Author : Felicia Yosiana Gunawan
27 Mei 2012
Setelah mengalami dua hari yang panjang dalam Pencurahan Roh Kudus sekaligus pelayanan berantai, saya positif K.O malamnya. Otak dan hati saya sama-sama blank, dan saya rasanya baru saja menjalani kehidupan selama satu tahun hanya dalam dua hari tersebut. Capek, lemas, tapi ada perasaan senang karena bisa lebih kenal Tuhan dan menerima hal-hal baru, termasuk juga perasaan senang karena bisa berguna sebagai anak-Nya. Yah, saya belum berani mengaku sebagai hamba Tuhan karena saya masih sangat bobrok dan perlu banyak tambal di sana-sini... Kalau ada hamba Tuhan kayak saya, pasti saya sudah jadi sate milyaran kali karena membandel sama Sang Tuan... Kesimpulannya, Dia memang terlalu baik.
Well, saya sebenarnya masih tidak tahu panggilan spesifik Tuhan dalam hidup saya yang baru saja genap sembilan belas tahun ini. Gambaran besarnya sih saya sudah dapat bocoran beberapa kali, entah dari mimpi profetik, perkataan dan ayat yang Tuhan berikan sendiri, maupun juga dari anak-anak Tuhan lainnya yang Ia ‘titipkan’ untuk kecipratan nubuat mengenai hidup anak abstrak kayak saya. Memutuskan untuk tidak mau bertanya-tanya, saya tidak memusingkan detailnya dan memilih untuk mencari apa yang Ia inginkan saja dalam setiap langkah.
Namun, tentunya kenyataan lebih pahit dari yang dipikirkan. Sering sekali saya malah ‘lari’ dari misi dan visi Tuhan dengan dalih-dalih tertentu. Capek, misalnya, sehingga jadi cenderung malas mengobrol sama Tuhan dalam Saat Teduh. Bosan karena keseharian yang saya cap datar—terutama kuliahnya since motivasi saya kuliah di bidang sekuler benar-benar minus kuadrat. Atau lebih sering, saya justru berdalih dengan mengatakan “Terserah Tuhan aja, deh.”

Setelah pelayanan hari Minggu itu, saya benar-benar tidak menyadari kondisi roh saya yang notabene sudah agak loyo dan babak belur. Wajar saja, saya baru menjalani salah satu perang terbesar seumur hidup, ditambah lagi saya minus persiapan. (Catatan untuk diri sendiri: gunakan waktu Saat Teduh dengan baik biar selalu siap menjalankan misi Tuhan di hari itu, seberapapun tak terduganya itu!) Sepulangnya saya dari Gereja, hari sudah malam, dan alarm di otak saya sibuk membunyikan bel tugas kuliah yang masih mengantre di laptop untuk dikerjakan. Dengan tampang kusut setengah mau pingsan, saya pun mulai mengerjakan tugas dengan kepala nyaris meledak...
Saya rupanya saat itu belum sadar bahwa roh saya sedang protes keras terhadap daging dengan mengatakan, “Kenapa loe fokus sama tugas kuliah? Dahulukan Tuhan, wooi! Inget hari ini hari Minggu malam; jadwal penyembahan loe, nih!!”
“Tugas gue gimanaaaaa?” sahut jiwa di tengah-tengah kekalutan tugas A dan tugas B. Tugas C menunggu manis sambil kipas-kipas di belakang layar.
“Penyembahan dulu kan bisa?”
Jiwa mulai panik. “Tapi nanti gue digorok temen kelompok...!”
“Serahkan aja ke Tuhan!” balas roh tidak mau kalah. “Kan Dia yang memegang hati raja-raja, masa’ Dia nggak bisa memegang hati temen-temen kelompok loe?”
Jiwa pun mengomel-ngomel sambil berdoa. “Ya Tuhan, Engkau yang pegang hati teman-teman saya. Jangan sampai mereka ngamuk, jangan sampai mereka marah-marah. Saya malas dengernya... Eh, iya deh saya penyembahan habis ini. Err... Mungkin.”
