Panggilan

Author : Felicia Yosiana Gunawan

24 Mei 2012

Saya sedang berada di kafe dalam sebuah mall pada waktu tulisan ini ditulis. Saya baru pulang les, dan saya biasa menunggu bokap menjemput dengan ‘nongkrong’ di kafe sambil mengerjakan tugas kampus atau sekedar browsing. Seperti yang saya tulis pada tulisan bertemakan Padang Gurun sebelumnya, blog Adoniyah sempat kering tulisan karena saya banyak mengalami pergolakan tanpa menginvestasikan waktu dan tenaga untuk terus berkarya bagi Tuhan. Adalah suatu kesalahan juga untuk berhenti menulis bagi Tuhan—padahal saya telah menerima panggilan dan talenta khusus untuk itu. Positif, saya telah mendukakan Roh Allah dalam waktu stagnasi saya selama tiga bulan terakhir ini.
Karena kemuliaan Tuhan dan kebaikan-Nya, hari itu saya bisa tetap hidup setelah dua hari lebih jadi zombie di kampus. Yep, tentu saja alasannya adalah tugas-tugas yang menyebalkan dan sangat menyita waktu serta energi. Merasa agak senggang setelah timpukan tugas minggu itu, saya pun memutuskan untuk membuka arsip-arsip lama blog Adoniyah dan membaca lagi tulisan-tulisan yang dulu saya tulis berdasarkan tuntunan-Nya sendiri.

Hidup saya pada Masa Pengudusan benar-benar beda,” komentar saya pada Tuhan dengan lesu setelah membaca beberapa post. Yah, pada masa itu saya memang dilatih gila-gilaan secara intensif oleh Tuhan. Dengan peraturan super-ketat juga seperti tidak menyentuh game, barang-barang sekuler dan sebagainya... Namun, setelah saya dinyatakan’lulus’ dari Masa Pengudusan dan dilepas kembali ke dunia, tentu saja salah satu kerugiannya adalah ketajaman spiritualitas yang sangat drastis.
Bisa dibilang, walau dulu saya hidup seperti pertapa hutan, kedekatan saya dengan Allah jauh melebihi saya yang sekarang ini. Level ketajaman Sensor Roh saya juga beda jauh sekali. Ditambah dengan komitmen yang lebih gila-gilaan dan tidak pakai nego, saya benar-benar seperti balita bila dibandingkan dengan saya di periode Masa Pengudusan itu. Tapi tidak selamanya mahasiswa seperti saya bisa tinggal lama-lama di Gunung Kudus untuk berlatih intensif... Mau tidak mau, saya kembali diutus Tuhan juga kembali ke dunia, dan rem yang selama ini dipakaikan kepada saya pun sedikit dilonggarkan supaya saya bisa kembali masuk ke Bumi ini dan bukannya jadi alien nyasar dari Mars. 

Sudah lumayan lama sejak kamu menulis apa yang Aku diktekan,” kata Tuhan saat saya berkontemplasi. Saya sedang membaca surat-surat yang Ia diktekan untuk saya tuliskan pada saat itu, dan Ia benar soal hal tersebut. Saya memang sudah lama tidak menulis kata-kata yang didiktekan-Nya langsung setelah Masa Pengudusan berakhir.

Menangkap maksud Tuhan, saya membuang nafas dengan berat. “Anda masih mau memakai saya yang payah kayak begini?”

Pandangan-Nya melembut. “Kenapa tidak kalau kamu punya hati yang rela melayani? Ingat, Aku tidak butuh yang mampu. Aku hanya butuh yang mau.”

Kita tidak butuh kata-kata, kan?” jawab saya seraya tertawa mengalah.

Tidak. Kita tidak pernah butuh kata-kata. Kau dan Aku saling mengerti. Kau dan Aku hidup bersama selama genap sembilan belas tahun besok. Dan selama itu, kata-kata hanyalah media penyampaian apa yang ada di hati, bukan?”


Saya senang punya teman diskusi seperti Anda. Dan tentunya, Anda lebih dari sekedar teman diskusi,” tambah saya cepat-cepat.

