Faith and the Heart


Author : Felicia Yosiana Gunawan

3 Oktober 2012

Sore itu saya baru saja mendapatkan apa yang saya dari minta dari Tuhan: meja belajar baru! Jeng jeeengg~
Yap, sekitar tiga hari sebelumnya, saya sempat bilang ke Tuhan kalau saya kepingin meja baru. Memangnya ada apa dengan meja lama saya? Tidak sih, tidak rusak. Tapi sudah terlalu penuh dan sesak.
Meja lama saya itu super-multi-fungsi: buat gambar, menulis, nge-print, main laptop, mengerjakan tugas dan mengarang. Berhubung saya adalah orang yang tidak bisa bekerja tanpa referensi, setiap kali saya beraktivitas (entah gambar entah nulis), pasti di kiri dan kanan saya buku-buku dan kertas sudah menumpuk. Walau sering dirapihkan sehabis beraktivitas, biasanya buku-buku dan kertas-kertas itu tidak akan saya kembalikan ke lemari karena saya masih merasa butuh. Jadilah meja lama saya itu dipenuhi gunungan referensi dan catatan.

Tentu saja, hanya sedikit orang yang betah bekerja di meja yang sesak dan saya bukan termasuk dalam kelompok langka itu. Hal ini membuat saya jadi malas untuk meneliti Alkitab dan membuat catatan di meja (yang ujung-ujungnya cuma saya baca di atas ranjang sebelum bobo), lebih-lebih menulis kesaksian rohani. Memang sih, akhir-akhir ini saya sedang dalam musim pengasahan talenta di bidang lain selain bersaksi... (Semua talenta kan harus dipertanggungjawabkan... Nggak lucu kalau saya pulang dengan nilai kesaksian tinggi sedangkan yang lain minus. He is, after all, the God of seasons.). Tapi, kata Tuhan, bukan berarti saya boleh berhenti menulis total.
Nah, di situlah saya berdoa meminta meja belajar kecil yang bisa dijejalkan di kamar saya. Saya berharap, dengan hadirnya meja baru yang bebas dari serangan gunung kertas dan buku, saya bisa lebih termotivasi untuk melakukan tugas-tugas belakang meja yang diberikan Tuhan. Manisnya, doa itu terkabul hanya dalam kurun waktu tiga hari saja.

Maka, dengan mood pleasant di suatu sore hari yang terlalu cerah bagi pengidap sindrom  kalong kronis seperti saya, saya bertanya kepada Tuhan: “Anda mau saya menulis apa?”

Jawabannya langsung muncul: “Percakapan.”

Saya mengerjap. “Heh? Kenapa?”

Berbagai alasan,” jawab-Nya. “Tapi salah satunya adalah untuk mengasah pendengaranmu lagi. Mendengar saja dan mendengar disertai bersaksi itu berbeda kualitas, lho.”

Hmm... Gitu, ya,” ucap saya sambil manggut-manggut bego. “Okelah kalau begitu. Topiknya apa, nih, Tuhan?”

Apa yang kamu mau perbincangkan?”

Saya manyun-manyun sambil mikir. “Terserah saya, nih? Soal hati, bagaimana?”

All right.

Saya tulis dalam bentuk paragraf ala novel boleh nggak, Lord?”

Boleh.”

Wah, pikir saya setelah beberapa detik, ini saja sudah masuk ke tulisan kesaksian. Oke, oke, saya akan langsung masuk ke topik kalau begitu. Ehem.


Begini, Tuhan,” saya memulai, “saya sering sekali mendengar kata-kata ‘ikutilah kata hatimu.’ Itu kalimat yang sangat tren: dari jaman batu sampai jaman ATM, dari romantis sampai klise dan garing. Menurut Anda, apakah kalimat itu bisa dipegang di dalam iman Kristiani?”

Apa kata Alkitab soal hati?” tanya Tuhan balik.

Saya memutar ulang memori soal Amsal dan Mazmur. “Di beberapa bagian dikatakan bahwa kedalaman hati itu tidak terselami bagi manusia. Di bagian lain dikatakan bahwa apa yang keluar dari hati-lah yang dapat menajiskan orang. Ada juga ayat yang bilang bahwa Tuhan adalah Allah yang menilik hati.

Itu semua benar. Nah, coba buka Yohanes 14.”

Saya menurut dan kaget saat melihat ayat pertama pada pasal itu. Tertulis begini: ‘Janganlah gelisah hatimu, percayalah kepada Allah dan juga kepada-Ku.

Apa maksud Anda di sini?” tanya saya, masih kagum dengan presisi Roh Kudus.

Hati menentukan iman,” kata Tuhan dengan kalem. “Yang dapat gelisah dan memerintahkan seluruh bagian tubuh dan jiwa untuk gelisah adalah hati. Mereka saling terkait. Coba kalau seandainya iman ditentukan oleh pikiran, maka ayatnya akan berbunyi: ‘Janganlah gelisah pikiranmu’ atau ‘otakmu,’ kan?”

Benar juga.

Aku adalah Allah atas iman,” lanjut-Nya tegas. “Iman adalah sesuatu yang menjadi bahan bakar dalam kehidupan rohani anak-anak-Ku. Tentu saja, dari kehidupan rohani itulah buah-buah dipetik: baik yang rohani, jiwani maupun jasmani. Aku tidak akan pernah berbicara di luar konteks iman. Kamu mendengar karena iman. Kamu melihat karena iman. Kamu berjalan dan bernafas karena iman.”

Bahkan bagi orang atheis?”

