One Breath

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Apakah Anda pernah membaca novel? Saya rasa pernah. Entah novel fantasi, science fitction, roman, teenlit, komedi sampai misteri pasti ada yang pernah Anda baca. Well, ini memang spekulasi... Tapi kalau nyatanya Anda tidak pernah membaca novel, saya punya banyak novel keren untuk direkomendasikan seperti novel Hadassah (Esther) dan masih banyak lagi. Tapi saya bukan mau promosi novel atau jadi sales marketing, saya hanya mau membagikan sedikit dari apa yang saya pelajari sebagai baik pembaca dan penikmat fiksi, maupun seorang penulis.
Coba Anda ingat-ingat sekali lagi novel apa yang paling berkesan buat Anda. Apakah itu novel mengenai detektif, percintaan tragis, fantasi seorang anak muda yang membunuh monster pengancam dunia, atau sekedar teenlit dengan cerita yang membekas di hati? Yang manapun boleh. Cobalah ingat-ingat sekali lagi, tiga hal apa yang membuat Anda begitu tertarik untuk terus membuka halaman demi halaman novel, dan bahkan sulit melupakan adegan-adegan di setiap bab-nya. Apakah itu karakternya yang begitu menangkap simpati dan kekaguman Anda? Atau jalan ceritanya yang begitu menahan nafas? Bisa yang mana saja! Tapi satu hal sudah jelas: novel favorit Anda pasti mengandung, minimal satu unsur, yang membuat Anda melabelkan cerita tersebut sebagai mahakarya di benak Anda.

Sebagai seorang pembaca sekaligus penulis, saya suka memperhatikan penokohan dan penempatan karakter dalam alur cerita. Yah, hitung-hitung saya juga sambil belajar dari para penulis profesional ini. Tentu saja, membaca dan mempelajari adalah dua hal yang sangat berbeda. Dalam mempelajari, orang akan diajak untuk bukan saja menikmati alur dan cerita sebuah novel, tapi juga mencermati bagaimana si pengarang menaruh detail dan mengekspos sisi dari karakter-karakternya dengan cara yang membekas di hati dan pikiran pembaca. Nah, inilah yang sulit untuk diterapkan.
Dalam dunia penulisan novel, yang namanya alur cerita harus dapat menyatu dan berbaur dengan sempurna dengan stok karakter yang telah dipersiapkan. Bila, misalnya, cerita mengalami kebuntuan, tidak jarang penulis harus mengutak-atik karakternya atau menambahakan karakter atau elemen baru untuk menjadi ‘kunci’ gerbang kemacetan cerita. Ini cukup menarik dan mengandung banyak pelajaran.
Saat saya sedang membaca blog seorang penulis novel terkenal mengenai kiat-kiat menulis fiksi yang baik, ada beberapa hal yang menangkap perhatian saya. Rasanya Hikmat dari Allah segera mengalir begitu saya membaca poin-poin penting dalam penokohan dan alur cerita! Dan, sebelumnya, tentu saja anak Tuhan harus belajar dari mana-mana! Hikmat ada di mana-mana, dan kenapa tidak diambil?

Ehem. Kembali ke topik. Sang penulis sukses tersebut, dalam blog, memberikan tips konsep alur yang keren menurut saya: “Kamu adalah karaktermu. Kalau kamu belum bisa melihat dunia fiksimu dari mata karaktermu dan berpikir seperti dia, maka kamu belum benar-benar hidup dalam satu tarikan nafas dengannya.” Kira-kira begitu kata-katanya.

Saya terpana saat membacanya berulang-ulang. Betapa benarnya ia! Tentu saja, kalau saya tidak mampu mengvisualisasikan apa yang karakter saya lihat dan rasakan, bagaimana saya hendak menyampaikan pergumulan dan emosinya kepada pembaca? Bukankah justru bakal jadi ‘garing’ kalau saya mencoba mendeskripsikan sesuatu dalam ‘tubuh’ dan ‘perkataan’ yang sama sekali bukan saya? Pasti terdengar janggal karena saya tidak memasukan perasaan mendalam dalam setiap gerak-gerik ataupun nada bicaranya. Pembaca bisa mati bosan mengikuti pergerakan karakter yang kaku dan tidak menarik perhatian dalam buku tiga ratus halaman.
Dan menurut Hikmat yang saya tangkap, itulah kita.
Itulah kita di Buku Kehidupan Allah.


