Defeat

Author : Felicia Yosiana Gunawan

15 Januari 2012.

Tahun 2012 sangat terasa berat bagi kami. Jujur saja ya, saya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi, tapi minimal saya tahu tekanan dunia makin berat dan anak-anak Tuhan sedang dimurnikan. Salah satu aset utama dalam tempaan ini, tentunya, adalah iman. Dan saya terpikirkan untuk menulis mengenai topik yang nyerempet-nyerempet iman  setelah beberapa kejadian yang langsung memberondong dari akhir Desember hingga tanggal tulisan ini ditulis.
Saya pertama kali mendengar mengenai iman seteguh batu karang adalah melalui inspirasi Roh Kudus. Ia memberikan saya waktu lama untuk mengecap sendiri apa rasanya berdiri ‘hanya’ berdua dengan iman. Jujur, saya sempat getir. Rasanya kalau ada kapal diombang-ambing badai + tornado, saya ada di dalamnya dan cuma bisa berdoa sambil memeluk tiang utama kapal: iman. Ini sama sekali tidak di-hiperbola. Anggota Tim Doa yang mengalami tempaan sama juga pasti langsung ngangguk-ngangguk kalau saya berikan ilustrasi ini. Kenapa? Karena kami mengalami semua ini secara langsung, baik sendiri-sendiri maupun bareng-bareng.

Ini sekedar sharing kegagalan kami pada perang di awal tahun 2012. Gagal? Iya, gagal. Total, malah. Biar saya perjelas dulu: bekgron dari cerita ‘kalah perang’ ini adalah ajakan dari seorang hamba Tuhan di Jogja, Diana Gitta, yang umurnya sebaya dengan kami. Ia mengajak Tim Doa untuk ikut berperang bagi Indonesia dan kota di mana kami berada—Jakarta. Tentu saja, kami mau banget. Siapa yang tidak mau lihat Indonesia ‘beres’ dan pada bertobat semua rakyatnya?
Setelah bergumul singkat, kami pun akhirnya mencoba untuk mempersiapkan diri di hadapan Allah. Tapi di sinilah masalahnya; kami tidak menyadari skala yang jauh berbeda dari perang 31 Desember. Kami saat itu tidak sepenuhnya sadar, bahwa perang ini akan, kira-kira, seribu kali lebih berat dan tinggi levelnya dibanding level kami sekarang. Bayangkan saja: masa satu pasukan roh (misalnya roh Keangkuhan) itu bawa kroco sampe tujuh ribu-an!! Dan lebih parahnya lagi, amunisi serta perlengkapan kami sama sekali nggak mendekati angka segitu.
Alasanya? Banyak. Kemalasan. Tidak sadar kalau ini perang besar dan masih bisa bercanda-canda. Kurang persiapan—sangat. Dan tidak minta arahan secara penuh dan mengandalkan gerakan Roh Kudus saja tanpa bergerak dengan inisiatif sendiri.

Tidak usah saya ceritakan detailnya pun pasti Anda sudah bisa menebak hancurnya kayak apa perang itu. Saya, pada saat perang, benar-benar berantem hebat sama kemarahan dan kesabaran karena saya merasa hari itu hectic-nya TD berbeda dan di luar jalur. Dan Tuhan terus membisikan kepada saya untuk “Diam!!! Biarkan mereka belajar dari pengalaman!” dan jangan angkat bicara, seperti yang biasa saya lakukan sebagai ‘Hansip’ Tim Doa. Jadi, saya membiarkan sekitar 50% keadaan itu... Dengan harapan Tuhan mau ambil alih, tapi ternyata Dia juga ‘duduk diam’.
Saat keadaan kacau balau, saya, secara jahat, cuma senyam-senyum di situ. Sarakasme saya hari itu membuncah, begitu juga dengan keegoisan. Saya udah males, banget, banget, banget untuk bicara.
Kejatuhan kami, atau lebih tepatnya, ‘saya’, di sini tidak selesai setelah kami pulang. Masih ada lagi masalah baru menanti: penentangan. Malamnya, saya ditelepon salah seorang anggota TD yang baru saja ‘dikecam’ oleh pembina Gerejanya untuk memilih: pelayanan TD atau Gereja.
Saya tinggal ketawa dan geleng-geleng mendengarnya. Kenapa? Sudah jauh lebih dari sering kami dihakimi seperti ini, sehingga saya malas mikirnya. Yah, dalam kasus ini, si pembina mengatakan bahwa TD itu sesat, terlalu karismatik, menyimpang dari Alkitab, dan seterusnya sampai mungkin saya pingin juga loh membuat kamus daftar hinaan dan penghakiman orang-orang kepada kami.