Ya. Mereka beriman bahwa Allah tidak ada, walau di sisi lain mereka memiliki iman bahwa alam semesta ini hidup—sehingga memungkinkan mereka untuk hidup juga. Apapun yang manusia percayai, itu adalah rupa dari iman. Namun hanya satu akar iman yang benar.”

Anda,” jawab saya spontan.

Tuhan tersenyum. “Itu juga iman. Coba kamu ingat-ingat lagi: bagaimana kamu mendapat meja barumu.”

Well, waktu itu saya ngedumel berhari-hari karena meja lama saya yang selalu berantakan setiap saya melakukan sesuatu. Tapi tidak terpikir oleh saya untuk membawanya ke dalam doa. Tiga hari sebelum tulsian ini ditulis, Roh Kudus menantang saya untuk meminta langsung pada Tuhan. Saya, dengan agak takut dan ragu, bertanya kepada Allah apakah saya bisa mendapatkan meja baru. Ia menjawab singkat: “Minta saja ke Papi habis ini.” Dan jawaban-Nya tersebut saya imani sebagai lampu hijau. Singkat kata, semuanya mulus dan lancar dan datanglah sang meja idaman.

Mobilmu juga sama, kan,” lanjut Tuhan setelah saya berpikir sejenak.

Wah, yang ini baru lebih bombastis. Saya memang baru mendapatkan mobil ‘iman’ beberapa bulan yang lalu sebagai kado ulang tahun. Sebenarnya, mobil adalah sesuatu yang sudah saya minta dalam doa dari tiga tahun yang lalu. Saya dulu berpikir, kalau punya mobil berarti bisa lebih bebas pergi ke mana-mana, bisa lebih bebas menjalankan pelayanan dan jauh lebih irit waktu. Bagian terpenting dari impian saya punya mobil adalah bahwa saya bakal bisa worship sekencang-kencangnya selama perjalanan.
Saya ingat dengan jelas, pada malam beberapa tahun yang lalu saya berdoa dengan sungguh-sungguh meminta mobil, saya mengutarakan bahwa saya takut membebani Papi dengan biaya pembelian mobil yang tidak murah di Indonesia ini. Uang 200 juta itu kan bisa buat kuliah, hidup beberapa tahun, dan sebagainya... Tapi, saat itu saya mendengar Roh Kudus berbicara dengan tegas: “Kamu tidak akan keluar uang sepeser pun untuk mobilmu nanti!” Saya mengimani kata-kata itu sampai tiga tahun, dan itu terjadi. Papi mendapat uang dari seorang kerabat yang jumlahnya melebihi biaya mobil yang saya incar!

Itu semua buah iman,” kata-Nya.

Namun ketaatan, harapan dan kasih juga menjadi kuncinya,” sambung saya.

Benar. Andai kata kamu pupus harapan di tengah-tengah masa penantian tiga tahun itu, Aku bisa saja menarik mobilmu.”

Bahu saya langsung melorot lemas. “Lalu, Anda mau mengimplikasikan bahwa semua itu datangnya dari hati?”

Dari hati yang dibimbing Roh dan Kebenaran Allah,” Ia melengkapi. “Firman itu sangat powerful bila diimani dengan benar dan dengan harapan, Nak. Tapi jangan lupa, manusia tidak dapat dan tidak akan pernah bisa mengetahui isi hatinya sendiri. Kalian terlalu lemah dan mudah goyah untuk mendengar kebenaran tanpa bimbingan Roh-Ku. Hal ini disebabkan oleh karena kalian masih mengenakan tubuh jasmani yang di-handicap dosa. Walaupun roh kalian merdeka di dalam-Ku, tubuh tetap daging, dan daging tetap akan mati dan membusuk. Tetapi rohmu itu abadi, lebih-lebih karena Roh-Ku berdiam di dalamnya.”

Yohanes 14:26, ya...”

Ya. Jadi, adalah bijak untuk menanyakan segalanya kepada-Ku dan kepada firman-Ku alih-alih hatimu. Hati sering menipumu. Suaranya sendiri tidak akan bisa membawamu keluar dari masalah dan kegelisahan yang dibuahkan oleh dosa di dunia ini. Namun aku mengerti keinginan hati, roh, dan yang terpenting, keinginan Bapa di dalam hidupmu.”

Saya tersenyum, mulai mengerti maksud Tuhan pelan-pelan. Hati bukanlah kunci segala jawaban; ia hanya sebuah kontainer besar yang isinya tidak dapat disortir dengan sempurna, bahkan oleh pemiliknya sendiri. Hati orang benar terpaut kepada Firman, namun itu belum cukup. Manusia membutuhkan kunci kerendahan hati dan iman untuk mengakui bahwa dirinya tidak dapat mengerti apa-apa dan meminta petunjuk Allah.
Rasanya jadi lebih simpel, ya,” kata saya setelah berpikir sejenak. Semua hal terkait. Ia menciptakan segalanya saling berkaitan di dalam harmoni yang begitu indah dengan Roh-Nya sebagai perekat. Dosa memang telah meruntuhkan keindahan itu di dunia ini, tapi tidak menghancurkannya. “Anda dulu berpikir tentang apa ya saat menciptakan segala-galanya?”

Tuhan mengerjapkan satu mata dengan perlahan. “Kamu akan tahu saat kamu sampai di sini.”

Surga. Rumah. The thought of coming Home instantly eased my mind and heart from my worldly concerns.

Terima kasih buat bincang-bincangnya, Tuhan. Saya harap Anda mau memegang hati saya terus supaya motivasi saya mengikut Engkau bisa terus disempurnakan setiap hari.”

Doa yang Kuterima,” jawab-Nya lembut. “And you’re welcome.”