An Introduction - Beyond Colors

Author : Felicia Yosiana Gunawan

Ini sekedar sharing mengenai kehidupan saya yang masih tergolong singkat, nih. Saya cuma gatel cerita betapa gilanya Tuhan merombak hidup anak bandel kayak saya. Semoga bisa menjadi berkat, deh.

Saya lahir dengan banyak komplikasi. Dari tidak terlambat dua belas tahun, tidak bisa nafas, dan berbagai jenis kelainan lainnya. Tuhan pernah cerita—dan kesaksiannya ada di buku pertama saya—kalau saya saat itu nyaris mati. Tapi apa yang membuat saya dibiarkan-Nya bertahan hidup? Doa para saudara yang mengasihi orang tua saya yang sudah lama menunggu anak. Dan saya baru tahu bahwa beberapa dari mereka berdoa menazarkan saya kepada Tuhan!
Tuhan,” kata salah seorang saudara Alm. Mami saya, “tolong jangan ambil anak ini. Tuhan dapat pakai dia setelah dia besar nanti. Tapi tolong jangan diambil,” ratapnya dalam hati.

Waktu saudara saya bersaksi begitu pas saya SMA, saya rasanya hampir jatuh dari kursi. Jadi, singkat kata, saya ini anak nazar. Anak yang hidup karena telah diberikan kepada Tuhan. Dan memang, keadaan saya berangsur-angsur membaik setelah beberapa minggu di inkubator. Tapi karena Mami tidak memberikan ASI dan stres berat setelah melahirkan, ini memicu kanker payudara yang mewarnai sepuluh tahun kehidupan terakhirnya. Sebagai anak yang baik, saya promosi saja sekalian bukunya yang ditulis beberapa bulan sebelum dia ‘Mudik’ ke Rumah Bapa: Bukankah Ini Mukjizat, oleh Herlijana Purwadi.
Ehem. Nah, kalau saya kilas balik, ternyata dari kecil itu saya sudah ditarget sama si jahat untuk dijadikan korban—atau lebih parah, dijadikan antek-anteknya. Yah, ini perkembangan baru. Tadinya, mereka berkali-kali mencoba membunuh saya. Kesaksian dari orang tua dan para saudara, saya itu waktu kecil sangat lemah badannya dan penyakitan. Tapi yang lucu, saya hiperaktif dan bandelnya luar biasa. Jadi saya, disamping sering sakit, sering juga yang namanya nyangkut di pagar, jatuh dari ring basket, bonyok sana-sini habis ngebut-ngebutan pakai sepeda dan luka-luka habis main bola. Dan dulu saya lumayan rentan sama roh jahat.

Soal taktik Iblis yang keuda ini saya tahu dari kesaksian Papi saya yang baru cerita setelah saya kuliah. Jadi dulu, waktu saya belum sampai umur enam tahun dan masih suka main di sekitar rumah selayaknya bocah tomboi, seorang tetangga yang sering meditasi dan penganut aliran ilmu ‘putih’, pernah menghampiri bokap saya. Dia berkata, “Si Yosi itu”—panggilan saya di rumah dan sejak kecil—“rohnya bagus. Pasti kalau dia ‘diisi’ bisa jadi orang hebat. Mau tidak saya isi?”

(Sekedar info, mau ilmu hitam, putih, merah, biru, atau pelangi, semuanya sama saja: produk si jahat. Dan tentu saja, maksud diisi di sini adalah diisi roh kegelapan).

Jujur, pas bokap cerita kayak gitu, rasanya mata saya mau lompat keluar. Kepala saya kayak kena siram air dingin. Saya mana tahu kalau sudah diincar sampai segitunya dari kecil! Betapa Iblis menginginkan kehancuran setiap anak-anak Allah!
Puji Tuhan, bokap saya berpikiran jernih dan langsung menolak. Dan si ‘penawar’ itu pun tidak mencoba-coba lagi karena melihat ketegasan beliau. Tapi kisahnya belum sampai di situ. Selama saya bertumbuh dewasa, masa-masa SD-SMP saya benar-benar diwarnai tawaran okultisme sana-sini. Ada seorang yang biasa pelayanan sebagai ‘pelihat’, pernah menawari hendak membuka ‘indera’ saya lebih lagi setelah nyokap saya Mudik. (Lihat, timing Iblis cermat sekali! Ia mencari lubang dalam pertahanan saya yang waktu itu masih kelas tiga SMP). Menurutnya saya sangat potensial, sehingga waktu saya masuk ruangannya saja dia langsung tahu saya berbeda. “Aura kamu beda,” katanya serius sambil mengamat-amati. “Kalau kamu saya ‘buka’, pasti bisa jadi hebat. Kamu bahkan nanti bisa menyembuhkan orang.”