Rupanya Tuhan tidak suka kata ‘Mungkin’ saya... Saya ditemplak oleh dorongan Roh Kudus habis-habisan beberapa detik setelah mengakhiri doa.
Memang sih, teman-teman saya batal meledak dan ngomel ke saya—dan itu mukjizat, tapi hati saya tiba-tiba menjerit-jerit sendiri. Rasanya itu seperti ada yang ingin saya keluarkan dan ungkapkan sama Tuhan, atau siapa saja, tapi tertahan di hati. Sangat tidak enak. Kalau diibaratkan, seperti mau muntah tapi tertahan di kerongkongan. Menyiksa dan membuat saya sangat ingin nangis guling-guling dengan segera.
“Tuhan, saya kenapa?” tanya saya bingung campur takut. Ini pertama kalinya saya merasa ingin menangis tanpa sebab. Bahkan lebih dari itu, saya rasanya ingin menjerit keras-keras kepada Allah Bapa. “Saya kenapa, O’ Lord? Apa yang Anda inginkan dari saya?”
“Masuklah dalam penyembahan,” ujar Roh Kudus lembut. Saya pun menurut dan memutar lagu Bless the Broken Road dan ikut menyanyi dengan menggunakan headphone agar suaranya minimal. Kan bisa bahaya kalau saya karoke-an sama Tuhan di tengah malam kayak begini...
Yap, seperti yang sudah bisa diduga, saya langsung mulai nangis parah pada detik berikutnya walau saya tidak begitu mengerti alasannya.
“Kamu lelah,” kata Tuhan memberikan penjelasan dengan cepat. “Rohmu lelah.”
Belum sempat berpikir, tiba-tiba saya mendengar roh saya menjerit, “Tuhan, kapan sih Engkau datang? Saya capek... Kapan saya bisa pulang? Saya mau diam di Baitnya Bapa, nggak mau keluar-keluar lagi...! Anda dengar, Tuhan, Anda dengar... Saya tahu Anda dengar,” saya mulai mengerang. “Kenapa Anda biarkan saya hidup di dunia seperti ini? Kenapa Anda belum juga menjamah orang-orang? Mereka dalam kondisi yang lebih buruk dari saya, datanglah kepada mereka, Tuhan! Mereka lebih butuh! Save them, Lord...”
Saya terus berteriak-teriak pada Tuhan di dalam roh sampai kira-kira lima belas menit penuh sambil mencengkram karpet. Saya tahu Tuhan Yesus ada di hadapan saya dan Ia memeluk saya dalam diam. Dia mendengarkan. Dia tidak memotong ‘curhat dadakan’ saya dan jeritan-jeritan roh serta hati saya; Ia hanya diam dan ikut menangis bersama saya. Ia ikut menangisi bangsa-bangsa dan menangis untuk saya.
“Aku tidak pernah ingin kamu melayani tanpa terlebih dahulu kamu melayani Bait Kudus Allah,” kata Tuhan setelah saya terdiam. Saya tahu bahwa ‘Bait Kudus Allah’ yang dimaksudkan Tuhan di sini adalah diri saya sendiri. “Melayani adalah pengorbanan bagi orang lain, dan itu baik. Tapi selama ini kamu terlalu fokus kepada orang-orang yang kamu layani sampai kamu menterbengkalaikan keadaan hatimu sendiri.”
