Relasi Aku dan Allah?

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Ini adalah tulisan yang telah ditagih beberapa orang—yang sebenarnya sudah pernah kami jabarkan di buku The Road Home (lihat Books). Tapi tidak apa, karena kali ini kita akan membahas tema ini lebih dalam lagi, mari pertama-tama kita lihat dulu apa yang dikatakan Alkitab mengenai ‘status’ kita. Kenapa status? Karena status seseorang dan orang yang diajaknya berbicara akan sangat mempengaruhi hubungan keduanya, setuju? Seorang murid tidak akan berani berbicara ngalor-ngidul terhadap guru killer. Begitu juga seorang prajurit terhadap Jenderalnya. Bisa-bisa mainannya nyawa nanti.
Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dikatakan Perjanjian Lama mengenai status kita di hadapan Allah. Bukalah Kitab yang paling membosankan menurut mayoritas orang itu, dan cermati baik-baik setiap kata pada halaman-halamannya. Kejadian 1:26-27 mengatakan dengan jelas, kita adalah rupa dan gambaran Allah sendiri. Ini anak TK juga sudah tahu. Tapi mari lanjut ke poin penting berikutnya: kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah dengan Penciptanya. Ada beberapa ayat seperti Kejadian 3:8 yang memberikan gambaran terhadap hal ini. Dikatakan bahwa Tuhan Allah biasa berjalan-jalan di Taman Eden pada waktu hari sejuk, dan untuk apa? Mengunjungi ciptaan-Nya, termasuk manusia.

Gambaran pertama sudah jelas. Allah menganggap manusia sebagai ‘teman’ dekat-Nya yang dikunjungi secara rutin. Ia bahkan dengan senang hati memberikan kuasa bagi manusia untuk menamakan segala binatang di tempat yang indah itu. Bukankah ini sesuatu yang layak dicatat sejarah—bahwa Tuhan, Allah atas segalanya, mendelegasikan sedikit dari  ‘tugas’-Nya kepada sebuah ciptaan?
Tapi ingat, pasal 3 menceritakan kelanjutan yang tidak begitu menyenangkan: Kejatuhan Manusia. Sejak kejatuhan manusia karena memakan buah terlarang, hayatnya sebagai ‘teman dekat’ Allah mati. Ini sesuai dengan kompensasi yang pernah diceritakan Allah sebelumnya: bahwa bila mereka memakan buah itu dan dengan demikian melanggar perintah Allah, mereka pasti mati. Dan ini terjadi. Jelas bukan kematian tubuh yang disinggung, karena kalau demikian, maka Bapa adalah seorang pendusta. Tapi yang dimaksudkan-Nya adalah kematian hayat roh—bagian dari kesatuan manusia yang memiliki nilai paling penting karena di sinilah hayat Allah berdiam, menurut Yehezkiel 36:26-27 dan Yohanes 3:6.

Dan fakta selebihnya bisa Anda temukan di dalam setiap kisah Perjanjian Lama—di mana untuk bertemu atau berbicara dengan Tuhan, seorang imam haruslah melalui serangkaian prosedur sulit yang merepotkan. Dan ini semua untuk apa? Untuk ‘menguduskan’ diri mereka di hadapan Allah yang Kudus. Kalau tidak, mereka pasti mati. Apalagi orang-orang yang tidak ‘dipilih’ langsung oleh Tuhan untuk melayani-Nya dalam jarak dekat—seperti kaum Lewi. Kesimpulan ini dapat kita ambil tentu setelah membaca serangkaian perintah mengerikan (seperti perintah untuk tidak menyentuh Gunung Allah dengan konsekuensi mati) atau dan kisah-kisah tragis lainnya (seperti kasus Uza dalam 2 Samuel 6:7). Horror, kan?

Oke, jadi jelas sekali bahwa hubungan antara manusia dan Allah pada Perjanjian Lama adalah hubungan ketat antara seorang pelayan dan Tuan. Hamba dan Majikan. Budak dan Tuan Rumah. Terlebih lagi, sesuatu yang najis dan yang Kudus.
Hal ini tentu menyebabkan kita merasa nyaris mustahil untuk mendekat kepada Allah dan berkomunikasi dengan-Nya. Bisa, tentu saja, tapi terlihat penuh risiko. Dan tidak aneh jadinya, kalau bangsa Israel memperlakukan Tuhan—minus saat-saat pemberontakan mereka—dengan sangat hormat. Ingat bagaimana semua rakyat Israel menari di hadapan Allah saat Tabut Perjanjian memasuki kota? Itu baru satu contoh kecil.

Salah satu analogi hubungan kita dengan Allah pada masa lampau yang saya temukan paling sesuai adalah antara Raja Xerxes dengan bawahan-bawahannya. Coba buka kembali kitab Ester dan baca dengan teliti. Raja Xerxes, yang disebut juga Ahasyweros dalam bahasa Ibrani, bukanlah raja yang dapat didekati orang dengan sembarangan. Kalau ada orang yang tidak punya urusan formal atau dipanggilnya untuk menghadap datang kepadanya, mainannya nyawa. Ester 4:11 adalah peraturannya.
Seperti inilah saya rasa gambaran umumnya. Kalau bukan imam, bangsa Lewi, atau orang pilihan Tuhan sendiri, rasanya nyaris mustahil berkomunikasi dengan Allah. Tidak pernah di Perjanjian Lama ada orang yang dapat melakukan hal lancang tersebut, kecuali Allah punya rencana spesial baginya seperti beberapa nabi yang dipanggil Tuhan dari awal seperti Amos.


