Mission Possible - Winged Mounts

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Katak dan belalang berwarna hijau dan cokelat segera mendominasi pemandangan Alam Roh. Saya bergidik jijik dari atas kuda. Memang sih, mereka tidak nempel-nempel sama kami, tapi tetap saja saya agak bete. Maklum, saya punya fobia serangga yang lumayan parah. Bayangkan... Melihat kecoa ukuran mini dari jarak sepuluh meter saja saya bisa salto-salto sambil berteriak kalap. Syukur sejuta syukur roh saya tidak fobia serangga. Kan nggak lucu kalau saya yang tewas saat para belalang itu membanjir melewati barisan kami.
Dengungan lebah segera berkurang, dan kami mulai bisa bernafas lega. Tapi ‘pembersihan’ belum selesai, benteng kami masih disusupi para roh najis dalam bentuk-bentuk aneh. Tidak usahlah saya perjelas seperti apa, yang jelas cuma satu: mana bisa kami bertempur dengan efektif dengan benteng yang kebobol musuh?

Doa pertahanan dan penyucian benteng!” teriak saya.

Harvi dan Aloi juga rupanya telah mendapat perintah sama dari Roh Kudus dan kami pun mulai bergerak. Pertama-tama kami meminta Roh Kudus untuk mengikat roh-roh pembobol yang sedang asyik berkeliaran di dalam benteng. Saat itu juga saya melihat rantai perak yang segera menjurus di dalam benteng, di setiap koridor dan pintu interior kastil pertahanan kami, dan membelenggu si jahat yang mulai berteriak-teriak. Dan saat kami mematahkan, menghancurkan dan membakar kuasa kegelapan mereka di dalam Nama Tuhan Yesus yang Agung, saya melihat rantai itu menyala dalam kobaran api seraya menjerat mereka sampai jadi debu. Saya tahu roh tidak bisa mati, tapi jangan tanya saya ke mana mereka dideportasi Roh Allah. Yang penting benteng bersih dulu.
Singkat kata, dalam waktu sekitar sepuluh menit benteng kami sudah mulai kembali higenis. Tentu saja, Darah Yesus lebih dari apa yang kami butuhkan untuk menyucikan benteng rohani tersebut dari dalam. Dan sebelum kami sempat tahu apa yang akan diisukan Roh Kudus, tiba-tiba hujan besa rmengguyur, seakan-akan itu adalah sinyal bahwa: “Bersorak-sorailah dan menggempur sekarang! Tetangga nggak bakal komplain!”

Tertawa puas, kami pun segera mengambil posisi untuk maju bertempur kembali. Agak sulit, mengingat status kami di Alam Roh itu masih dikepung dari segala penjuru. Pengelihatan-pengelihatan kami masih agak tumpang tindih, dan pujian penyembahan kami agak macet pada awal sesi penyerangan kedua ini. Tapi kemudian saya mendapatkan suatu pengelihatan yang membuat kami digampar untuk segera bangun: saya melihat Sis Gitta Diana—saudari dari Jogja di dalam Kristus—sedang menghalau bala bantuan musuh di garis belakang! Saya sempat melihat beliau bertarung dengan fierce dan gigih di tempat, menjaga agar tidak ada roh-roh jahat yang membobol garis pertahanan dan membacok di punggung kami.
Kita nggak boleh sia-siakan usaha orang,” komentar roh saya datar, sengaja bermaksud untuk terdengar sarkastis. “Apa loe mau ‘dilindungi’ terus dan nggak bisa berkontribusi? Loe udah diutus perang, meeen... Cupu amat kalo loe setres sama kroco-kroco kecil ini? Bukannya ada JC yang super-gede itu dalam barisan loe?” Kira-kira perkataan seperti itulah yang ditodongkan roh saya kepada diri sendiri supaya terpompa untuk maju lebih gigih lagi.

Oke,” sahut kesadaran pikiran saya dengan nada menantang. “Jadi sekarang Tuhan mau kami gimana? Kami harus gimana supaya bisa menerobos barisan hitam-hitam nan tebal ini?”

Jawabannya langsung tiba: dalam waktu kurang dari sedetik, pengelihatan mengenai sayap dikirimkan kepada saya. Oiya, yah... Kuda-kuda perang kami kan sudah diberikan sayap seminggu yang lalu sama Tuhan, kenapa nggak diklaim sekarang? Batin saya.

Sebelumnya, biar saya curcol sedikit soal sayap ini. Iyep, sayap. Kuda-kuda kami telah diperlengkapi Tuhan dengan sayap-sayap yang unik menurut ciri khas penunggangnya masing-masing. Waktu saya mendapatkan pengelihatan itu untuk yang pertama kali dan saya bertanya “buat apa?”, Tuhan hanya menjawab, “Peperangan bakal tambah intens. Kamu butuhkan ini.” Dan setelah saya coba konfirmasi ke Komsel Perangnya Sis Gitta Diana di Jogja, ia mengiyakan apa yang saya dapatkan; komselnya telah terlebih dahulu diberikan pengelihatan dan validasi soal pemberian sayap kuda itu beberapa hari sebelumnya. Well, Dia memang Allah yang sangat peduli dengan bukti dan pembenaran...

Saya segera memberitahukan hal ini kepada Aloi dan Harvi, yang segera mendapat lampu hijau dari Roh Kudus untuk menggunakan fasilitas baru ini. Saya sempat melihat dua sampai tiga kali kalau sayap kuda saya itu terbuat dari api. (Aneh-aneh deh sayap kuda-kuda kami... Bahkan ada yang sayapnya berupa gelombang listrik statis.)
Kami klaim sayap-sayap yang telah diberikan Tuhan kepada kami!”

Dan, bum... Kami semua lepas landas dengan bombastis.

Sayang sejuta sayang, momen heroik ini harus dirusak fakta bahwa kami nggak biasa terbang. Jadi selain merasa agak jetlag di dunia nyata, terbang kami naik turun dengan canggung seperti capung yang sayapnya lepas satu. Rasanya kayak baru pertama kali disuruh mengemudikan pesawat terbang! Sangat konyol, kalau nggak mau dibilang memalukan. Tapi serius, ‘terbang’ itu menguras tenaga, iman dan energi roh. Berulang kami doa harus ‘diperbaiki’ karena terbang kami yang nggak stabil dan pengelihatan kami yang terlalu bikin mabok. Norak abis, deh pokoknya...! Benar-benar mikjizat kami tidak jatuh dari kuda atau justru nyangkut di benteng musuh.

Tapi seperti saat kami baru pertama kali mendapat kuda dan merasa canggung di atasnya, tidak dibutuhkan waktu lama untuk membiasakan diri. Memang sih, momen-momen terbang kami singkat sekali, cuma sekitar dua sampai tiga menit saja, tapi itu benar-benar membawa perubahan luar biasa! Rasanya menyerang dari atas itu jauh lebih gampang, dan menyenangkan sekali rasanya bisa terpisah dari tanah yang masih dipenuhi belalang dan katak...


Validasi : Mazmur 139:9, Yesaya 40:31, Yoel 2:1-11, Ibrani 13:21, 1 Korintus 15:44.


—Bersambung... lagi.