Tegar atau Sok Tegar?

Author : Meitri Angelina

‘Tegar’ mungkin adalah salah satu kata yang terdengar tidak begitu asing di telinga kita. Kata tersebut mungkin sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari atau dari bahan bacaan. Sepengertian kita, orang yang tegar adalah orang yang terkenal tangguh dan mampu menanggung sekian banyak hal tanpa bantuan orang lain. Orang-orang ini biasanya dinilai identik dengan orang yang tidak mudah bersedih dan selalu mampu bersikap cerita ataupun kuat setiap saat. Banyak, atau mungkin sebagian besar, dari anak-anak Tuhan merasa bahwa kita dituntut untuk jadi lebih tangguh dan tegar dari lingkungan kita. Saya adalah salah satu orang yang cukup terpengaruh dari tuntutan ini.
Banyak yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang riang dan selalu gembira. Beberapa teman saya bahkan memandang saya sebagai orang yang tidak memiliki masalah hidup. Perlu saya akui memang bahwa saya sangat jarang menangis. “Menangis hanya untuk orang-orang lemah.” Saya menganggap air mata adalah simbol kekalahan. Rasanya menangis membuat saya terlihat payah, seolah-olah saya sudah kalah duluan oleh berbagai masalah yang senantiasa menjepit saya. Saya bahkan berpikir bahwa Tuhan Yesus menuntut saya untuk tegar dalam masalah saya dalam artian yang agak salah. Barulah belakangan ini cara pikir saya diubahkan oleh-Nya.

Saat itu saya sedang mngikuti sebuah perukumpulan doa. Di sana saya diminta untuk berbicara kepada Tuhan mengenai permasalahan dan pergumulan saya bersama Tuhan. Saat itu, saya mendengar Suara-Nya yang berkata bahwa saya juga harus bisa belajar untuk tidak berpura-pura kuat di hadapan Tuhan. Simpelnya, bila dianalogikan dengan pacaran, maka dalam berhubungan dengan Tuhan, saya itu termasuk orang yang selalu berusaha untuk kelihatan perfek di mata pasangan saya. Jadi saat saya kecewa, sedih, ataupun terluka, saya biasanya tidak mengatakan apa-apa kepada Tuhan.
Intinya, saya mau kelihatan sempurna di mata Tuhan. Yah... Saya pikir itu yang tadinya Tuhan tuntut dari saya: kesempurnaan. Tapi ternyata definisi ‘sempurna’ itu meleset.
Saya disadarkan oleh Roh Kudus bahwa kita tidak diminta untuk pura-pura kuat. Ia justru ingin saya membawa semua permasalahn saya dan segala kekecewaan saya kepada-Nya. Dan persis saat Hikmat itu turun saya melihat Tuhan menggenggam tangan saya dan berkata bahwa Ia mau mendengarkan apapun permasalahan saya—betapapun Ia telah mengetahui segalanya sebelum saya curhat. Barulah saat itu saya mulai menceritakan semua perasaan saya terhadap berbagai permasalahan hidup saya. Mulai dari sakit hati, masalah keluarga, kuliah, pelayanan, semuanya saya tumpahkan di kaki Tuhan. Saya bahkan jujur terhadap Tuhan bahwa saya sempat merasa kecewa terhadap-Nya atas semua permasalahan yang Ia izinkan untuk saya tanggung.


Setelah saya selesai bercerita, saya memilih diam. Saya merasa takut akan reaksi Tuhan setelah mendengar semua kebobrokan saya. Namun di luar perkiraan saya, Tuhan Yesus hanya tersenyum dan bertanya apakah saya memiliki hal lain yang ingin saya sampaikan kepada-Nya. Saya menyerah kepada Tuhan yang memang mahatahu, dan setelah sedikit bercerita lagi, saya kembali diam.
Setelah semua itu, Tuhan membiarkan saya untuk bersandar di bahu-Nya. Luar biasa, saya merasakan ketenangan meliputi saya. Kekuatan saya serasa dipulihkan. Saya merasa benar-benar menjadi baru hanya dengan berdekatan dengan-Nya. Ada kelembutan dalam pembawaan-Nya, dan itu sangat menenangkan hati saya.
Setelah saya mulai merasa damai, saya melihat ada dua tangan yang saling bergandengan tangan. Tangan yang besar adalah tangan Tuhan Yesus, dan saya menyadari bahwa tangan kecil yang Ia genggam adalah tangan saya sendiri. Ya, tangan saya begitu kecil di dalam genggaman-Nya. Kemudian Ia membisikkan Hikmat kepada saya bahwa Ia tidak menyelesaikan semua permasalahan saya begitu saja, namun Ia menjanjikan penyertaan abadi. Ia tidak akan meninggalkan saya, dan itu adalah sebuah janji. Ia juga berjanji untuk selalu ada dalam setiap pergumulan saya dan saya benar-benar lega mendengar hal tersebut dari Roh-Nya sendiri. Bukankah Allah begitu besar, saya baru sadar. Kenapa saya harus terfokus kepada masalah-masalah kecil?

Guys, inilah hal yang ingin saya bagikan: Tuhan tidak pernah meminta kita untuk pura-pura kuat di hadapan-Nya. Sebaliknya, Ia justru mau agar kita datang dengan hati yang hancur dan menumpahkan segala isi hati kita di hadapan-Nya ketimbang lari dari tangan penyembuh-Nya. Ia mau dan telah berjanji dalam Firman-Nya untuk membalut setiap luka dan menghapus setiap air mata. Biarkan Tuhan menjadi orang pertama yang mendengarkan keluh kesah kita dan menjadi yang pertama juga untuk menenangkan kita.
Bukankah Tuhan rindu untuk memeluk setiap dari anak-anak-Nya? Bila Ia janji untuk selalu menyertai dan memberikan kekuatan baru, maka saya yakin pula bahwa Ia adalah Allah yang senantiasa bersedia menjadi teman curhat yang sejati. Di hadapan Tuhan kita dapat tampil apa adanya. Tidak perlu gengsi, tidak perlu malu... Toh Ia telah tahu segala-galanya mengenai kita, bahkan sebelum dunia ini dijadikan. Maka, datanglah kepada Yesus. Ia tidak mengatakan akan menyelesaikan semua permasalahan Anda, tapi Ia berjanji akan selalu berjalan bersama Anda dan siap untuk membebat luka-luka anak-anak-Nya.