Stupidity 2

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Kalau komsel atau persekutuan lain mendapatkan nama yang keren-keren dari ilham Roh Kudus, maka nama Tim Doa kami dari Tuhan tidak kalah keren. Tuhan memutuskan untuk menamai kami sebagai ‘Tim Lawak’ pada tahun 2011... Ehem. Saya serius.
Hal itu Ia isukan waktu kami sedang kumpul-kumpul dan ber-bego-bego-ria bersama seperti biasa. Saat kami sedang bercanda bersama Tuhan dan para malikatnya, saya bertanya, “Tuhan, komsel lain kok Tuhan kasih nama keren-keren tapi kami enggak punya nama dari Anda? Kasih, dong!”

Dengan tampang datar, Ia hanya berdeham. “Tim Lawak deh kalau gitu.”

Yah, saya sama sekali tidak protes dengan nama itu, begitu juga teman-teman lain. Karena kami tahu bahwa Tuhan memang mengumpulkan orang-orang yang tidak ada mirip-miripnya di Tim Doa aneh kami ini... Ada berbagai karakter yang justru malah jadi seperti acara drama komedi saat disatukan dalam satu latar. Tidak terhitung kebodohan-kebodohan kami bersama Tuhan yang memang sama-sama punya rasa humor super-tinggi. (Ya iyalah rasa humor-Nya tinggi! Kalau enggak, kenapa juga ada Tim Doa kayak kami?)



Pernah pada suatu perjalanan mau ke sekolah Mahanaim untuk ikut kebaktian pagi, terjadi (lagi) adegan bodoh di mobil Ivan Brian, sang sopir setia TD yang nomor plakat mobilnya sudah jadi label kendaraan TD. Kami waktu itu berlima. Ada saya, Meitri dengan urapan penggembiranya, dan seorang teman kuliah saya di jok belakang. Sedangkan di depan, Ivan menyetir dengan barbar walau nggak tahu jalan. Silvi duduk di sebelahnya, walaupun dia sama-sama nggak tahu jalan... Pertanyaannya, ngapain juga Silvi jadi navigator, ya? (Ada yang salah dengan memori spasial anak-anak Tim Doa yang selalu nyasar dan ‘Jalan Serta Yesus’ ke mana-mana, memang).
Perjalanan ke Bekasi berjalan lumayan mulus, minus percakapan bodoh di mobil yang memang selalu terjadi tiap kami jalan bareng. Nah, masalah terbesar adalah begitu kami masuk ke daerah Bekasi itu sendiri... Terakhir kali kami ke Mahanaim (dan pertama kalinya), kami hanya mengikuti mobil seorang Oom Pendeta kenalan saya yang dengan berbaik hati mau meladeni anak-anak aneh ini. Dan sekarang, kami terancam nyasar untuk yang ke-sekian kalinya di luar Jakarta.

“Loe punya GPS nggak, Van?” tanya saya begitu kami masuk Bekasi.

“Heh? Punya sih, tapi gimana bukanya—gue kan nyetir?”

“Suruh aja Silvi yang buka,” balas saya datar.

“Berhubung kita hampir telat, mending loe tanya temen loe yang anak Bekasi, Fel,” sambung Meitri.

Benar juga. Saya pun segera mengambil BB dan mengirimkan sinyal SOS ke salah seorang teman yang kebetulan alumni Mahanaim. Jawaban datang, dan isinya adalah pemetaan berdasarkan lokasi bangunan yang terkenal di Bekasi—yang notabene, kami tidak kenal semuanya.

“Ini jalan apa, wooi?”

“Belok kanan! Belok kanan!”

“Polisiii!! Gyaaa Ivaaaaan, reeeeeeeemmmm!!!”

“Tanya abang-abang di sana, eh jangan deh, tampangnya horor... Itu aja tuh emak-emak di situ!”

“Tadi bukannya harusnya ke kiri, ya?”

“Ngeh? Tadi emang kita belok mana?”

“Lah, kok kita balik ke tempat awal? Itu polisi yang tadi, kan?”

“Bang, tahu Mahanaim nggak?”

“Huwah, kita kok muter lagi sih?”

“Polisi lagi, polisi, polisi, huwaaaa...!”

“LIAT DEPAN DONG, VAN!!!”

“POLISI, POLISI...! EH, KITA DI MANA?!”

“LOE YANG NYETIR, JANGAN NANYA GUE!”

“GYAAA TELAT, TELAT! HUWAAA URAPAN MINUS, DEH!!!”

“INI DI MANAAAAAAAAA?”

@#@%#$%^$#&$%&$^&#$%^@$@$^%#&^#^#$%^#$%^...!?

Dan masih panjang lagi skrip asli percakapan panik nan idiot pagi itu. Akhirnya, kami semua terdiam dan saling melongok ke satu sama lain dengan tatapan yang sama. “Tuhan,” kata kami bersama, “tolonglah domba-domba nyasar-Mu ini.”

Tak lama kemudian, jawaban datang dan kami menemukan jalan yang ditujukan oleh teman saya. Tadinya, saya sudah berniat mau berbahasa roh sambil cari jalan, tapi karena panik semua, jadinya rencana itu batal.

“Eh, Sensor Roh gue aktif mendadak,” kata Meitri tanpa ekspresi.

“Gue juga,” sambung saya dengan perasaan agak horor. Pikiran kami sama. “Apa Tuhan menyalakan Sensor Roh kita buat mencari Mahanaim, yah...?

Menghiraukan tatapan Silvi dan teman kampus saya yang mangap dengan ekspresi ‘Mereka kumat, ya?’, saya dan Meitri memejamkan mata. “Ke kiri, Van,” kata kami.

“Tahu dari mana loe?”

“Sensor Roh,” jawab saya. “Gue merindingnya di bagian kiri...”

“Gue juga,” imbau Meitri serius.

Setelah Ivan masuk gang kecil, Ivan jalan terus dengan perlahan sambil menunggu komando kami. Tidak disadari, kami melewati sebuah gang kecil yang adalah jalan ke Mahanaim.

“Kayaknya kita kelewatan, deh,” kata saya beberapa detik kemudian. Kata-kata saya disambut anggukan Meitri.

“Tahu dari mana?” tanya Silvi, jelas-jelas mulai merasa janggal dengan sikap kami berdua yang tiba-tiba anteng dan waspada—sikap yang hanya keluar saat kami lagi Scanning dengan Sensor Roh.

Jawaban pun keluar serempak dari saya dan Meitri, “Gue merindingnya jadi di belakang.”

Dan yap, setelah putar balik dan berbelok ke gang mini yang tadi kami lewati, sampailah Tim Lawak ke Mahanaim.
Sekian jurnal bodoh episode ini.