Saya suka berpikir kalau Allah, Tuhan Yesus yang saya puja, adalah seorang penulis cerita yang sangat luar biasa. Ia mampu menarik perhatian ‘pembaca’—orang-orang di dunia yang menjadi saksi hidup karya-karya-Nya—dan menawan mereka sehingga tidak putus-putusnya berpikir mengenai karya kehidupan yang Ia tulis dengan Darah Kudus-Nya.
Dalam analogi saya, yang umumnya memang suka aneh-aneh dan agak ‘miring’, saya sering berpikir kalau saya adalah seorang karakter dalam novel buatan Bapa. Yah, setiap orang merepresentasikan satu buku, dan saya salah satunya. Saya sering bertanya-tanya, Penulis cerita kehidupan saya akan membawa saya melalui alur cerita yang seperti apa kira-kira? Apakah Ia akan langsung mempertemukan saya pada seorang knight in shining armour pada bab pertama dan mengakhiri cerita dengan kata-kata “mereka pun hidup bahagia selamanya” di halaman selanjutnya? Rasanya nggak menarik kalau begitu. Mana ada novel yang baru dua halaman terus berakhir dengan happy ending? Itu mah namanya cerpen. Dan cerpen kayak begitu mana mungkin laku? Tidak menggugah perasaan sama sekali!

Tentu saja, kita juga tahu setiap tokoh dalam sebuah cerita itu akan mengalami yang namanya shaping atau pembentukan karakter. Tidak ada dong, tokoh utama yang dari awal cerita sudah ganteng, pintar ini-itu, menggugah, selalu tampil menarik dan punya kepribadian sempurna? Pasti ada sisi-sisi negatif yang akan ia hadapi dalam cerita, dan tentu saja, menang dari sisi-sisi tersebut. Dan tidak seru juga kalau si tokoh utama mengalami shaping ini hanya dalam satu malam. Ketemu teko ajaib dan langsung berubah jadi sempurna, misalnya. Lagi-lagi, tidak menarik!
Saya sebagai penulis, kadang suka pusing bagaimana mempersiapkan ‘wajan’ yang cukup panas untuk menggodok tokoh utama saya tanpa menghancurkannya. Saya tentunya ingin ia mengalami kejadian yang mampu mengubah hidup dan pola pikir maupun perilakunya, tentu sembari dikemas dengan alur yang menggugah dan menarik untuk dibaca. Dan kembali, Tuhan pun seperti itu terhadap kita.

Ia menyiapkan takaran suhu yang pas untuk menggodok kita, membersihkan kita dari sisi-sisi negatif yang tidak Ia suka. Adegan demi adegan dalam lembar kehidupan Anda dipersiapkan-Nya secara matang dan penuh perhitungan, semua demi membentuk tokoh yang tangguh, kuat dan serupa dengan diri-Nya yang melebihi kata sempurna versi manusia.
Pastinya, Ia juga mempersiapkan berlembar-lembar adegan penuh sukacita dan air mata bahagia untuk merayakan keberhasilan si tokoh dalam berperan. Tidak seru juga kan  kalau ada cerita yang isinya tragedi dan kemalangan melulu? Itu mah identik sinetron yang alur ceritanya nggak pernah hepi...
Dan kembali ke frasa ‘satu tarikan nafas’ dengan si karakter tadi, saya rasa kita juga seperti itu di hadapan-Nya. Kita dipanaskan dalam suhu yang pas untuk menjadikan kita serupa dengan Allah. Bukankah Ia mengkomandokan kita untuk jadi serupa dan sama dengan Bapa? Saya rasa salah satu tujuan-Nya adalah agar saya, dan setiap orang lainnya, dapat bernafas dalam satu tarikan nafas dengan Bapa. Dengan begitu, maka kita pun dapat mengatakan “jadilah kehendak-Mu di Bumi seperti di Sorga” dengan enteng. Kenapa? Karena apa yang Bapa inginkan juga kita inginkan, dan apa yang Bapa lihat juga kita lihat. Karena satu visi dan satu misi itulah Dia akan lebih leluasa ‘menulis’ cerita hidup kita.


Jadi, apakah Anda sedang bertemu dengan orang yang Anda anggap ‘salah’ dalam cerita hidup Anda? Atau apakah Anda sedang stress berat mengalami pergumulan dalam hidup—yang adalah ‘lembah’ shaping dari Sang Penulis? Atau mungkin, justru Anda sekarang sedang mengalami kemenangan demi kemenangan? Saya tidak tahu apa jawaban Anda, tapi minimal, sebagai sesama penulis, saya tahu Tuhan sedang merancangkan sesuatu yang luar biasa dalam hidup Anda. Kenapa? Karena Anda adalah mahakarya-Nya.

Validasi : Yesaya 29:16, Efesus 1:4 Yeremia 18:6, Yesaya 64:8, Yeremia 1:5, Roma 9:20, Ibrani 11:3, Yesaya 55:8.