Kontemplasi

Author : Benedictus Harvian

20 Februari 2012.     

Saat itu siang hari. Sekitar jam 1 atau jam 2, kalau tidak salah. Sebagai respon dari pikiran yang penat dan fisik yang lelah, otak saya mendikte tubuh untuk istirahat. Saya menurut dan segera menjeblakkan diri ke tempat tidur. Mengikuti kebiasaan, saya memasang perangkat earphone di telinga dan membuka aplikasi music player di hape. Mata saya mulai terpejam setelah memilih lagu secara acak.
Untuk suatu alasan, saya tak lantas tertidur. Saya menyerah membolak-balik posisi tidur karena itu tidak membantu dan hanya berbaring mendengarkan alunan musik. Beberapa bulan ini telah menjadi salah satu masa terberat, batin saya memulai kontemplasi. Ada begitu banyak hal yang telah terjadi, mengubahkan kehidupan seorang remaja 18 tahun ini untuk selamanya. Benar. Setidaknya, saya dapat menjamin perubahan itu ke arah positif karena Tuhan sendiri yang mengambil andil.

Sudah hampir satu tahun, saya rasa, sejak saya terlahir baru... Betapa perjalanan yang penuh warna. 10-11 bulan yang terasa seperti seluruh kehidupan itu sendiri, karena saya menjalaninya bersama Sang Sumber Kehidupan. Sukacita tak terkatakan saat direngkuh dan dibalut-Nya, kerinduan untuk menyembah-Nya selamanya ketika merasakan hadirat-Nya, semangat yang berkobar untuk melayani dan menyenangkan hati-Nya... Sudut-sudut bibir saya meregang membentuk senyuman ketika memikirkannya.
Namun, ada juga saat-saat di mana saya jatuh. Berulang kali jatuh di lubang yang sama, kekerasan hati untuk menolak tempaan, kekalahan terhadap daging juga banyak. Betapa saya lebih banyak melukai hati-Nya daripada menyenangkan-Nya, pikir saya sambil menggulirkan bola mata ke bawah dengan senyum memudar. Saya teringat saat Tuhan mengizinkan saya merasakan perasaan sakit hati-Nya terhadap generasi ini saat saya berdoa ratapan bersama Feli dan Meitri beberapa waktu yang lalu. Sepercik saja emosi-Nya menghantarkan saya jatuh tersungkur ke belakang dari posisi berlutut. Tidak tertahankan! Dalam satu geletik, api itu tersulut begitu kuat pada hati saya. Api yang begitu kuat—namun lebih dingin dari es. Lebih menyakitkan dari apapun, rasa sakit hati Sang Pencipta membuat saya meraung-raung penuh tangis sambil mencengkeram dada—yang terasa hampir mau meledak.

Hati yang patah dari Sang Pencipta karena ditinggalkan ciptaan-Nya... Kuasa dari rasa sakit ilahi yang non-jasmaniah itu masih dapat saya ingat jelas sampai sekarang. Saya mengernyit. Sadar tidak sadar, saya juga menjadi penyebab dari rasa sakit yang Ia rasakan tersebut. Mengapa tekad saya begitu lemah hingga terus-terusan kalah melawan daging? Pikiran saya terhenti pada pertanyaan itu.

Holy, holy, holy is the Lord God Almighty, who was, and is, and is to come.

Perenungan tersebut membuat saya tidak sadar akan music player yang terus berjalan.

With all creation I sing praise to the King of kings. You are my everything, and I will adore You...

Revelation Song - Kari Jobe. Saya menengok layar hape dan menyadari lagu sudah berjalan sampai pertengahannya.
A foretaste of what we will encounter in Heaven.” Kalimat itu terlintas di benak saya—kalimat yang diucapkan sang penyanyi sebagai komentar atas lagu tersebut. Bahasa konyolnya, ‘icip-icip apa yang akan kita santap tiap hari di Surga’. Ini membelokkan arah kontemplasi saya. Rasa Homesick yang sudah lama tidak muncul pun mengambil alih begitu saja.