Tuhan benar dan saya tidak mau membantah. Hikmat dari Roh Kudus segera memproses saya, membantu saya mencerna apa yang Ia maksudkan. Saya ini ternyata sering ‘lupa diri’ kalau berkarya bagi Tuhan, terlebih melayani. Setelah capek pelayanan dan berkarya, saya cenderung hanya berterima kasih pada Tuhan dan istirahat alih-alih memulihkan jiwa dan roh saya di dalam Saat Teduh Pemulihan bersama Bapa. Bahkan teman-teman Tim Doa bisa lebih aware sama keadaan roh saya dibanding diri saya sendiri. Semua keteledoran itu akhirnya membuat hati saya jadi tidak awas akan apa yang roh rasakan, dan saya jadi seperti buta terhadap kondisi diri sendiri. Ia memang tidak berkehendak agar saya hanya melayani diri sendiri, tapi Ia hanya ingin agar saya mau lebih jujur dan berserah terhadap tangan pemulih-Nya, bahkan setelah saya selesai melayani dan bekerja bagi Dia.
“Rohmu sekarang ini berempati,” kata Roh Kudus lagi. “Kamu berempati dengan orang-orang yang tidak mengenal Aku, dengan orang-orang yang selama ini harus menanggung beban mereka sendirian tanpa tahu bagaimana caranya datang kepada-Ku.”
Badan saya mulai lemas total saat memikirkan betapa enaknya anak-anak Tuhan, mereka yang selalu bebas akses kepada Tuhan dalam setiap perkara. Saya tahu saya harus berpaling kepada siapa di saat-saat terberat saya, namun mereka yang tidak mengenal Tuhan menanggung beban hidup mereka dengan bahu mereka sendiri. “Ini parah, Tuhan, saya tidak tahan.” Ya, tidak mungkin manusia dapat menanggung beban hidup mereka tanpa Allah. Selama ini saya dibesarkan Tangan Tuhan sendiri dan diajar Roh untuk selalu datang kepada Bapa di setiap saat. Saya tidak bisa membayangkan lebih jauh lagi kalau orang-orang yang terhilang harus menangis sendirian tanpa bisa merasakan hadirat Tuhan. Mereka tidak mau atau belum menerima bahwa Tuhan Yesus selalu berada di sisi mereka, bahkan saat mereka menganggap diri mereka tidak layak.
“Berdoa dan merataplah bagi mereka dan bangsa-bangsa yang terhilang,” sambung-Nya.
Saya melakukan apa yang Roh Kudus perintahkan dengan hati yang masih menjerit-jerit. Saya meneriakkan permohonan ke hadapan Bapa agar Ia bersedia untuk segera menjamah bangsa-bangsa, terutama Indonesia. Barulah setelah semua itu selesai, saya bisa kembali tenang dan memproses segalanya dengan lebih baik.
“Terima kasih, daughter,” saya mendengan Tuhan Yesus berkata. Saya melihat-Nya memegang sebuah mangkuk putih seukuran telapak tangan orang dewasa, dan saya takjub saat melihat Ia menampung semua air mata saya. Warna air di dalamnya benar-benar bening dan mengkilau seperti mutiara, sama sekali tidak seperti air mata dalam dunia fisik ini. Memang, saya pernah membaca di Alkitab—dan mengimani—kalau Ia menampung setiap air mata anak-anak-Nya... Tapi saya tidak pernah melihatnya langsung seperti ini. “Aku akan menggunakan ini untuk menjadi ‘hujan’ bagi tanah-tanah yang kering.”
Ratapan memang dapat digunakan Allah untuk menjamah orang-orang yang terhilang dan saya sudah dengar berbagai kesaksian dan buah dari kebenaran Firman tersebut. Setidaknya, saya mau mengimani hal itu.
Melihat saya masih bengong menatap mangkuk barusan, Roh Kudus tersenyum dan berkata, “Lanjutkan penyembahanmu.”
Menurut, saya pun mengulang lagu yang saya gunakan untuk penyembahan tadi. Dan... Tangan saya mulai bergerak sendiri! Ini serius! Saya sampai terbahak saat menyadarinya! Memang tubuh bagian pinggang ke bawah saya masih duduk dengan manis di karpet, tapi kedua lengan saya mulai bergerak dalam suatu irama teratur mengikuti musik.