Tapi saat itu nilai-nilai Kristiani sudah dipupuk di dalam diri saya, baik oleh Tuhan secara langsung maupun oleh orang tua. Jadi begitu saya tahu kalau dia sering berkomunikasi sama orang mati dan sebagainya—walau mengatas-namakan pelayanan dan Tuhan—saya langsung tolak mentah-mentah. Mana ada orang Kristen sejati yang masih bergaul sama arwah? Itu mah ditipu setan mentah-mentah! Tuhan sungguh keren, Ia menajamkan pikiran saya begitu rupa pada saat itu—padahal saya waktu itu masih bocah dan belum komitmen sungguh-sungguh untuk ikut Dia!
TK lolos, SD lolos, SMP lolos, sekarang SMA. Kesempatan jadi korban okultisme kembali muncul lewat perencanaan rinci si Iblis. Karena sempat membuka-buka website seorang ahli reiki (baca: alibi saya adalah iseng campur penasaran), saya dikejar-kejar oleh peramalnya! Saya tidak tahu kalau dulu itu tidak boleh! Ia menyamarkan kedok okultisme dengan kata reiki dan resonansi energi yang berasal dari setiap makhluk hidup. Dan dulu, saat saya belum memperdalam pengetahuan soal okultisme dan eksorsisme, saya tidak tahu kalau itu samaran si jahat.

Wah, saya sampai capek di-email terus sama si Oma Bule Peramal ini. Dia bahkan sampai menggambarkan kertas reiki saya dan batu-batu ‘tenaga’ sebagai petanya dan mengatakan, “Sejak pertama kali saya berkontak denganmu, saya langsung merasakan hubungan yang sangat dekat dan luar biasa denganmu! Kamu spesial, Felicia! Kamu akan bla bla bla...”

Saya memutar bola mata membacanya. Paling-paling dia cuma tinggal mengganti nama customer dan mengirim surat yang sama kepada setiap pengontaknya... Hayo mau taruhan berapa? Mana ada orang yang mau repot-repot nulis surat sepanjang satu halaman lebih itu ke setiap ‘caon korban’?
Dan, thanks to the Lord, tipuan kali ini pun berhasil saya tolak.


Tapi bukan berarti saya ini tidak bercacat dari kecil dan lolos terus. Saya justru banyak cacatnya! Saya adalah orang paling sarkastis dan angkuh satu SMP. Saya dulu itu pembosan sekali (sampai sekarang juga masih, tapi tidak separah dulu). Karena merasa diri saya berbeda dari anak kebanyakan (extra sense, punya karunia Pembeda roh), saya malas bergaul terlalu dalam sama orang lain. Kenapa? Sudah terbaca tabiat, karakter dan isi hatinya dalam beberapa lirik. Yah, saya bukan pembaca pikiran, tapi dulu karunia itu tajam sekali pada diri saya. Sampai rasanya kalau saya bicara sama orang itu saya bisa tebak reaksinya, dan nyaris selalu benar.
Saya dulu bahkan sempat mengeluh bosan hidup. Semuanya terbaca! Gimana saya tidak bosan?! Saya tidak minta, kok! Tapi saya bisa memprediksi pergerakan orang dan dunia... Rasanya bosan sekali menghadapi realita. Apalagi ada faktor stres di bawah sadar karena penyakit Mami—yang dulu terlalu memalukan dan terkesan lemah untuk saya akui. Saya juga anak tunggal, jadi saya terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Jadi saya perlu tempat pelarian, tempat di mana saya bisa jadi siapa saja yang saya mau dan tidak usah ganti-ganti topeng sosial. Dan jawabannya saat itu cuma dua: games dan dunia imajinasi.
Sekedar info, saya dulu sangat membenci manusia dan lebih suka menyimak pikiran hewan—dan saya tidak gila. Hewan punya hati. Kenapa tidak bisa berperasaan? Sayang saja saya tidak boleh punya peliharaan sejak SMP. Habisnya saya bosan sama manusia... Dan saya benci mereka. Saya tidak kenal orang-orang yang dekat dengan Tuhan dengan sungguh-sungguh saat itu, apalagi hamba Tuhan yang dengar-dengaran dengan-Nya... Jadi buat saya manusia itu makhluk inferior yang menjijikan.