Selesai telpon ditutup, saya beralih dari yang biasanya marah-marah dan ngadu ke Tuhan jadi bersifat super-sarkastis (baca: dosa lama). Tapi memang manusia tidak pernah bisa mengerti pikiran Bapa; Ia masih mau menghibur saya dengan ayat-ayat penguatan dan fakta-fakta mengenai Tuhan Yesus dan penolakannya.
Kamu tahu kan Aku sendiri dicap sebagai apa saat Aku hidup?”

Saya manyun. Ayat-ayat Injil tentang hal ini langsung membanjiri otak.

Tukang tenung, beberapa bilang,” kata Tuhan menerawang. “Pemakai kekuasaan gelap, orang gila dan aneh, orang tidak waras, pengganggu di Bait Suci, penyeleweng Hukum Taurat, pengajar palsu, nabi bohongan, dan... Yah... Aku bisa bikin daftarnya.”

Satu alis saya terangkat karena nyaris meledak marah, tapi saya salurkan jadi energi sarkasme karena malas. “Oh... Yah, dan itu yang kami alami. Oh well, saya udah malas komplain, ah. Toh Anda Tuhan. Anda tahu apa yang kami lakukan, dan Anda tahu isi hati kami dan orang-orang yang menghakimi kami. Anda Hakimnya,” cerocos saya datar. Serius, itu puncak ke-bete-an saya karena penghakiman manusia setelah TD berjalan satu tahun.

Tuhan diam, membiarkan saya bergulat dengan daging. Tapi tentunya, saya abaikan karena itu adalah puncak rasa malas saya atas dunia. Biarkan saja orang berbuat apa, pikir saya, toh mereka punya pilihan. Nah, kata-kata itu adalah satu-satunya rem saya dari meledak-meledak nggak jelas di hadapan Bapa. Rasa capek dan penat saya benar-benar udah menembus limit barometer kesabaran jiwa... Saya sudah bosaaaan sekali berhadapan sama manusia.


Besoknya, setelah tidur, yang notabene pengistirahatan otak, baru saya mulai takjub sama Dia. Mari kita tilik dan masuk ke inti tulisan ini:

Ia sabar walau dihina dan dimaki. Kita saja pasti minimal bete atau capek diperlakukan begitu... Tapi Tuhan Yesus cuek saja dan tetap melayani. (Lukas 4:16-30, Lukas 4:42-44)

Ia tidak langsung berkata, “Biar Bapa-Ku menyambar kalian dengan geledek!!” saat orang-orang Farisi bertingkah. Sebaliknya, walau Ia mengecam—bukannya mengutuk—dan Ia tidak pernah naik darah atau berintensi balas dendam walaupun Dia punya otoritas untuk itu. (Matius 11:20)

Saat ada wanita yang terbukti berzinah dilemparkan di hadapan-Nya, Ia dengan kalem menyatakan kalau semua orang berdosa. Ia tidak pandang bulu terhadap dosa dan manusia. Beda jauh sama kita yang langsung berjengit jijik mendengar soal persundalan atau semacamnya. (Yohanes 8:1-11)