Roh Kudus sedang menggerakan tubuh fisik saya untuk menari bagi Allah! Saya nyaris tidak percaya dan hanyut dalam rasa damai dan sukacita yang luar biasa... Orang seperti saya menari bagi Allah? Betapa tidak layak!
“Bukankah itu karunia,” kata-Nya, “untuk menyembah dalam tari-tarian di hadapan Takhta Bapa?”
“I enjoy it, daughter,” sambung Bapa sebelum saya sempat merespon. Seperti biasa, Suara-Nya sangat lembut, namun mampu menggetarkan roh saya sampai ke bagian yang terdalam. “Dance. I’m enjoying it. It is a pleasing sacrifice before Me.”
Hanyut dalam ketenangan dan sukacita Roh Allah, saya pun melanjutkan penyembahan dalam musik dan tarian. Tuhan sangat kreatif dalam memberikan penghiburan, dan ini hanyalah salah satu cara-Nya: dengan membiarkan saya memberikan persembahan kepada Bapa dalam tarian. After all, menyembah dan mempersembahkan sesuatu kepada Allah adalah makanan bagi anak-anak-Nya, isn’t it?
Daud Sahi · 671 weeks ago
Kemarin Minggu 27 Mei, gerakan bahtera (Yusak Cipto, Iin, Daniel, Nani, Petrus Agung, Petrus Hadi) adakan tarian di jalanan, doa deklarasi di bunderan HI, 100rb lebih yg ikut. Sy seaching 27 Mei penari, dan kebetulan ketemu blog ini.
Daud Sahi · 671 weeks ago
Felicia · 671 weeks ago
Oh, senang sekali nih punya saudara satu lahan dan satu karunia!! Anak2 TD juga sudah beberapa lama diajar untuk menyanyi dalam roh, dan baru-baru ini saja diberikan gift untuk menari dalam roh... Rasanya nyaman sekali ya bisa mempersembahkan sesuatu kpada Tuhan...!
Wah, sepertinya testimoni hidup bro. Daud menarik tuh... Boleh nih share kpada kami... Hehehe
Tapi emang bener bro. Daud, terkadang orang ga mengerti soal gifts2 ini dan malah disangka kerasukan... hahha
Tapi nggakpapa, toh kalo kita tahu kita benar d dalam Tuhan dan menari bagi Dia, Dia sendiri kok yang akan menjadi pembela kita :B
Daud Sahi · 671 weeks ago
Dan baca penglihatan profetik Rick Joyner The Fina Quest: http://www.insightsofgod.com/downloads/TheFinalQu...
Daud Sahi · 671 weeks ago
Bulan lalu kami disuruh ke Pelabuhan Ratu tempat ibu laut kidul yg dulu sy ikuti. Masuk wilayah, rekan sy dengar setannya tanya, siapa kamu. Sy jawab, bossnya udah kenal. Lalu ibu laut kidul bicara, muridku sudah lama tak jenguk ibu. Sy tak ladeni. Di kamar samudra beach 308, sy perangi, ibu ini minta dikasihani, kok kamu tega dgn ibu, sy agak trenyuh. Dia bilang ibu bisa kasih apa saja, sy langsung sadar, tertawakan, dan Tuhan kasih ide usir ke Mesir, dan patih2nya sy perintahkan dlm nama Yesus pencar2 ke tempat yg beda2. Rekan sy dengar suara kebingunan, ibu kemana?
Daud Sahi · 671 weeks ago
Waktu ikut ibadah di mahanaim, lihat penari2, Tuhan suruh kami next level, maksudnya di grj kami bukan tarian profetik, tapi tarian dlm roh. Bukan kebetulan sy dan wakil bisa karunia ini.
Soal bernanyi dlm roh itu diawali 1. bhs lidah yg terpatah- patah, biasanya bababbab, lalu 2. bhs roh yg berbentuk kalimat biasa skilabababba, lanjut 3. bhs roh yg bervariasi, sesuai fungsinya penyembahan, perang dll, berikutnya baru ada melodi, menjadi 4, bernyanyi dlm roh.