Nah, cukup mengenai Perjanjian Lama. Saya juga bukan ahli Kitab Suci atau sejarah. Saya hanya mau membagikan apa yang pernah dijabarkan Hikmat Roh Kudus kepada saya saja, kok.
Pertama-tama, kita lihat dulu apa yang dikatakan Tuhan Yesus, anak Allah sendiri, mengenai status kita di hadapan Allah. Matius 5:16 menyatakan sesuatu yang sangat radikal dari sejarah perjalanan bangsa Israel dengan Allah: “...dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Sudahkah Anda sadar sekarang betapa tingginya dan luar biasanya perubahan yang dibawa Yesus Kristus? Ia menaikkan derajat kita di hadapan Allah—dengan mengangkat kita menjadi saudara dan sahabat Kristus! Bukankah ini mengubah relasi kita dengan Allah untuk selamanya?

Ingatlah, tirai bait suci yang memisahkan antara Pelataran Kudus dengan Ruang Maha-Kudus telah terkoyak saat Yesus menyerahkan nyawa-Nya sebagai korban yang sempurna. Pengorbanan-Nya membayar harga termahal yang diketahui dunia: Harga Dosa yang telah memisahkan Adam, manusia pertama, dari kedekatan dengan Allah. Singkatnya, Yesus membangkitkan apa yang telah dihitung ‘mati’ dalam Kejadian: hayat roh yang merupakan tempat dasar relasi kita dengan Roh Allah. Bukankah ini apa yang telah hilang dari manusia selama beribu-ribu tahun? Berita baik! Yesus memperbaiki itu hanya dalam beberapa tahun kehidupan-Nya yang tanpa dosa di Bumi kotor ini!
Dan ingatkah apa yang dikatakan Yesus dan para Rasul mengenai roh yang telah ‘dihidupkan kembali’ ini? Roh Kudus, sang Penghibur, Roh Allah sendiri, akan berdiam bersama-sama dengan kita—dengan roh kita. Ini dijabarkan Yesus sendiri pada Yohanes 14:15-30.

Jadi lihatlah, apa poinnya mencari Allah di luar diri Anda bila Ia berdiam di dalam Anda? Dengarkanlah dengan roh Anda dan bukan dengan pikiran (jiwa) atau telinga jasmani (tubuh) Anda, dan tidak mungkin Allah tidak berbicara. Tapi ingat juga satu hal: dua keadaan Roh Kudus di dalam diri Anda juga saya rasa dapat sangat mempengaruhi keaktivan-Nya dalam bekerja dan menuntun Anda. Satu keadaan Roh Kudus dalam manusia, dan yang paling banyak ditemui saat ini, adalah berduka. Kenapa? Karena manusia telah mendukakan Roh Allah, dan dengan demikian membuat rohnya sendiri tertidur dan tidak dapat berkomunikasi dengan Persona Allah yang luar biasa ini.
Lalu keadaan yang satu lagi? Inilah keadaan yang disukai Allah: Roh Kudus yang aktif dan bersuka. Dalam keadaan seperti ini, roh yang sigap, gesti dan cepat tanggap dibutuhkan untuk menangkap pergerakan-Nya yang Kudus dan di luar logika Bumi. Bila tidak, kita tentu akan jatuh ke dalam kedagingan (misalnya, pikiran-pikiran seperti, “Kok saya nggak bisa dengar suara Tuhan, ya?” dan sebagainya).
Pertanyaannya, bagaimanakah menciptakan keadaan roh yang sepenuhnya bangun, sadar dan siap beraksi bersama-sama dengan Roh Kudus? Tidak ada yang lain selain latihan. Berlatihlah untuk mematikan daging Anda setiap detik, dan menjadikan jiwa Anda pelayan bagi roh Anda. Kenapa mematikan daging? Karena pada hakekatnya daging memang sudah mati bersama-sama dengan Kristus di kayu salib, kata Roma 6:6. Jadi sebenarnya kata ‘mematikan’ kurang tepat, tapi ‘menjaga agar daing tetap dalam keadaan mati’. Karena, yah... Daging bisa menjadi zombie—mayat hidup—bila didewakan dan diberi makan terus-terusan. Tidak percaya? Lihat saja sendiri ke orang-orang sekitar Anda dan diri kita sendiri. Beri saja daging sedikit bagian, dan roh jahat akan menyusup ke dalamnya dan mengaktifkan sel-sel daging yang telah mati itu.

Tidak mudah, tentu saja. Saya sendiri, yang menulis tulisan ini dengan bimbingan Roh Allah, belum seratus persen hidup menurut roh. Terkadang saya masih suka bandel dan malas, masih suka bermain-main dengan mayat—si daging itu—dan dengan demikian menajiskan diri saya di hadapan Allah. Tapi tidak adanya bertekun dalam latihan rohaniah. Karena menurut Alkitab, ketekunan pasti akan membuahkan hasil. Selamat mencoba.

Validasi : Ibrani 2:11, Yeremia 24:7, Yesaya 66:18, Imamat 21:11, Roma 5:3-5.