala kasih. Kasih Bapa sendiri. Dan saya tahu ada begitu banyak orang yang juga harus disadarkan mengenai Kasih yang luar biasa ini. Pikiran saya kembali berputar ke arah para penderita kanker, khususnya anak-anak.... Dan sambil berdoa sekali lagi dalam posisi bersujud bagi mereka, lagu yang sama saya biarkan terputar ulang.


Rain, rain, come again, I pray. Heaven’s rain, rain, come again. Washing over all my sin. You are washing over all my sin.” —Under Grace