Felicia · 671 weeks ago
(Saya ini anak Tuhan yg gatau teori krna gapunya persekutuan formal tetap... Jadinya smua by praktek sndiri ama Roh Kudus.. hehe)
Tapi ternyata itu smua udah sy lewati dalam bbrapa minggu ini sejak trima Bahasa Roh... Thx God banget dah.. hehe
Daud Sahi · 671 weeks ago
Di bawah ini artikel bagus:
Enlarge Our Capacity to Receive
Ps. Rodney Hogue, poured water in a jar from a pitcher to illustrate God filling us with His Holy Spirit and with His anointing. This particular jar was slightly over 1/2 full of rocks of various sizes/shapes, illustrating the gunk in our lives. As he poured the water in the jar, he talked about how hungry we are for God and how we desire for Him to fill us, and how good it feels when God fills us up with His spirit. We asked to be filled to overflowing (and he poured in so much water that some overflowed the top of the jar and spilled onto the floor).
Then he asked if we were really full to capacity, the jar looked full... it would hold no more, but the truth is that the rocks were taking up space intended for water. As a result the jar held a lot less than it was intended to.
Then he illustrated how we pray that God would enlarge our capacity to receive. Then he showed us how God answers that prayer, by taking a big long spoon and fishing out one of the rocks. He talked about how it hurts when God is digging deep, prying loose the rock and fishing it out, but it feels so good when the rock is finally out. And after this big rock comes out, there water settles into where the rock is and there is room to add more water. The amount of water in the jar is the same, but the water level is lower because the rock has been removed.
So we again pray "Lord fill us up" and God does (and again he pours water into the jar so that it overflows). The jar holds more water, but there are still rocks in it, again God decides to enlarge our capacity to receive by removing another rock, and again the rock remove process is uncomfortable. But once that rock is out and God pours in more water to fill the jar again, it is awesome. And this process seems to repeat over and over.
Daud Sahi · 671 weeks ago
Daud Sahi · 671 weeks ago
Soal nama, biasanya yg sudah lulus level 3 (ujian perang di pikiran/ kekudusan) akan diberi nama baru. Sy sendiri dapat Daud, dan rekan2 sy yg lain juga dapat nama sesuai pribadi manusia baru mereka. Dari pemberian nama ke kamu, sy simpulkan masih ada ujian motivasi, ujian iman, ujian letakan segalanya untuk capai puncak. Kunci/ bahan bakarnya adalah cinta Tuhan, hanya dgn cinta menyala2 baru kita bisa lewati dgn mulus.
Felicia · 671 weeks ago
Saya pingiiiinnn skali Tuhan juga mau tarik saya menari seperti itu dan benar-benar mmbawa tubuh roh saya untuk bertemu Dia. Saya baca yang bagian ada teman bro Daud menari bersama Tuhan Yesus itu rasanya roh saya langsung nangis teriak2, "GUE MAU, GUE MAU, GUE MAUUUUU!!!!"
Wah, saya ngga bisa komen apa2 deh... Rasanya Jesus IS REALLYYYYY awesommeeee sampe membimbing bro Daud untuk buka blog kami ini... Pasti kerjaan Dia deh, ngga mungkin kebetulan...
Soal panggilan, saya juga sedang bertanya-tanya spesifiknya apa dan masih belum dapat jawaban. Yang bro katakan bener banget, saya merasa masih sedang dilebur di dalam kompor api, ditanya mau seratus persen all out buat Tuhan atau enggak, baik dari segi motivasi, iman dan seterusnya...
Felicia · 671 weeks ago
Iyah, trims sekali untuk JC dan bro Daud yang sudah berikan masukan. Bener banget, kerasa sekali kasih saya sama Tuhan sedang diuji gila-gilaan... T__T