The Flesh vs the Spirit

Author : Felicia Yosiana G

4 Januari 2012.

Malam harinya, entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan daging yang amat kuat untuk kembali ke aktivitas-aktivitas sekluer. Bagaimana saya mendeskripsikanny, yah? Yang jelas, pikiran saya benar-benar berontak terhadap roh dan Roh Kudus, menyatakan kalau ia menginginkan ini dan itu. Salah satu ‘tuntutan’ terbesar dari daging saya saat itu adalah dengan kembali menulis fanfiction.

Tapi lo udah komit!” jerit roh saya.

Tapi itu kan penggunaan bakat dari Tuhan juga,” sahut jiwa nggak mau kalah.

Bisa di area yang lain, kan! Kedatangan Tuhan udah mepet, dan lo—daging—harus tunduk sama gue!” tantang roh saya.

Pengelihatan cepat menyeruak: saya melihat tubuh roh saya dengan armor serba putih dan jubah putih sedang duduk di atas kuda. Senjata dan segala perlengkapan perang lengkap di tangan saya. Dan setelah saya mengatakan demikian, saya melihat roh saya mengacungkan senjatanya kepada ‘jiwa’. (Ini efek baca bukunya Watchma Nee yang berjudul ‘Manusia Rohani’ kali, ya...)

Saya pikir siapa yang akan keluar... Saya pikir daging atau jiwa itu lemah dan cupu... Tapi salah! Dalam pengelihatan itu, tiba-tiba saya melihat seorang duplikat tubuh roh saya dengan atribut serba hitam (kudanya pun hitam) keluar menerima tantangan duel dari roh! Saya nggak lagi mimpi! Bahkan saya sampai ingat betapa dinginnya muka ‘jiwa’ saya. Dan sebelum saya sempat ngapa-ngapain, jiwa menyerbu roh.
Dan benar saja, efeknya langsung terasa di dunia nyata... Saya nyaris melompat dari tempat tidur untuk membuka fanfiction.net—jurang dosa lama saya dalam lust over fantasy. “Tuhan, Tuhan, ini gimana?” jerit roh saya kalap.

Kamu tahu,” sahut-Nya kalem, “menulis itu nggak salah. Membagikan imajinasimu tidak salah juga. Menyisipkan pesan moral dalam cerita fiksi juga tidak salah.”

Tapi semuanya percuma tanpa pengenalan akan Engkau!”

Ia mengangguk ringan. “Tuh kamu tahu...”

Karena saya merasa Tuhan sedang ‘membiarkan’ saya bergumul sendiri, saya pun segera menyabet handphone dan mengirimkan pesan kepada Bro. Harvi—satu-satunya sesama ‘kalong’ yang secara jadwal harusnya masih bangun di jam 10 lebih.
Well, balasannya, seperti yang saya harapkan, datang dengan cepat. Ia mengingatkan saya soal komitmen dan pintu dosa yang akan terbuka makin lebar kalau saya ‘bermain api’ dengan fanfiction. Tapi entah kenapa saya masih sulit menerimanya. Daging saya masih berada di atas angin...

Buka FB,” tiba-tiba Roh Kudus berbisik.

Tanpa mikir, saya pun langsung mengakses facebook lewat hape. Dan... saya menemukan apa yang saya butuhkan... Ada satu post baru Sis. Rachel soal mimpi terbarunya... Ini isinya:

Gue mimpi. Ada kawat gigi di barisan gigi yang putih berjejer rapih. Secepat kilat, pemandangan di zoom out. Ternyata itu Feli yg lagi nyengir...
Terus di zoom out lagi, gue lihat kita (anak-anak TD) lagi di medan perang melawan naga putih dengan sisik-sisik kasar yg terlihat halus. Kita menang dan gue baru inget kalau gue lihat bendera-bendera yang ditancapkan di bangkai naga itu.

...Sekali lagi pemandangan di zoom out...

Ternyata bukan cuma kita aja yang lagi perang. Ada banyak titik-titik perperangan yang sedang berlangsung. Orang-orangnya tentu gue nggak kenal.
Dan sepertinya mereka juga menang melawan naga-naga yang bentuk serta warnanya berbeda-beda.

Sorak-sorai terdengar menggemuruh dan puji-pujian dtinggikan untuk Allah semesta alam. Tidak lama kemudian, gue melihat Allah Bapa turun dari takhta dengan kemuliaan yang sangat mengagumkan.

Dan setelah itu gue bangun dengan keadaan masih cengar-cengir.
Sekian.

Saya terdiam beberapa detik. Ketiga persona Allah juga diam.

...

.......

Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn....!” raung saya. “Kenapa harus saya yang disorot di situuu?!”

Tuhan Yesus tertawa lamaaa dan keraaas sekali... Saya cuma bisa mingkem dan manyun-manyun saja dikerjai oleh-Nya. Dan setelahnya, tawa Bapa pun menyusul—tawa suci dan kudus yang membuat para malaikat penjaga saya pun ikut tertawa.
(Sekedar info, saya tidak pakai kawat gigi di Alam Roh. Oh, please...)

Bagaimana? Sudah menang?” tanya Tuhan, masih ketawa-ketawa.

Dan saya baru sadar saya baru saja menang melawan jiwa—si hitam-hitam itu. Emosi saya mulai stabil dan saya dengan mudahnya menghempaskan keinginan untuk kembali menulsi fiksi. Allah mengingatkan saya untuk meng-quote ayat dan saya melakukannya.
Oke, saya mungkin baru saja menang dari keinginan daging, tapi roh saya babak belur dan capek luar biasa. Dalam keadaan ngos-ngosan dan muka bete, saya menghadap Bapa. Sekali lagi, di dalam roh, saya tahu Ia sedang senyam-senyum.

Father... wait,” saya memotong perkataan sendiri. Pengetahuan dan memori menyeruak di benak saya. Saya langsung ingat sama isi percakapan sore saya yang baru terjadi di A Lesson with the Father. “Anda sengaja membiarkan saya perang habis-habisan melawan daging karena Anda baru mengajari soal keinginan daging tadi sore, kan?”

Tuhan memasang muka datar. Tapi mata-Nya dipenuhi dengan gelak tawa dan kilat kesenangan. “Oh, tentu. Kan harus ada praktek setelah teori.”

Dan saat saya cuma bisa bertampang bete dan mengalihkan pandangan ke Tuhan Yesus yang berdiri di sisi Bapa, Ia mengangkat bahu. “Like Father like Son,” komentar-Nya penuh arti.

Info tambahan: saya sudah sering bercanda dan dikerjai oleh Tuhan, tapi tidak pernah secara langsung oleh Bapa.
Oh yeah... You both are really good at teasing people.”

Dan seluruh isi Takhta kembali menggema dalam gelak tawa.