Begitu juga dengan-Ku. Bukankah kau Kubesarkan dengan cara berbeda? Jangan terus hanyut dalam rasa bete-mu, dong.”

Saya mengkerut dan tersenyum masam. Dia memang Tuhan.

Kamu menunggu-nunggu,” kata Tuhan, membuka langsung kotak curhat saya. “Kamu menunggu-nunggu Aku. Kamu selama ini berada dalam stagnasi karena terus menunggu-Ku, dan kamu menyadari penuh hal itu. Kenapa kamu tidak berlari dan mendobrak setiap dinding yang ada di depanmu seperti biasanya?”

Yah... Saya biasanya memang barbar. Itu saya akui, kok. “Saya tidak bisa beralasan macam-macam; Anda sudah tahu segalanya.”

Kamu juga tahu bahwa Aku menempuh setengah perjalanan ke tempat pertemuan, dan sisanya harus kamu lalui bersama Roh Kudus-Ku. Daripada Aku yang menempuh seluruh perjalanan untuk menggapaimu, bukankah akan lebih cepat bila kita berdua berjalan ke titik yang sama?”

Benar.”

Ingat kembali saja, daughter,” kata-Nya lembut setelah saya terdiam lama. “Ingat kembali saat-saat Aku mengambilmu sebagai anak. Ingat saat-saat kamu Kubesarkan dengan hati-hati. Kamu tidak dibimbing ataupun dibina manusia secara khusus; Aku sendiri yang membesarkanmu dengan tangan-Ku. Untuk apakah semua itu?”

Menunjukan kebesaran kuasa dan kreativitas Anda dalam membesarkan anak?” usul saya, mulai tertawa kecil.

Tuhan tersenyum. “Ya, tapi tetap waspada terhadap rasa tinggi hati. Nah, sekarang, maukah kamu menuliskan kata-kata-Ku lagi? Aku ingin berbicara juga dengan anak-anak-Ku yang lainnya.”

Gladly, Lord.


JC : Ini Aku, anak-anak.

 Sudahkah kamu menyimak suara Roh-Ku pagi ini? Sudahkah kamu menyapa Aku setelah kamu melalui tidurmu?  Sudahkah kamu mengatakan ‘terima kasih’ kepada Bapa-Ku karena telah menjagamu dari segala kuasa kegelapan yang bekerja dua puluh empat jam sehari di muka bumi ini?

Bila ya, maka jangan pernah lengah dan teruslah belajar! Namun bila engkau belum melakukannya, Aku tidak akan marah. Hanya saja, tidak ada ruginya menyapa yang Kuasa setiap engkau bangun di pagi hari. Kebiasaan akan mengasah iman, anak-anak-Ku. Kebiasaan itu pula yang akan mengasah ‘pendengaran’ kalian terhadap apa yang senantiasa dikatakan oleh Roh-Ku.

Aku tahu kalian memiliki banyak pertanyaan. Ada begitu banyak hal yang kalian tidak mengerti saat ini, dan itu bukan masalah. Aku tidak pernah menjanjikan bahwa kalian akan mengetahui segalanya. Tapi percayalah, segala sesuatu terjadi karena suatu maksud. Segala sesuatu pula terjadi dalam waktu yang telah ditentukan Bapa-Ku, dan segala-gala yang Ia lakukan bagi mereka yang mengasihi Dia adalah baik, betapapun pikiran manusia kalian tidak dapat mencernanya.

Tujuan-Ku menuliskan ini adalah untuk memanggil kalian, anak-anak. Ini adalah waktu-Nya. Rencana-Ku telah siap, dan itu sedang bergerak.

Kuberi tahu, hanya sedikit anak-anak-Ku yang mencari dan mau terlibat dalam rencana-Ku yang penuh dengan damai sejahtera dan keagungan. Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak dari kalian yang tertidur! Banyak dari kalian yang masih mengenakan penutup mata! Kalian menutup telinga kalian dari Kebenaran-Ku yang Kudus, dan kalian menolak untuk menerima apa yang telah dituliskan para nabi-nabi dari ratusan tahun yang lalu!