Tapi di sisi lain, saya memang sudah bisa dengar Suara Tuhan dari kecil. Saya tidak tahu itu Tuhan sampai saya kelas 5 SD. Dan memasuki SMP sampai awal SMA, saya tidak pernah menanggapi Dia dengan serius. Buat saya, dulu Tuhan hanya seperti teman ngobrol karena saya lebih sering sendirian di rumah. Egois? Banget. Saya saja bingung kenapa sekarang masih bisa hidup... Dia memang terlalu penyayang...
Nah, yang lucu, saya ternyata dari dulu sudah punya kesadaran untuk berdoa meminta Hikmat. Walau dulu saya tidak tahu Hikmat itu apa, tapi entah kenapa kalau doa, Tuhan selalu ingatkan itu. Dan jangan salah paham! Saya dulu doanya ngebut 160 km / jam!!! Tidak pakai ba-bi-bu, langsung kebut dan ‘Amin’. Baca Alkitab saya sudah mulai dari kelas 1 SMP secara otodidak tanpa disuruh. Tapi lagi-lagi, jangan salah paham dan kira saya anak baik... Saya baca Alkitab karena yang saya tahu: kalau saya baca Alkitab, Iblis tidak bisa masuk kamar saya dan ganggu saya. Jadi Alkitab itu cuma tameng semata buat saya dulu.

Ingat, yang saya minta cuma Hikmat. Hikmat, titik. Tidak pakai paket Kasih dan Kesabaran, dst. Jadi, apa yang terjadi saat Tuhan mulai menjawab? Saya jadi manusia yang tambah abstrak dan sarkastis. Hikmat / kecerdasan kalau tidak diimbangi kerendahan hati dan Kasih itu sangat berbahaya! Saya saksi hidup, nih! Korban!!

Coba saja bayangkan: saya dulu kalau mau ulangan kerjaannya belajar sambil main PSP dan pakai headset lagu-lagu sekuler. Tapi nilai saya kinclong-kinclong! Waktu mau UAN saja saya malah main PSP di pojok kelas, adu hantam sama teman-teman yang sama ngaconya sama saya dulu. Tapi malah lima besar UAN / UAS...
Haduh, saya dulu itu parah sekali. Saya tidak punya respek sama guru karena saya merasa tidak butuh pengajaran mereka. Bahkan pernah, karena sebal sama guru Biologi waktu SMP yang menegur saya karena terlalu santai, saya sengaja baca majalah game di saat pelajarannya minggu depan. Dia tegur saya secara halus, saya cuek bebek. Dan mungkin karena saking jengkelnya, dia akhirnya mengeluarkan senjata terakhir: ulangan dadakan! Saya siul-siul saja sambil terus baca majalah... Bahkan pas ulangan—karena soalnya dibacakan guru—saya baca terus itu majalah sambil menjawab pertanyaan singkat. Dan saya senyum-senyum jahat pas teman saya yang mengkoreksi mengumumkan nilai 90 lebih—tertinggi di kelas. Tuh guru bermuka lecek, saya cengar-cengir sambil beralih kegiatan dari baca majalah ke menggambar sampai bel ganti pelajaran berbunyi.

Intinya: saya pemberontak. Saya sangat tidak suka diatur. Saya benci peraturan manusia yang tidak match sama logika saya yang abstrak. Saya juga benci orang dewasa. Mereka semua pakai topeng, pembohong, dan mudah dibaca. Tapi saya juga illfeel sama teman-teman sebaya karena menurut keangkuhan saya, mereka terlalu kekanak-kanakan dan berpikiran pendek.

Dan... bagaimana saya sampai sungguh-sungguh ikut Tuhan? Silakan baca sendiri di buku Beyond Colors. (Lihat Books).

Promosi abis, yah... Oh, well, itu hak Author, dong... :p