Seperti yang Anda tahu, lirik lagu tersebut diambil dari nyanyian para penghuni Sorga di Wahyu. Dikatakan mereka menyanyi sepanjang saat di depan Takhta Bapa. Seperti apa rasanya, ya? Mungkin kita akan spontan memuji dan menyembah, kali ya, karena berada di depan Hadirat yang sungguh Mahakuasa. Testimoni-testimoni tentang Surga yang pernah saya baca berseliweran di benak saya. Richard Sigmund di bukunya Sewaktuku di Surga mengatakan bahwa Hadirat Allah begitu kuat di Takhta Bapa sampai orang tidak akan tahan untuk tidak tersungkur menyembah selamanya di situ—sampai orang mendapat giliran untuk ‘bertamu’ ke depan Takhta Allah. Saya bisa diseret malaikat dari situ kali, saking nggak mau gantian sama orang lain. Saya nyengir menanggapi pikiran itu.

Blessing and honor, strength and glory and power be to You the only wise King.

Saat pertama disambut Tuhan Yesus, saya akan bereaksi apa, yaaa...? Kemungkinan yang sering saya bayangkan sih, menangis melolong-lolong sambil lari dan lompat ke pelukan-Nya. Hmmmpf--saya tertawa tertahan. Sepertinya saya akan butuh bodyguard malaikat khusus nanti di Sana. Bukan, bukan untuk melindungi saya,tapi untuk menarik saya kalau saya sudah melewati batas jatah waktu saya sama Dia! Saya jamin pasti saya tidak akan  mau lepas-lepas dari Tuhan walau ada orang-orang lain ngantri buat disambut juga.

Holy, holy, holy is the Lord God Almighty, who was, and is, and is to come.

Tuhan pernah bilang bahwa semua pengalaman di Alam Roh itu direkam di Surga. Saya jadi penasaran... Nanti kalau Nonton Bareng sama anak-anak TD dan komsel Jogja, kami bakal norak nggak ya melihat rekaman peperangan kami yang—ehem—brutal dan aneh-aneh? Kembali, saya tertawa tertahan. Air mata yang kita keluarkan saat terjamah dikoleksi oleh Tuhan, kata salah satu testimoni yang saya baca. Tabung koleksi air mata saya banyak isinya nggak, yaaa?

Filled with wonders, awestruck wonder, at the mention of Your Name.

Gelombang perasaan yang kuat menerpa saya. Butuh sepersekian detik untuk menyadari bahwa itu adalah rasa haru.

Jesus Your Name is Power, Bread and Living Water; such a marvelous mistery.

Baris tersebut membuat saya terisak tertahan dan ikut menyanyikan lagu tersebut. Tuhan yang begitu mengagumkan, Tuan yang saya layani itu. Ada keindahan tak terkatakan dalam Nama-Nya. Misteri yang agung. Yang jelas ini terlalu ilahi untuk disampaikan dengan kata-kata! Tuhan yang menciptakan Anda dan saya, yang merancang setiap segi hidup Anda dengan sempurna, kita akan berjumpa dengan-Nya muka dengan muka suatu saat nanti. Untuk dapat selamanya menyanyikan ‘kudus, kudus, kudus’ di depan Altar-Nya lah saya dan Anda hidup sekarang—kenyataan yang simpel namun mengagumkan!
Keinginan daging atau penghalang apapun nggak bakal gue biarkin menghalangi hal itu buat diwujudin suatu saat nanti~~~!!!! Dobrak dobrak dobrak, terobos terobos terobos!!!” Roh dan jiwa saya berseru bersamaan dengan super hectic.

Dengan tampang masih ngaco karena baru nangis campur ketawa plus haru, saya mengakhiri lagu tersebut. Segera saya berpaling ke Tuhan dan senyum-senyum nggak jelas ala anak kelas 3 SD yang ulangannya dapat 100. Tuhan tertawa maklum dan menepuk kepala saya.

          Well, Nak. Kamu mau menuliskan ini, bukan? Tuliskanlah.”

          Yes, Sir.”


Validasi : 1 Korintus 13:12, Wahyu 4:8, Mazmur 56:8, Mazmur 99:9,  Ibrani 11:40, Mazmur 139:15.