Mimpi - Duel

Author : Benedictus Harvian

19 Februari 2012.

Belakangan ini, saya ikut merasakan apa yang Sister Feli rasakan tentang ‘kena sita’ sama Tuhan. Hanya berbeda objek sedikit. Karunia pengarti mimpi saya masih jalan, puji Tuhan. Tapi yang membuat saya agak frustrasi, saya TIDAK BISA MENULIS!! Rutinitas saya sekian hari ini adalah: bangun, buka laptop, utak-atik Ms Word untuk menulis kesaksian supaya dapat ditaruh di blog, bolak-balik menghapus tulisan yang baru diketik sedikit karena mandek, lalu setelah hampir satu jam saya nyerah dan menutup laptop dengan tampang bete. Tidak pernah sesulit ini untuk menulis testimoni...! Rasanya bagaikan urapan untuk menulis—kalau memang ada—itu dicabut sama Tuhan!
            Gara-gara loe sendiri,” batin saya ke diri sendiri, ”yang mangkir nunggak-nunggak nulis testimoni waktu itu, tahu...!”  Ampun, Tuhan... Sepenuhnya salah saya... L
            Ehem. Jadi, masuk ke intinya. Saya memohon kepada Tuhan untuk memberikan saya pengelihatan atau mimpi yang bisa dituliskan—nggak perlu banyak brainstorming dan penyusunan bahasa, soalnya—dan Ia mengabulkan hal tersebut. Betapa Allah kita adalah Tuan yang baik! Saya langsung dapat mimpi! Saya dapatkan ini kemarin saat tidur siang.


            Kesadaran pertama saya adalah bahwa saya berada di sebuah daerah terbengkalai ala padang pasir, dengan langit yang merah dan keadaan kering kerontang. Mencekam juga, kalau diingat-ingat. Tangan saya memegang sebuah spatula dan membolak-balik sesuatu yang tidak begitu jelas di wajan—ah, saya sedang memasak rupanya. Saya ingat bahwa kompor dan perangkat masak lain tertata lengkap di daerah terbuka padang gurun itu. Tiba-tiba, saya merasakan keberadaan pendatang lain di daerah yang terisolasi itu.
            Keberadaan yang mencekam! Spontan Sensor Roh saya aktif dan mewanti-wanti pikiran saya akan adanya bahaya. Dengan berjalan menyeret-nyeret kaki dan mengoarkan hawa menyeramkan khas kepunyaan roh jahat, sosok ‘pendatang’ tersebut semakin mendekat. Ternyata ia berwujud mirip manusia--seorang laki-laki muda, lebih tepatnya. Namun, rasanya tidak ada manusia normal yang dapat mengeluarkan keberadaan roh jahat sebesar itu! Saya berpekulasi kalau ia kerasukan atau memang hamba setan.

            Ia kemudian menengok ke arah saya dan mendengus garang. Apakah ia sedang bersiap-siap untuk menerjang saya? Untuk beberapa alasan, saya sama sekali tidak gentar dan hanya menatapnya balik dengan ekspresi datar—bahkan saya masih memegang spatula dan mengurus sesuatu yang sedang saya masak! Sedikit kelegaan memancar saat orang tersebut berpaling dan meneruskan jalannya. Saya kembali memusatkan fokus sepenuhnya pada masakan.
            Selang beberapa saat, saya mendengar kericuhan di kejauhan. Teriakan-teriakan histeris bergaung kuat. Merasa tidak bisa mengabaikannya, akhirnya saya meninggalkan masakan dan bergegas menuju TKP. Saya mengklaim seluruh Perlengkapan Senjata Allah selagi berlari dan merasakan bobot tubuh saya memberat karena Armor tak terlihat yang mulai terpasang di seluruh tubuh saya.

            Betapa terkejutnya saya melihat si orang bermata merah sedang mengobrak-abrik perkemahan penduduk di situ! Perkemahan tersebut lumayan besar dan didiami banyak orang, ditilik dari jumlah orang yang berlarian ke sana ke sini. Si Mata Merah (mulai sekarang saya akan menyingkatnya begitu, untuk alasan kepraktisan) berlari menuju seorang ibu paruh baya yang sedang menggendong bayi. Teriakan histeris si ibu menggerakkan seluruh sel tubuh saya untuk berlari sekuat tenaga demi melindunginya! Action dimulai! (Yeah!!!)

            Untunglah, saya tepat waktu. Si Mata Merah tidak butuh pemberitahuan tambahan akan tantangan bertarung ketika ada yang menghalangi usahanya untuk menyerang sasaran. Ia langsung saja ganti menyerang saya, berusaha menebaskan sesuatu yang ia genggam kuat-kuat kepada saya. Refleks terlatih membuat saya mengangkat tangan kiri untuk memblok serangannya. Bunyi desingan metal berdengung saat benda logam yang ia tebaskan menghantam Shield of Faith yang terpasang di lengan kiri saya. Rupanya ia membawa pedang! Kilauan logam itu sempat saya tangkap sesaat sebelum ia menariknya kembali.
            Tidak mau kalah, saya menekan balik dengan Sword of Spirit di tangan kanan. Hanya butuh beberapa sabetan pedang untuk menyadari bahwa lawan juga memiliki perisai dan armor lengkap. Ia lalu menyeringai tanda menantang di tengah aksi pedang kami yang sedang beradu. Alis mata saya berkerut sedikit sebagai respons. Kami saling mengelakkan diri ke belakang dan saling berputar dalam lingkaran, waspada dan siap menyerang balik.