Kalian menolak untuk terlibat karena kalian mengeraskan hati. Kalian mengalihkan pandangan kalian dari Keselamatan, dan kalian memilih untuk lebih melihat dunia ini dibanding Aku. Ini, anak-anak, adalah perangkap Iblis yang paling halus dan mematikan.

Ingatlah lagi bagaimana Petrus mulai tenggelam saat Ia mengalihkan pandangannya dari-Ku di atas air berombak itu. Itulah yang akan dan sedang terjadi dengan kalian saat kalian kehilangan fokus kalian pada-Ku! Kalian mulai melihat lebih kepada ancaman dunia ini, lebih berfokus kepada masalah-masalah kalian yang sesungguhnya tidak mungkin mengalahkan kebesaran-Ku. Karena itu semualah kalian tenggelam dan hanyut terbawa arus.

Kenapa kalian harus sebegitu bersusah hatinya karena topan dan badai dunia ini? Aku memahami segala yang kalian pikirkan dan rasakan, dan Aku berempati. Tetapi Aku juga menderita saat kalian lebih memilih untuk tetap duduk di pojok ruangan dan menolak tangan-Ku yang terulur. Lihatlah dengan lebih jelas, dongakkan kepala kalian dan lihatlah: Tuhan kalian menangis bersama kalian! Aku bukan Tuhan yang tertawa di atas penderitaan umat-Ku! Aku bukan Allah yang hanya duduk di Takhta Kudus dan hanya mengamati kelakuan manusia ciptaan-Ku!

Aku terlibat dalam setiap perkara bagi mereka yang mengasihi Aku! Aku lebih dari ingin untuk tetap terlibat dalam pengaturan agenda kalian, untuk kalian mintai saran, untuk duduk bersama kalian dan berbincang selayaknya sahabat karib. Bukankah Roh Kudus-Ku adalah Pribadi yang lembut dan menenangkan? Kenapa kalian lebih menyukai kebisingan dunia ini dibanding Suara-Nya yang merdu?

Kalian adalah anak-anak-Ku dan Aku tidak akan membuang kalian sekiranya kalian mengakui dosa kalian dan datang kepada-Ku dengan hancur hati. Aku tidak pernah membuang domba yang datang kepada-Ku, seberapa parah pun luka-luka dan sejauh apapun ia telah lari dari penggembalaan-Ku. Namun bila engkau tidak mengambil langkah dan inisatif untuk datang kepada-Ku, maka Musuh telah berhasil menipu dan menekan roh kalian dengan pemikiran-pemikiran kosong.

Buanglah keragu-raguan itu. Buanglah segala pemikiran dan ketakutan itu. Datanglah kepada-Ku dengan rendah dan hancur hati. Aku tidak memandang hati yang hancur dengan tatapan jijik. Justru Aku terharu melihatnya. Ya, saat ada anak yang mau menyerahkan hatinya yang hancur pada-Ku di dalam penyerahan dan kerendahan hati, Aku sangat gembira sampai Aku melompat dari tempat-Ku bersemayam! Bukankah itu bentuk penyerahan yang Aku nanti-nantikan! Aku lebih dari dapat dan ingin untuk  membentuk kembali hati yang baru bersama-sama dengan kalian.

Jangan lagi keraskan hatimu, anak-anak. Itu percuma. Dunia ini tidak pernah akan memberikan kelegaan kepada kalian. Mungkin ia dapat memberikan kalian kegembiraan dan perasaan senang sesaat, tapi tidak pernah damai sejahtera. Tidak ada yang dapat memberikannya selain daripada Aku, Tuhan atas damai sejahtera dan kasih.

Datanglah. Ini panggilan-Ku kepada kalian, o’ anak-anak yang hancur hati dan berbeban berat. Datanglah kepada-Ku. Aku siap dengan segala perban dan kelembutan yang hanya dapat kalian dapatkan dari seorang Gembala Agung.

Aku tidak menolak hati yang hancur. Aku tidak menolak pernyataan rasa bersalah dan pengakuan dosa. Datanglah. Aku menunggu.