Ia tidak takut bergaul sama orang-orang yang dicap rendah dan najis pada zaman itu, seperti pemungut cukai dan orang kusta. Sebaliknya, Ia dengan giat memberitakan Kebenaran di mana-mana, termasuk di golongan tersingkir ini. (Matius 9:9-13, Markus 10:1, Lukas 15:1)

Ia tidak mudah emosi saat orang-orang menghakimi-Nya. Ia tetap kalem, tidak pernah punya pembawaan meledak-meledak. Bandingkan dengan kita yang selalu mengklaim “Itu kan manusiawi!” saat kita melakukan kesalahan. Padahal kita tahu standar penghakiman hidup kita itu bukan manusia; tapi Bapa yang sempurna. (Matius 5:48, Imamat 11:45)

Ia tidak pernah mencaci maki. Yang dikatakan-Nya adalah Kebenaran dari Bapa sendiri. Bila Ia mengecam, itu karena Dia adalah Allah yang Kudus. Bila Ia bersabda, itu karena Ia adalah Allah yang berotoritas. (Markus 1:22, Matius 7:28-29)

Ia tidak pernah cari pelampiasan. Di saat apapun, Ia mencari Bapa-Nya di dalam doa dan puasa. Tidak pernah tuh Dia stress kemudian pergi mancing atau mencari sansak. Kalau Tuhan hidup sebagai Mesias di zaman sekarang, saya rasa Ia tidak akan masuk game centre untuk main tembak-tembakan di kala bete. (Matius 14:23, Matius 26:36, Matius 26:44, Lukas 5:16, Lukas 6:12, Lukas 9:28)


Dan~ sejuta lagi perbandingan jomplang kita dengan Dia. Anda mau bilang bahwa Dia Tuhan dan kita manusia? Tunggu dulu, lihat perbandingan di atas: saya mengambil perbandingan di mana Ia sedang berada di dalam Bumi sebagai seorang manusia yang berdarah dan berdaging. Ingat, saat di Bumi dalam rupa hamba, Tuhan kita tidak pernah jadi super-man yang kebal sama rasa sakit dan tidak punya kebutuhan biologis. Hal ini jelas sekali ditulis dalam Ibrani 2-3:6. Perbedaan mencoloknya hanya satu: Dia menolak dosa, tapi kita banyak dosa (Ibrani 8-9).
Dan kenapa Tuhan bisa seperti itu dan kita tidak—padahal sama-sama pernah pakai daging dan berupa manusia. Jawaban yang muncul di dalam hati dan roh saya adalah karena Ia memiliki the Unconditional Faith.

Roh Kudus pernah menjabarkan bahwa iman macam ini adalah iman yang paling luar biasa dari segala iman. Iman seperti ini tidak bergantung kepada situasi dan kondisi. Dalam tempaan seberat apapun atau kenyamanan semanis apapun, iman ini tidak goyah dan tidak berkurang. Sebaliknya, ia terus tumbuh ke arah yang Bapa inginkan tanpa melihat di mana ia ditempatkan atau apa kata orang-orang lain tentangnya.
Lihatlah, bukankah karena iman jenis ini Bapa sangat menyanjung Yesus? Bukankah karena iman ini juga Ia mampu menahan godaan si Iblis untuk ‘hidup enak’ dan memikul salib? Roh Kudus lalu berkata bahwa inilah jenis iman pemindah gunung yang disertai dengan kerendahan hati dan Hikmat.

Kamu ingat salah satu Nama-Ku,” kata Tuhan setelah saya memproses semua ini.

Hm? Jehovah-Tsidkenu, maksudnya?” Yang berarti: Tuhan adalah Kebenaran Kita atau the Lord is Our Righteousness.

Segera sebelum saya sempat ngomong lagi, Ia menyambung dan menjawab pertanyaan bodoh saya setelah ‘jatoh’ selama minggu ini: “I AM the Truth.”