            Ini di luar dugaan saya. Dengan perawakan seperti itu, saya sempat mengira lawan adalah tipe musuh yang sembrono dan bodoh, tipe yang mudah untuk di-outsmart dengan beberapa langkah saja. Kenyataan pertarungan membantah dugaan tersebut. Ia tipikal prajurit pembunuh terlatih yang penuh akal bulus dan licik!
            Ini membutuhkan pergantian strategi, batin saya dalam intensitas aura duel tersebut. Sepersekian detik memutar otak dengan genting membuahkan satu keputusan: Saya akan menyerangnya dengan hati-hati dan penuh perhitungan, menunggu celah terbuka! Pemikiran itu bergaung di benak saya bagaikan sangkakala tanda mulainya pertarungan kembali ketika kami sama-sama berderap maju.
            Menghindar, menebas, memblok serangan, bermanuver... Rangkaian pertarungan terus berkelanjutan seiring saya membawanya menjauhi perkemahan ke padang pasir terbuka. Pedang saya mulai terasa sangat berat. Dan, oh, perisai saya juga! Ada apa gerangan? Apakah kelelahan yang menurunkan stamina fisik saya? Apapun itu, saya tidak sempat memikirkannya karena serangan dari musuh semakin kalap.


            Tiba-tiba saja, scene berganti. Saya melihat lantai putih dan lemari coklat... Juga ada jendela dengan kusen biru di dalam adegan baru ini. Dalam pandangan saya yang terbatas karena masih beringsut dalam pertarungan, saya segera menyadari kalau ini adalah rumah saya sendiri! Kesadaran itu mencurahkan kekuatan baru yang misterius pada saya. Saya berhasil menekan sang lawan dan memojokkannya ke sudut, hanya untuk mendapati bahwa ia semakin garang dan membabibuta dalam serangannya ketika terpojok.
            Tuhan, berilah kekuatan padaku buat menunjukkan bahwa kekuatan-Mu lebih besar dari dia!”

            Pada seruan itu, saya membuang pedang yang saya genggam dan entah bagaimana berhasil menangkap lawan pada kedua tangan dan menjejakkan kaki kanan saya kuat-kuat ke depan, tepat mengenai dadanya. Gerakan tersebut membawanya jatuh ke tanah. Ia meronta-ronta dengan putus asa. Saya mengencangkan kuncian dengan air muka tegas.

            Udah kebukti kan, loe nggak punya kuasa!! Kuasa Tuhan gue doang yang besar!!”

            Hentakan itu berhasil membuatnya terdiam. Perlahan, wajahnya berubah menjadi wajah seseorang yang menyerah.

            Dan saya pun terbangun segera dengan frantic, sementara Tuhan dengan kalem menyuruh saya mencatat mimpi itu.


            Seperti biasa, izinkan saya untuk membagikan apa yang saya dapat dari Hikmat:

·         Padang pasir menggambarkan dunia, dengan kekering-kerontangannya akan Hadirat Tuhan.

·         Saya yang sedang memasak adalah gambaran anak-anak Tuhan yang bekerja untuk Dia. Walaupun di tengah padang gurun sekalipun, Tuhan akan menyediakan seluruh fasilitas masaknya. Analogis sekali, bukan? Ia pasti menyediakan—seperti Nama-Nya, Jehovah Jireh (God who Provides).

·         Si sosok bermata merah adalah si jahat atau hamba-hambanya. Ia tidak menyerang saya saat itu juga karena saya sedang berada dalam proteksi penuh Tuhan. Seperti yang Anda tahu, Iblis tunduk pada kode etik dari Tuhan sendiri. Seperti yang dikatakan Firman, Tuhan adalah tembok api di sekeliling kita. Dan apa yang menyebabkan Iblis punya hak untuk menyerang kita, atau bahkan mengambil kontrol atas tubuh kita? Dosa. Pelanggaran akan Firman Allah menyebabkan adanya pintu masuk bagi mereka.

·         Perkemahan orang-orang adalah himpunan orang percaya. Arti yang disisipkan Hikmat agak miris, sebenarnya... Mereka ini tidak siap dengan serangan Iblis sehingga diporak-porandakan dengan mudah. Kita harus selalu waspada dan siap, kata Tuhan. Tidak ada persekutuan atau gereja manapun yang boleh me-neglect peperangan rohani. Prajurit harus terus siap kapanpun ada panggilan tugas bela negara, bukan?

·         Selanjutnya, si Mata Merah itu sendiri. Dalam mimpi saya sempat tertegun sejenak karena ia lebih kuat dari yang saya bayangkan. Ini memberi pesan untuk tidak memandang rendah lawan kita. Tentu, kita tidak usah takut sama sekali karena Bapa yang menyertai kita jauuh lebih besar. Namun bukan berarti kita dapat menganggap enteng mereka juga.

·         Kekuatan baru yang misterius yang saya dapat ketika scene berganti menjadi rumah saya adalah OTORITAS. Saya punya otoritas dan hak yang lebih untuk mengusir dia keluar karena itu rumah saya sendiri. Itu juga yang Tuhan tekankan, yaitu untuk menerapkan otoritas dan kuasa yang sudah kita terima dari Dia dengan sepenuhnya. Hal ini juga melambangkan Zona Kudus. Akan lebih mudah bertarung di kandang sendiri (zona yang telah dikuduskan terlebih dahulu—misalnya dengan pujian penyembahan, pemberian materai dengan media dan seringnya dibuat berdoa).

·         Kemenangan saya dapat ketika saya menyerukan permintaan tolong pada Tuhan. Kemenangan adalah milik Tuhan, peperangan rohani seperti apapun adalah milik Tuhan, dan kita tidak boleh lupa bahwa kita tidak sanggup apa-apa di luar Dia.